Ismi Wahid
http://www.tempointeraktif.com/
Yeni, perempuan yang beranjak sepuh, terperangkap dalam rutinitas yang sungguh membosankan. Saban malam, seusai kerja, ia pulang ke rumah dan melakukan aktivitas yang itu-itu saja untuk dirinya sendiri.
Ia bekerja di sebuah pabrik sebagai kepala bagian. Hidup di tengah industrialisasi membuat dirinya teralienasi. Lingkungan yang serba hiruk-pikuk tak membuat dirinya keluar dari keterasingan itu.
Aktor kawakan Ninik L. Karim melakonkan kembali monolog sunyi Request Concert karya dramawan Jerman, Franz Xaver Kroetz. Lakon ini pertama kali dimainkan oleh Ninik pada 1987. Kali ini Ninik berperan sebagai Yeni, perempuan berdarah Cina-Cirebon.
Naskah Kroetz kemudian ditafsir ulang oleh Manuel Lutgenhorst, yang berkolaborasi dengan praktisi teater asal India, Rustom Bharucha. Hasilnya, sebuah pertunjukan yang digelar di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Jumat dan Sabtu malam lalu.
Dalam perjalanannya, karya Kroetz ini telah banyak ditafsir dan dipentaskan ke dalam konteks budaya yang berbeda-beda, baik di Eropa maupun Asia. Karya ini merupakan monolog sunyi, lakon yang hanya terdiri atas gerakan-gerakan. Tak ada kata-kata. Dialog hanya tergambar secara implisit antara aktor dan benda-benda mati di sekelilingnya.
Berdurasi sekitar satu jam, lakon ini melukiskan betapa seseorang terkungkung dalam rutinitas yang menjemukan dan membuat frustrasi. Sebuah monolog yang mendedah kehidupan sehari-hari perempuan pekerja pada suatu malam.
Pengadeganannya memang sederhana, tapi membutuhkan ekspresi yang luar biasa susah dari sang aktor. “Kalau tidak sulit, saya enggak akan termenung-menung setelah melakonkan ini. Saya terus-menerus beradaptasi,” kata Ninik L. Karim.
Menurut Ninik, ia sangat bergantung pada ornamen pendukung. Jika salah satu benda tak ada, pengadeganan berikutnya akan sangat terganggu. Panggung malam itu diset seperti sebuah rumah, lengkap dengan ruang tamu, meja makan, tempat tidur, dan kamar mandi.
Bayangkan, betapa sangat membosankan. Seusai kerja, Yeni pulang ke rumah. Setelah memasukkan sepeda motor matiknya, melepas jaket dan kain pelindung dada, menutup pintu, serta menyalakan lampu ruang tamu, ia masuk menuju kamar tengah. Di sana ia meletakkan bungkusan makan malamnya di meja makan dan membereskan segala sesuatu yang melekat di tubuhnya, termasuk berganti baju serta mencuci muka.
Televisi dihidupkan, dan bergantian dengan radio, ketika ia tak menemukan acara yang menarik perhatiannya. Makan malam pun tak juga ia habiskan. Temannya pada malam itu hanyalah radio.
Yeni mencoba mengirim pesan pendek kepada penyiar radio yang tengah ia dengarkan. Sambil menikmati sulaman kruistiknya, ia menunggu permintaan lagunya disebutkan oleh suara empuk di dalam radio itu. Si penyiar radio secara langsung dihadirkan di atas panggung dan menempati sisi pojok kanan ? seolah studio radio itu nyata kehadirannya. Bahkan, sesekali efek suara lagu dibuat memenuhi ruangan untuk mengajak penonton larut dalam suasana itu: suasana yang serba membosankan.
Sayang, Yeni dua kali tertipu. Penyiar itu menyebut nama yang sama dengan dirinya, tetapi bukan dia. Yeni merasa orang lain sangat dekat, tetapi mereka semua tak mampu mendekatinya. Berulang kali ia menatap jendela, melihat sekitar. Ingin rasanya ia menjamah, berinteraksi, dan berkomunikasi, namun ia terperangkap dalam keterasingan itu.
“Naskahnya tidak banyak berubah dibanding 23 tahun lalu,” ujar sang sutradara, Lutgenhorst, seusai pertunjukan hari pertama. Ia menyesuaikan ulang kondisi dan suasana cerita saat ini dengan menambahkan properti kekinian, seperti ponsel, yang seakan tak bisa lepas dari budaya konsumerisme. Setiap gerak dalam pengadeganan yang sangat sederhana sekalipun, seperti memasak, makan, dan menonton televisi, dapat dikaitkan dengan kekuatan konsumerisme, efek iklan, maupun perkembangan teknologi yang kian pesat.
Yang unik terletak pada akhir dari lakon ini. Ending diserahkan kepada aktor. Entah ia memilih bunuh diri atau tidak sama sekali. “Saya sendiri juga enggak tahu, lho, harus berakhir bagaimana. Semua tergantung mood saya pada saat itu,” ujar Ninik.
Pada saat geladi bersih dan pertunjukan hari pertama, Ninik memilih bunuh diri dengan menenggak beberapa butir obat. Ia berharap obat itu bisa mengakhiri hidupnya. Ekspresi gelisah yang amat sangat terlihat jelas dengan bantuan video yang langsung diperlihatkan di hadapan penonton.