Para Perupa Peloncat Pagar

Afnan Malay*
http://www.jawapos.com/

Sebanyak 37 perupa memajang karya mereka memenuhi Hall B dan Hall C ruang pameran Galeri Nasional, Jakarta, 28 Agustus-5 Sepetember 2010. Pameran yang diprakarsai Andy Gallery dan dikuratori Asmujo J. Irianto ini bertajuk Crossing and Blurring the Boun?daries: Medium in Indonesian Contemporary Art. Pameran ”loncat pagar” ini merupakan yang kedua dilansir galeri yang sama. Sebelumnya, pada 2003 pernah dise_lenggarakan pameran dengan gagasan serupa bertajuk In Between dengan kurator Hendro Wiyanto dan Mikke Susanto.

Setelah berlangsung dua kali, layak kita telusuri sejauh apakah upaya loncat pagar yang dilakukan sejumlah seniman kontomporer kita. Pengertian loncat pagar dapat dirujuk dalam catatan kuratorial yang mendeskripsikan perkembangan seni rupa Barat. Disebutkan, era 70-an ditandai dengan penolakan terhadap supremasi seni lukis.

Perkembangan seni instalasi, performance art, happening art, dan video art merupakan reaksi penolakan terhadap kebuntuan seni lukis. Tetapi, pada dekade 80-an semangat pluralitas seni rupa mengembalikan seni lukis pada panggung seni rupa kontemporer. Prinsip pluraitas memberikan kesempatan pada setiap kemungkinan medium dan kategori, termasuk seni lukis. Hanya saja, seni lukis kembali hadir tidak sebagai paradigma melainkan kemungkinan medium yang digunakan.

Fenomena atau perkembangan itu boleh jadi bagaikan repitisi dengan sejumlah artikulasi paradigmatik sebagai bingkai pembenar setidaknya pernyataan posisional atas peristiwa loncat pagar: pematung melukis atau pelukis lebih menemukan pencapaian estetik justru ketika membuat patung. Tetapi, dalam realitas, para perupa peloncat pagar dapat kita kategorikan ke dalam tiga tingkatan intensitas.

Pertama, peloncat pagar sejati, mereka yang berpindah dari basis keilmuan awal seperti pematung Agapetus A. Kristiandana (basisnya desain interior). Kedua, peloncat pagar yang intens, tentulah kita dapat menyebut nama yang cukup penting, yaitu Entang Wiharso, pelukis yang dalam beberapa tahun belakangan lebih fokus mengerjakan seni instalasi (juga permormance art) atau intens menggunakan medium non-lukis tetapi bercorak dua dimensi.

Ketiga, peloncat pagar kreatif, yang jumlahnya jauh lebih banyak. Dalam pameran ini sebutlah Hanafi, Heri Dono, Ivan Sagita, Dipo Andy, Sigit Santoso, dan Laksmi Sitharesmi yang basisnya seni lukis. Atau Wilman Syahnur yang basisnya seni patung. Pada kategori ketiga, kebutuhan melakukan loncat pagar adalah upaya melakukan eksplorasi estetika.

Deskripsi terhadap tiga kategori peloncat pagar di atas, sebetulnya, menegaskan satu hal, yaitu agak sulit menemukan perupa yang melakukan aktivitas loncat pagar akibat konsekuensi atas kesimpulan buntunya basis keilmuan yang semula ditekuni. Agapetus, misalnya, ia tampak setia dan intens mengerjakan patung sebagai medium sekaligus gagasan seni rupanya.

Di luar urusan loncat pagar sebagai medium (artikulasi estetik) beberapa perupa dengan apik merefleksikan sejumlah soal yang dihadapi manusia sejak ihwal eksistensi kemanusiaan (pada ”Magnificat” karya Sigit Santoso) hingga harga kesetaraan dalam ”Agent of Change” karya Heri Dono. Heri membuat 20 patung tokoh dunia berukuran kecil yang posisinya mencangkung tengah membuang hajat. Kenakalan yang humoris ini dengan halus ingin mengungkapkan harga kesetaraan itu adalah pikiran boleh ndakik-ndakik (pemegang otoritas perubahan), tetapi ketika buang hajat semuanya seakan-akan sama-sebangun (tanpa otoritas apa pun).

Agapetus, dengan manis menyindir relasi antarnegara yang senantiasa disuarakan berparadigma hidup berdampingan secara damai dalam bahasa diplomasi dikenal peacefull co-existence. Patung karya Agapetus adalah delapan anak babi (tubuhnya berbendara reperesentasi negara-negara termasuk Jepang, Inggris, dan Israel) yang tengah asyik menyusu sang induk seekor babi besar yang pulas melayani anak-anaknya. Induk babi-babi itu adalah Amerika.

Dipo Andy dan Astari menyoal isu lokal yang sempat membuat perhatian kita tumpah. Dipo melalui karya ”Canting Project #1” menggunakan plexiglass, oil paint, puluhan canting untuk membatik, menggugah kesadaran kita untuk menghargai capaian estetika yang dimiliki bangsa ini: seni (mem)batik. Dipo lewat karya non-lukisnya menjadi kaca bagian utama dari estetika yang coba ditawarkannya. Kali ini puluhan canting berjajar seolah-olah menuangkan warna yang menjuntai vertical menjadi alat ungkap Dipo: puitis dan reflektif.

Astari menampilkan patung kayu ”Recovery Boat” yang bermuatkan orang, properti, koper. Isu pemulihan begitu dekat dengan problem yang kita hadapi, sejak sejumlah bencana alam yang menerpa hingga bencana salah manajemen negara yang tetap menggila. Ibarat umat masa lalu yang diselamatkan Perahu Nuh kita memang butuh perahu pemulih serentetan ihwal yang masih saja mendera.

Nindityo Adipurnomo memajang tiga karya bertajuk ”Post Tolerance #1”, instalasi, video art, dan lukisan gouche on paper. Nindityo menyoal isu yang sensitif, mungkin pelik, tetapi memang menyebalkan jika dibiarkan tumbuh, yaitu toleransi yang tidak kunjung membaik. Ikon dalam karya Nindityo adalah horn (pengeras suara).

Pengeras suara itu bisa jadi sesuatu yang konkret datang dari rumah ibadat yang terkadang abai terhadap porsi ”ketenangan” orang lain di luar rumah ibadat itu. Syafii Maarif adalah tokoh Islam yang sering memberikan kritik atas pengeras suara yang alih-alih mengajak orang banyak untuk khusyuk beribadat, justru membuat berisik yang cukup mengganggu. Tetapi, di luar toleransi pengeras suara yang konkret itu dapat kita rasakan kalau Nindityo menilai ihwal toleransi adalah masing-masing pihak tidak senantiasa berupaya ”mengeraskan suaranya sendiri”.

Serujuk dengan Nindityo, perupa Entang Wiharso menyuguhkan sebutir bola mata raksasa dalam karyanya ”Floating Eye”. Mata yang menggantung sekilas mirip bentuk teko itu, pada ujung kanannya menyembul bola lampu kecil dan di ujung kirinya ada kabel penghantar energi listrik. Entang mencoba membuat definisi bahwa mata yang mengambang jelas tidak dapat melihat segala sesuatu dengan jernih: dibutuhkan cahaya.

Barangkali begitulah kenyataan peristiwa loncat pagar. Dibutuhkan sejumlah kombinasi semacam eksplorasi-toleransi-presisi dalam memetakan ihwal loncat pagat. Loncat pagar dalam pristiwa seni rupa, seringkali, ia menjadi perlu dan baik dalam perspektif senimannya sendiri yang tidak henti mencoba untuk mencapai capaian estetika dengan medium yang beragam maupun kepentingan apresian (yang mungkin) ingin menyaksikan lukisan para pematung atau sebaliknya. Loncat pagar, karenanya, bukanlah pengkhianatan (konotasi politik): tetapi justru kerianggembiraan. (*)

*) Kurator yang juga pengacara

Leave a Reply

Bahasa ยป