Tito Sianipar
tempointeraktif.com
Latar panggung berupa layar lebar menampilkan gambar api yang menyala hebat. Di sisi lain panggung, dipasang tiga panel lukisan minimalis berukuran 2 x 3 meter bergambar batang pohon yang tinggal ranting dengan daun yang minim. Di tengah panggung, enam penampil yang mengenakan pakaian fit to body ketat berwarna hitam dibalut kain putih memainkan berbagai alat musik.
Puisi Seperti Hutan yang Terbakar karya Kemala mengalun. Aura protes terhadap kerusakan hutan menyeruak, apalagi ditambah dengan emosi yang terkandung dalam musikalitasnya. “Ada kemarahan melihat alam yang luka,” ujar Devie Komala Syahni Siregar, anggota Devies Sanggar Matahari, kepada Tempo.
Sabtu dan Minggu malam lalu, Deavies Sanggar Matahari menggelar konser musikalisasi puisi di Graha Bhakti Budaya dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebelum mereka, terlebih dulu tampil beberapa anggota Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia, antara lain dari Jakarta, Banten, Sulawesi Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. “Awalnya konser kami sendiri. Seiring dengan jalannya waktu, teman-teman pengen ikut juga,” Devie menambahkan.
Deavies Sanggar Matahari adalah kelompok yang khusus mendedikasikan diri pada seni musikalisasi puisi. Anggota sanggar ini terdiri atas enam bersaudara, yakni Dedie S. Putra Siregar, Andrie Syahnila Putra Siregar, Devie, Denie Syahnila Putra Siregar, Herie Syahnila Putra Siregar, dan Irma Komala Syahni Siregar. Mereka adalah anak-anak pasangan Fredie Arsi dan Rosmila Djalal.
Fredie boleh dikatakan pelopor genre seni musikalisasi puisi di Indonesia. Pada 1990, ketika seni ini pertama kali diperkenalkan, hanya segelintir orang yang memberi perhatian. Selanjutnya, pada 1994, gerakan ini mendapat sambutan dari Pusat Bahasa dengan menghadirkan program Bengkel Sastra, yakni semacam pelatihan bagi guru dan murid guna mengembangkan musikalisasi puisi. Sejak itu, musikalisasi puisi mulai marak.
Kiprah Fredie Arsi di jalur musikalisasi puisi dimulai pada 1982 dengan mengajari anak-anaknya menyanyikan puisi. Ketika itu, ia sudah memiliki Deavies Group, yakni singkatan tiga anak tertuanya. Kelompok inilah yang keluar sebagai pemenang ketika Pusat Bahasa mengadakan Festival Musikalisasi Puisi pada 1990, yang juga dicanangkan sebagai tonggak kelahiran Deavies Sanggar Matahari.
Mereka kerap menggelar pertunjukan dari pelosok desa hingga kota besar, bahkan sampai ke negeri tetangga, Malaysia. Sanggar yang diganjar sejumlah penghargaan itu telah melahirkan empat album musikalisasi puisi: Apresiasi Sastra (Balai Pustaka, 1996), Puisi untuk Aceh (KaSUHA, 2000), Nyanyian Rindu (2003), dan Ruh (u) Krak (2007).
Ini konser kedua Devies. Adapun konser pertamanya digelar pada Oktober 2000. Pada konser kali ini, Deavies memusikalisasi karya sejumlah sastrawan, seperti Pada Mu Jua (Amir Hamzah), Nawang Wulan (Subagyo Sastrowardoyo), Gadis Peminta-minta (Toto Sudarto Bachtiar), Salam Damai (Fikar Eda), dan Diponegoro (Chairil Anwar).
Tak ketinggalan puisi karya mereka sendiri, seperti Problema II (Fredie Arsi), Ruh (u) Krak (Didie S. Putra), dan Musik Alam (Fredie Arsi).
Satu yang menjadi catatan, konser ini terasa seperti acara keluarga, termasuk ketika kedua orang tua mereka didaulat naik ke panggung. “Keluarga ini penuh cinta dan kasih sayang,” kata Fredie, sang ayah.
Cinta dan kasih itulah, menurut Devie, yang membuat mereka berhasil menciptakan karya seni. “Ternyata komunikasi (keluarga) bisa berjalan melalui kesenian. Kami ingin menunjukkan bagaimana rasa cinta bisa membuat karya yang baik,” Devie menambahkan.
***