Sketsa Tak Bermantra
Terlukis sudah,
mawar bunga tiada estetika
dalam sebuah sketsa tak bermantra
langkah pena yang penuh bimbang
teduh tamanku kini mengerang.
Akulah sang pelukis mawar itu,
tangkai mawar bersembilu pilu
merah merona
warnanya yang belia
indah merekah,
tapi selaksa rekayasa.
Jombang, 2005
Berhias Mata Kaca
Saudara berhias mata kaca
Saksi mata tertawa
Seorang ibu tertusuk pedang busuk
Sebelah rumah, sebarkan kasak-kusuk.
Jombang, 2005
Pentas Malam
demikian keluhan pentas malam,
babak-babak yang sukar ia tebak
syair-syair dari para penyihir
lakon-lakon yang tiada lagi ditonton.
nampak ia terjangkit insomnia,
damai dan lelap tidurnya terampas hempas,
mimpi-mimpi yang tak berbunga lagi;
angin malam yang tak kabarkan temeram.
Aku selalu menunggu risalah dalam relung kalbu,
usir kemunafikan yang menderu.
Aku berguru pada fantasi
yang ku biarkan berlalu.
Jombang, 2008
Panggung Sampah
Mudah sekali engkau bersilat lidah.
Mudah sekali engkau bersolek rona; berpose, kemudian berakting ketat
menari-nari di atas panggung sampah, si kecil kau bikin simpatik
dengan semerbak parfum wangi dan bibir berlipstik
Mudah sekali engkau jadi dalang. Mudah sekali engkau lihai mainkan gambang,
dengan bait-bait sekenario busuk, kemudian engkau mulai berkidung kusuk
si kecil kau jadikan dagelan dengan layar-layar dan cahaya bualan.
Jombang, 2008.
Berfilsafat Pada Gedung Tua
Nampak beringas dan sepi, gedung-gedung mulai bermadu diantara jejak-jejak yang retak, di puncak tiang-tiang logam, juga pepohon yang kini berkarat, tidak menambah spirit kanak-kanak dalam mempermainkan teori-teori tua.
Namun, Tuan dan para serdadu mulai bersatu. Berjalan tanpa mempedulikan apa pun, dan kelihatannya melangkah menuju meja sidang berbatu, dengan sedikit lembaran-lembaran daun keres berserakan, sepanjang bekas ledakan buahnya yang sudah meleleh.
Jombang, Juli 2008.
Semut Berselimut
Tersentak jasad ini lalu memberontak dari lelap mimpi gelap melahap,
bila malam mendongeng dengan cengeng
hanya menghadirkan hidup resah tiada asa
lekas kulihat, lewat tirai kamarku yang masih remang memikat
cahaya fajar itu telah tiba merekah tepat di atas bukit ia menyapa
hendak bangunkan seluruh penghuni mayapada.
Sekompi semut itu masih lembut berselimut dengan seekor beo yang masih
mengigau enggan berkicau.
Jiwaku telah sadar menggelegar bersama lengking gema ayam jantan berkobar
di atas kuncup harum mawar indah mekar.
Inilah awal pencerahan zaman, dunia bukan semata niscaya dan khayalan.
Singsingkan lengan lantang maju ke depan, tampilkan karyamu dengan begitu menawan
seelok gemilang fajar pagi ini gegap melawan.
Jombang, 2007
Agus Sulton lahir di Jombang, 1986. Status sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Penggiat di Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS, komunitas tulis dan apresiasi sastra) Ngoro-Jombang. Kumpulan puisi pribadinya ”Tetesan Tinta Air Mata” (ditulis dari tahun 2002-2005), ”Sketsa Tak Bermantra 1” (ditulis dari tahun 2004-2006), ”Berhias Mata Kaca” (ditulis dari tahun 2006-2008), dan “Kantin Pelatuk Naga” 2010. Karya lainnya berupa cerpen, esai, dan 1 novel pribadi ”Rembulan Bernyanyi”. Saat ini tinggal dan berkarya, di Desa Rejoagung, Kec Ngoro, Kab Jombang JATIM.