Raden Saleh Antikolonial?


Bambang Bujono
tempointeraktif.com 19 Mei 2008

Lukisan-lukisan Raden Saleh, Ekspresi Antikolonial Penulis: I Ketut Winaya Penyunting: M. Agus Burhan, Pudentia Penerbit: Galeri Nasional Indonesia, 2007, 161+IX halaman

Raden Saleh, orang Terbaya, Jawa Tengah, itu selayaknya dikenang sebagai putra Indonesia yang sukses mencapai kebesaran dalam seni rupa sebagaimana dalam ilmu pengetahuan. Namun sekaligus perlu ditegaskan bahwa ia bukanlah seorang nasionalis, seorang yang revolusioner, atau seorang yang radikal. Ia seorang yang sangat tradisionalis, yang menerima struktur kolonial yang berlaku di tanah airnya, membayangkan dirinya punya peran yang lain daripada yang lain, sebagai pelukis kerajaan Belanda, “Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wollanda.”

Pendapat tersebut bukan berasal dari buku ini, melainkan dari Harsja Bachtiar, salah seorang akademisi terkemuka, dalam esainya, Raden Saleh: Aristocrat, Painter, and Scientist.

Segera tersaji dua pandangan yang sangat berbeda. Harsja menyatakan bahwa Raden Saleh bukan seorang yang radikal atau revolusioner sehingga menerima kolonialisme, sedangkan Winaya dalam buku yang berasal dari disertasi di Universitas Udayana, Denpasar, ini tegas-tegas menyimpulkan bahwa Raden Saleh memiliki semangat antikolonial. Ini tercermin dari lukisan-lukisannya.

Harsja sampai pada kesimpulan tersebut setelah meneliti riwayat hidup sang pelukis dari berbagai catatan, termasuk pernyataan Raden Saleh tentang beberapa hal, antara lain tentang dituduhnya dia sebagai penggerak pemberontakan Tambun. Empat tahun setelah peristiwa itu, pernyataan Raden Saleh dipublikasikan oleh Tijdschrift voor Nederlandsch-Indi?. Yang dikutip Harsja, bahwa tuduhan tersebut sama saja dengan menuduh bahwa Raden Saleh “tak tahu berterima kasih kepada bangsa kepada siapa ia berutang nama, pendidikan, pengalaman, pengetahuan dunia, ya, segalanya; satu bangsa yang kepada siapa ia siap menawarkan sampai tetes darah penghabisan,” karena ia merasa “tak akan pernah bisa membayar kembali segala layanan yang diberikan”.

Sedangkan Winaya menegaskan semangat antikolonial Raden Saleh lewat pembacaan lukisan-lukisannya. Misalnya, pada lukisan potret H.W. Daendels di latar belakang figur gubernur jenderal itu bukan hanya pemandangan tropis nan molek, melainkan juga “tampak banyak terlukis bentuk manusia… mengingatkan… bahwa gubernur jenderal ini yang memerintahkan pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer… yang banyak menelan korban rakyat.” (halaman 80)

Pada potret Bupati Majalengka, menurut Winaya, keris yang disandang di samping dengan kepala keris mengarah ke depan menyimbolkan bupati ini sedang siap berperang. Dengan lukisan ini, “seolah-olah secara terbuka ia [Raden Saleh] kembali ke Indonesia siap siaga untuk memproklamirkan perang melawan kolonialisme.” (halaman 104)

Pada lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, di antara prajurit Diponegoro ada sosok Raden Saleh sendiri. Mudah disimpulkan bahwa sang pelukis menyatakan mendukung perlawanan ini; bukankah di antara keluarganya ada yang menjadi panglima Perang Diponegoro? Dan ini, kostum Pangeran Diponegoro, “apabila diamati dengan baik, di atas dan di tengah-tengah sorbannya diketemukan warna merah dan putih.” Menurut Winaya, “dalam hal ini jelaslah bahwa Raden Saleh mempergunakan lambang atau simbol merah putih tersebut sebagai bentuk perlawanan dalam ekspresi lukisan-lukisan antikolonial….” (halaman 112)

Winaya dan Harsja mengingatkan kita pada satu hal: antara pendapat atau pemikiran sang pelukis dan karyanya ada suatu jarak. Jarak itu bisa dekat, antara pendapat dan karya sama. Bisa juga berjarak lebar, tak ada kaitan antara pendapat dan karya. Dalam hal inilah ada peluang untuk melakukan penelitian pada karya-karya Raden Saleh, seberapa dekat antara ucapan serta perbuatan dan karya-karyanya. Dan, Harsja atau Winaya yang lebih dekat pada sang pelukis ini.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *