Dr Junaidi *
riaupos.com
Novel Nyanyian Kemarau tidak hanya sekadar novel yang bercerita tentang kisah cinta laki-laki dan perempuan. Novel ini menampilkan persoalan sosial yang lebih kompleks yang dihadapi oleh masyarakat lokal (Riau) dan Indonesia. Menariknya, kompleksitas persoalan yang ditampilkan dalam cerita ini dapat dikemas dengan gaya bercerita yang sederhana sehingga membuat kisah yang disampaikan mengalir dengan lancar.
Novel ini menampilkan romantisme dan idealisme secara elok ke dalam suatu cerita yang menarik. Penyajian kompleksitas persoalan dalam novel ini tidak membuat fokus cerita ini hilang sebab dari awal sampai akhir, cerita ini tetap berfokus pada persoalan kehidupan yang dialami oleh tokoh utamanya, yakni Rusdi. Ada dua persoalan penting yang diramu dalam cerita ini, yakni persoalan cinta kasih dan pergulatan idealisme seorang wartawan dalam menegakkan kebenaran. Menariknya, persoalan cinta dan idealisme diramu menjadi satu kesatuan dalam penokohan Rusdi. Semua bagian yang terdapat dalam cerita ini tampak saling berkaitan untuk melukiskan ketegaran tokoh utama dalam menyingkapi persoalan yang dihadapinya, baik persoalan cinta maupun persoalan idealisme menegakkan kebenaran.
Ketulusan Cinta
Dalam berbagai karyanya, Hary B Kori’un sering menampilkan persoalan pemaknaan cinta. Tema cinta menjadi mata air yang tak pernah kering bagi Hary sehingga ia terus menulis tema itu dalam berbagai variasi yang menarik. Dalam novel Nyanyian Kemarau, sang pengarang juga mengangkat makna cinta bagi manusia. Persoalan cinta itu terlihat dari dua kisah cinta yang dialami oleh Rusdi, yakni bersama Pramithasari dan Aida. Dari kedua kisah cinta yang dialami Rusdi, cinta itu dimaknai dengan ketulusan untuk saling menerima dengan apa adanya. Meskipun novel ini menampilkan kisah cinta antara pria dan wanita, nafsu atau unsur seksualitas bukan menjadi dasar membangun cinta kasih. Hubungan cinta Rusdi dan Sari menunjukkan bahwa kemurnian cinta tidak terhalang oleh perbedaan status sosial, etnis, dan agama. Secara sosial, Rusdi dan Sari sangat berbeda. Sari adalah seorang wanita yang tergolong sangat kaya dan mempunyai perusahaan sendiri sedangkan Rusdi hanya seorang pria biasa yang berprofesi sebagai seorang wartawan dengan penghasilan yang biasa, hanya cukup untuk hidup. Etnis mereka pun berbeda, Rudi jelas seorang pribumi yang berasal dari sebuah kampung kecil di kabupaten Kampar (Riau), sedangkan Sari berasal dari keturunan Cina.
Secara agama pun mereka berbeda. Rudi jelas seorang muslim sedangkan Sari tentu saja tidak. Menariknya, perbedaan yang mereka miliki tidak menghalangi cinta mereka. Mereka tetap saling mencintai. Tampaknya bagi mereka cinta itu tidak berbatas dan tidak ada yang bisa menghalangi ketulusan cinta. Cinta itu berurusan dengan hati dan hati itu suci sehingga kesucian cinta itu tidak menghalangi cinta mereka berdua. Cinta yang ditampilkan dalam cerita ini melampaui batas etnis dan agama.
Dalam novel ini kisah cinta antara Rusdi dan Sari memang tidak secara jelas ditunjukkan berakhir dengan pernikahan sebab tidak ada jaminan ketulusan cinta itu harus diakhiri dengan pernikahan. Kondisi seperti ini sengaja dihadirkan untuk memberikan ruang kepada pembaca dalam menafsirkan sendiri makna cinta itu. Novel ini memang sengaja ditulis tidak dengan gaya “menggurui” pembaca. Pesan moral yang membosankan dan penyampaian pesan klise tidak menjadi gaya penulisan dalam novel ini. Novel ini lebih mendorong pembaca untuk menafsirkan sendiri cuplikan-cuplikan kehidupan yang dialami oleh para tokoh. Pesan-pesan kemanusia ditampilkan secara elok melalui penokohan sehingga akan terasa lebih menyatu dengan cerita. Cara seperti ini membuat suatu karya sastra lebih bermakna bagi pembaca dari pada karya sastra yang menyampaikan pesan-pesan moral dan kemanusian seperti gaya orang berkhutbah. Bukankah orang tidak suka diberikan kotbah? Orang lebih suka dibawa mengalami dan merasakan kebenaran itu dari pada diberi kotbah atau ceramah. Di sinilah sebenarnya peran karya sastra dalam menyampaikan kebenaran. Karya sastra yang baik menyampaikan kebenaran dengan cara membawa pembaca merasakan kebenaran itu melalui penokohan dan pada akhirnya dengan kepekaannya, pembaca itu sendiri yang menyimpulkann makna kebenaran dalam cerita itu. Pesan kemanusian itu tidak diindrokrinisasikan. Ia disampaikan dengan cara mendorong pembaca untuk merasakannya melalui pengalaman tokoh dalam cerita itu.
Bagaimana pula makna cinta antara Rusdi dan Aida? Ketulusan cinta Rusdi kepada Aida berbeda dengan ketulusan cintanya dengan Sari. Rusdi benar-benar sangat mencintai Aida meskipun kondisi fisik Aida cacat. Kondisi fisik Aida tidak membuat hati Rusdi berpaling dari Aida. Bahkan ketika Aida menjadi cacat, ketulusan cinta Rusdi semakin terlihat kepada Aida. Ini dapat terlihat kerasnya kemauan Rusdi untuk menikahi Aida meskipun Aida secara fisik tidak bisa melayani Rusdi. Bahkan hadirnya kembali sosok Sari ketika Rusdi mendapatkan Aida dalam keadaan cacat permanen tidak menggoyahkan cinta Rusdi kepada Aida. Rusdi tetap menikahi Aida meskipun nyawa Aida akan segera hilang. Suasana hadirnya kembali Sari ketika Rusdi dalam kondisi sulit seperti itu memberikan kesan yang sangat mendalam kepada pembaca untuk memahami makna ketulusan cinta.
Sekali lagi, pembaca diberikan kesempatan untuk merasakan makna cinta yang dialami Rusdi bersama Sari dan Aida. Apakah cinta yang ditunjukkan Rusdi kepada Aida atas dasar kasihan karena kecelakan yang menimpa Aida sebenarnya disebabkan oleh kegiatan jurnalistik yang dilakukan Rusdi untuk memberantas illegal logging yang dilakukan para cukong balak? Atau Rusdi benar-benar tulus untuk mencintai Aida? Cinta Rusdi tampak sangat tulus kepada Aida sehingga terus berupaya untuk membongkar sindikat melakukan pembunuhan terhadap Aida. Bahkan pada akhirnya pun Rusdi dianiaya oleh sindikat illegal logging yang mengakibatkan kecacatan pada bagian kakinya. Rusdi telah mempertaruhkan nyawanya untuk menunjukkan ketulusan cintanya kepada Aida.
Persoalan Idealisme
Ada tiga persoalan idealisme yang ditampilkan dalam novel ini, yakni perjuangan masyarakat Koto Panjang dalam mempertahankan hak mereka, gerakan reformasi yang terjadi di Jakarta, dan pembalakan hutan di sekitar kawasan hutan Teso Nilo. Ketiga persoalan idealisme itu disampaikan melalui sudut pandang tokoh Rusdi. Ketika berada di kampungnya, di Koto Panjang, Rusdi terlibat dalam perjuangan masyarakat Koto Panjang dalam mempertahankan tanah mereka. Ketika ia bertugas sebagai seorang wartawan di salah satu media di Jakarta, ia pun terlibat dalam liputan berita yang berkaitan dengan gerakan reformasi. Sewaktu ia bertugas sebagai wartawan di Pekanbaru, ia juga terlibat dengan kasus pembalakan liar dan bahkan pembelaannya yang dilakukannya untuk menyelamatkan hutan Teso Nilo telah menghancurkan masa depan hubungannya dengan Aida.
Ketika tokoh utama yang ditampilkan dalam novel in memiliki karakter idealistik. Rusdi sebagai seorang wartawan mempunyai idealisme untuk memberjuangkan kebenaran seperti yang mestinya dimiliki wartawan. Sedangkan Sari sebagai seorang pengusaha Cina yang kaya-raya mempunyai nasionalisme yang kuat. Ketika terjadi kerusuhan Mei, dia sebenarnya tidak mau meninggalkan Indonesia. Dia terpaksa pindah beberapa saat ke Singapura karena desakan Rusdi, sebab ia sangat khawatir dengan keselamatan Sari. Sikap kepedulian Sari kepada masyarakat juga terlihat ketika Sari memberikan bantuan kepada masyarakat tempatan. Kedekatan hubungan Sari dengan Rusdi juga menunjukkan bahwa ia tidak membeda-bedakan etnis.
Berangkat dari Fakta Sosial
Salah satu kekuatan yang terdapat dalan novel ini adalah pengangkatan peristiwa nyata atau peristiwa sejarah ke dalam dunia fiksi. Konflik sosial di Koto Panjang dan aktivitas pembalakan liar pernah menjadi isu utama di Riau. Peristiwa reformasi yang diangkat dalam cerita ini juga sangat penting dalam perjalan politik di Indonesia. Novel ini ditulis memang sebagai respons terhadap peristiwa penting yang terjadi dalam masyarakat. Peristiwa sosial yang diangkat itu tentu saja tidak persis sama dengan kejadian sebenarnya sebab cerita itu telah direkonstruksikan ke dalam dunia fiksi.
Mengangkat fakta sosial ke dalam cerita fiksi bukan pekerjaan mudah. Seorang pengarang harus benar-benar memahami fakta sosial itu dengan cara melakukan pembacaan sejarah, cerita, kisah, berita, pendapat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan fakta sosial yang diangkat. Seolah-olah sang pengarang berperan seperti orang yang menuliskan sejarah. Setelah pengarang memahami fakta sosial yang akan diangkatnya itu barulah ia berpikir untuk merekonstruksikan fakta sosial itu ke dalam dunia fiksi. Padahal antara kenyataan dan fiksi itu berbeda. Tetapi di sini letak kemahiran sang pengarang untuk meramu unsur sejarah (fakta) dan unsur fiksi (imajinasi) ke dalam suatu karya sastra yang memiliki kekuatan untuk menarik minat pembaca. Tanpa ada kemampuan imajinasi seorang pengarang tidak akan berhasil merekonstruksi fakta sosial ke dalam karya fiksi. Bila sang pengarang tidak meramu fakta dan imajinasi dengan elok maka tulisan yang dihasilkan akan hambar, kaku dan tidak manarik untuk dibaca.
Tetapi dalam novel Nyanyian Kemarau unsur fakta sosial itu berhasil digabungkan daya imajinasi yang elegan. Ini terlihat dalam cuplikan cerita yang mengisahlan ketika Rusdi menjadi seorang guru dalam keadaan cacat sedang memperhatikan Sari hadir Teso Nilo sebagai Taman Nasional diresmikan, di mana perusahaan Sari menjadi pengelola pariwisatanya. Peristiwa menjadikan Teso Nilo sebagai Taman Nasional merupakan suatu fakta, tetapi pengelolaan taman itu oleh Sari adalah sebuah fiksi alias cerita yang dibuat-buat agar ending cerita ini lebih menarik dan bersifat dramatis sehingga lebih enak dibaca.
Aspek Kepengarangan
Dari segi kepengarangan, ada dua faktor yang mempengaruhi sang pengarang dalam penulisan novel ini. Pertama, pendidikan sang pengarang sebagai alumni jurusan sejarah. Sebagai sarjana sejarah, pengarang berupaya untuk membangun ceritanya dengan mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat dengan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap persoalan itu. Kedua, profesi pengarang sebagai seorang wartawan terlihat dari cara penceritaan yang lugas, sederhana, dan langsung sehingga membuat cerita ini mudah dipahami meskipun tema yang disampaikan cenderung kompleks. Idealisme tokoh wartawan yang sampaikan dalam cerita ini juga tampaknya dipengaruhi oleh pengalaman pengarang sebagai wartawan.
***
*) Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak, dan dosen S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau (Umri). Tiga bukunya tentang sastra dan budaya sudah diterbitkan. Tinggal di Pekanbaru.