Rupa-Rupa Patung Seni Rupa yang Terkoyak

Muhidin M. Dahlan *
jawapos.com

Jika Herbet Read mengatakan bahwa seni adalah kesatuan utuh yang serasi dari semua elemen estetis -garis, ruang, warna- yang terjalin dalam satu kesatuan utuh yang disebut bentuk, patung adalah bagian keluarga besar seni rupa. Patung adalah seni rupa berdimensi tiga yang dengan pandangan kedalaman (depth) -pinjam istilah Graham Collier- patung tak hanya bisa dipandang, disentuh, diraba, melainkan juga bisa dirasakan dan didengar gerak iramanya lewat lekuk cembungnya volume, hampa padatnya ruang, terang-gelapnya warna, halus-kasar, serta besar kecilnya skala (But Muchtar dalam Soedarso S.P. 1992: 23).

Oleh karena depth itu, risiko yang selalu menggelayut saat melihat posisi patung rupa adalah selalu ada empati yang digetarkan bagi yang melihatnya dan sekaligus kebalikannya: selalu meruap amarah yang mengoyakkannya.

Di titimangsa ini, patung yang biasanya berdiri di tengah ruang publik tiap hari akan mendapatkan perlakuan ini: terlupa/terbiarkan, terapresiasi/memberi rasa bangga, memuakkan/tersingkirkan. Perlakuan terakhir itu umumnya disebabkan oleh tiga hal yang semuanya di luar soal estetika: moralitas, politik, dan ekonomi. Dan, aparatus pengoyak itu dua: aparatus negara dan masyarakat. Kecuali satu, mahasiswa yang membakar patung dosennya sendiri seperti yang terjadi di ITB pada 1981: Semsar Siahaan mengoyak patung Sunaryo, Irian dalam Traso (Thamrin, 2008: 170).

Ayo, mari kita lihat satu-satu, bagaimana rupa-rupa patung seni rupa terkoyakkan di ruang publik. Tanpa ada perdebatan, pastilah robohnya patung Tiga Mojang yang merupakan simbol Kota Harapan Indah, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, pada 18 Juni 2010 adalah soal moralitas. Patung perunggu setinggi 15 meter dengan dana pembuatan Rp 5 miliar dan sudah berdiri selama tiga tahun itu dituding oleh sekelompok ormas melecehkan umat Islam karena tiga patung wanita tersebut bertelanjang dada. Selain itu, patung tersebut diindikasikan sebagai Bunda Maria dan perlambangan Trinitas.

Patung itu dibuat oleh salah seorang pematung terbaik Indonesia, I Nyoman Nuarta (1951). Dia telah membuat patung raksasa dan monumental yang tersebar di pelbagai kawasan Nusantara. Selain Monumen Jalesveva Jayamahe, yang terletak di ujung utara Surabaya, patung megaproyeknya yang sangat terkenal adalah Garuda Wisnu Kencana (GWK). Patung itu dibangun di atas kawasan taman budaya Garuda Wisnu Kencana di Desa Ungasan, Jimbaran, Bali, dengan luas keseluruhan sekitar 200 hektare. Tinggi Monumen GWK sekira 75 meter dan diletakkan di atas fondasi setinggi 70 meter. Kira-kira setinggi Patung Liberty di Amerika Serikat.

Melihat jejak rekam integritas itu, mustahil Nyoman Nuarta melecehkan umat Islam. Pematung dari ITB tersebut mengatakan, Tiga Mojang bukanlah patung Bunda Maria dan dirinya sama sekali tak berniat melakukan ”Kristenisasi” kepada masyarakat. Memang patung tersebut tidak mirip dengan Bunda Maria yang berkerudung. Itu adalah gambaran mojang priangan yang memakai kemben sebagai pakaian tradisional.

Mari ke Jogjakarta. Pada pekan pertama tahun ini, satuan polisi pamong praja (satpol PP) merazia patung karya perupa Agus Setiyoko Lampah. Karya itu dianggap menyalahi norma karena menjurus pornografi, yakni patung dengan bentuk menyerupai alat kelamin pria, yang pangkalnya menyerupai alat kelamin wanita. Patung tersebut merupakan salah satu karya instalasi luar ruang dalam ajang Biennale Jogja X yang diletakkan di Taman Simpang Tiga Demangan, Jalan Affandi, Jogjakarta. Padahal, sebelumnya wali kota mengizinkan penempatan seluruh karya seni di ajang dua tahunan itu.

Kalau dua kasus di atas dimakzulkan karena moralitas, patung perupa Bumi Tarung/Lekra Amrus Nalasya dimakzulkan karena amarah politik. Patung hasil pahatan dari sebatang kayu berat dari pohon asam tua yang dimaksud adalah ”Keluarga Tandus di Senja”. Patung itu dibakar massa pada 1965 di depan Akademi Sosial Aliarcham, Jakarta. Kesalahannya satu: pematungnya anggota Lekra dan ditempatkan di salah satu akademi milik PKI.

Padahal, dalam sejarah seni rupa, Amrus adalah salah seorang pematung kayu terbaik yang oleh sejarawan seni Claire Holt (2000: 340) patung yang dibakar itu disebut: ”karya pahatan kayu yang menyampaikan penderitaan eksistensi kemanusiaan dengan kekuatan yang jarang dijumpai pada karya-karya para seniman Indonesia yang lain.”

Jika tiga patung itu dirobohkan dan dibakar, tiga patung berikut ini terancam tergencet oleh konflik ekonomi dan politik dan nyaris makzul. Naiklah ke Dukuh Sobo, Desa Pakis Baru, Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Di Desa yang terletak di puncak Gunung Brengos itu berdiri patung perunggu Panglima Besar Jenderal Soedirman. Patung Jenderal Soedirman setinggi 8 meter tersebut dengan gagah mengenakan jas panjang, berbelangkon, dan lengan kirinya menggenggam tongkat kayu.

Patung itu dibuat oleh pematung realis asal Jogjakarta, Saptoto. Saptoto adalah murid gemblengan langsung Affandi, Hendra Gunawan, dan Trubus di Pelukis Rakjat yang dengan pengalamannya yang panjang dipercaya menjadi ketua STSRI ”ASRI” (1984) sekaligus dekan pertama Fakultas Seni Rupa ISI Jogja pasca bersulih dari STSRI ”ASRI” (1984-1991).

Pangkal soalnya ini: di sebuah blog sederhana, para ahli waris Roto Suwarno, bekas ajudan Jenderal Soedirman yang selama ini merawat patung itu, mengumumkan akan melego patung tersebut sekalian rumah gerilya Soedirman dalam empat bahasa. Harga yang ditawarkan Rp 40 miliar. Polemik pun berlangsung. Dan, patung itu tetap berdiri menunggu nasibnya dibancak ekonomi.

Kasus Patung Petani (Tugu Tani) di Jakarta Pusat unik lagi. Menurut versi masyarakat, patung ini bernama Tugu Tani, tapi pemerintah membantahnya dengan mengatakan bahwa patung itu adalah Patung Pahlawan. Nama yang terakhir ini yang resmi dipakai (Monumen dan Patung di Jakarta, 1999: 78).

Patung yang dibuat perupa asal Rusia Matvei Manizer dan Otto Manizer itu menggambarkan dua orang pria dan wanita. Pria yang memakai caping dan menyandang bedil itu berdiri kukuh, sementara yang wanita menyerahkan bekal nasi.

Di mata telanjang masyarakat, patung yang diresmikan pada 1963 tersebut adalah patung petani. Jika pemerintah bersikukuh bahwa itu bukan patung petani, bisa kita rujuk pada fakta lain. Pematung terkemuka asal Jogja Edhi Sunarso mengaku pernah disuruh pemerintah DKI Jakarta untuk menyingkirkan patung tersebut, tapi ditolak. Alasan Edhi, pemindahan itu bisa menghina negara yang telah memberikannya (Rusia). Alasan pemerintah menyingkirkannya tentu saja menghapus ingatan publik kepada Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi ke PKI. Sebab, di tahun-tahun patung itu berdiri, BTI adalah organisasi petani paling fantastis di Indonesia.

Nasib yang sama dialami Patung Dirgantara di Pancoran (Jakarta) yang dibuat Edhi Sunarso. Nasib patung yang sudah jadi pada 1964 itu terkatung-katung lantaran dihadang peristiwa besar Gestok 1965.
***

*) Kepala riset Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009. Sedang menyusun Tonggak-Tonggak Gerakan Seni Rupa Yogyakarta (1946-2010).

Leave a Reply

Bahasa ยป