Kurnia Efendi*
http://www.infoanda.com/Republika
Nestapa, seperti juga takdir, tak semata dirajahkan pada telapak tangan, sehingga kita mungkin mampu membacanya sejak awal. Ketika maut datang dalam bentuk yang tak terpikir oleh kita, bahkan Tuhan seolah-olah menghendaki kita tak siap. Membayangkan kelemahan manusia, kadang-kadang muncul perasaan ganjil, namun itulah yang terjadi.
Kesedihan pada akhirnya sulit diwakili kata-kata. Tapi bukan berarti pelukisan itu akan kita hindari. Sebagai bentuk keprihatinan paling sederhana, para penyair mencoba menuliskan perasaannya. Dan Eka Budianta memberi judul puisinya: Kalau Bukan Penyair, Lalu Siapa? Dengan puisinya itu ia ingin mengetuk hati nurani penyair yang paling dalam. Di sisi lain, Ibnu Wahyudi mengaku (seperti yang juga diangkat sebagai judul puisi): Kita Selalu Terlambat.
Meskipun upaya itu tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Demkianlah, dengan cara dan sudut pandang masing-masing, para penulis puisi (atau kita sebut penyair?) diberi kesempatan untuk menyampaikan empati, reaksi, simpati, sikap, dan pandangannya terhadap sebuah musibah besar melalui kata-kata. Dengan bahasa. Dengan sederet aksara.
Hampir kita tak percaya! Yogyakarta, sebuah kota yang tenang dan santun, tiba-tiba diguncang gempa berkekuatan 5,9 skala Richter. Saat itu subuh baru saja berlalu. Fajar semburat muda. Namun Sabtu, 27 Mei 2006 itu, bencana telah mengubah paras anggun Yogyakarta dalam 57 detik saja. Segala yang tertib mendadak poranda. Suasana tenang tercabik jerit ketakutan, rasa ngeri yang tak terperi.
Kecemasan berminggu-minggu terhadap ancaman lava Gunung Merapi membuat banyak orang salah sangka. Justru lempeng sepasang benua nun di dasar lautan yang menggeliat, bergerak saling menyesuaikan diri, menjadi episentrum yang menyebabkan sekian ribu rumah runtuh serentak. Di bawah bangunan yang kemudian berserak itu, penghuninya nyaris tak sempat menyelamatkan diri. Beberapa hari kemudian tercatat lebih enam ribu orang tewas sebagai korban.
Kini, peristiwa itu telah berlalu lebih seratus hari. Atau baru lebih seratus hari? Waktu sangat lambat beranjak ketika seluruh gerak kehidupan diliputi perasaan duka. Ketika sejumlah hari merupakan rangkaian kesulitan, setelah pengalaman kehilangan yang luar biasa menyedihkan. Sementara uluran tangan para relawan, bantuan dari banyak penjuru, tak sekaligus mampu membuat mereka bangkit berdiri. Selain fisik yang memang kehilangan daya, sesungguhnya perasaan mereka lebih terpuruk. Trauma menyebabkan situasi dan kondisi batin mereka kehilangan harapan. Jalan seolah buntu, masa depan berwarna gelap. Secara naif kita boleh bertanya: Apakah kehidupan harus berhenti?
Dukalara itu tak hanya dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tak lagi memiliki apa-apa, selain atap langit. Kata Fikar W Eda dalam puisinya: “Di pagi yang belum sempurna, Yogya datang kepadaku dengan tubuh penuh luka…”
Membaca itu, kita semua gemetar. Kita disadarkan pada sebuah kekuatan yang tak terjangkau khayalan. Ada Maha Empu yang berkuasa atas peristiwa mengerikan itu. Sebagaimana kesaksian seorang penulis puisi sangat belia, Ashilly Achidati: …tembok-tembok digelombangkan… Ia menemukan frasa yang tentu dipetik melalui penglihatannya.
Ya. Atas nama alam kita hanya boleh pasrah, karena memang bukan harus dilawan. Kekuatan itu terlampau dahsyat. Sehingga pantas jika Isbedy Stiawan mengatakan: realitas yang terjadi jauh lebih mengerikan ketimbang puisi yang dituliskan para penyair. Meskipun manusiawi pula jika kita merasa murka, kecewa, dan sempat menilai peristiwa ini sebagai ketidakadilan. Tetapi siapa sanggup mengurai misteri bumi dengan keterbatasan daya pikir kita?
Seratus hari tak serta-merta menghapus luka itu. Sedu sedan masih terdengar di bilik hati masing-masing. Getaran gempa masih terjadi sesekali. Negeri ini, setelah Aceh dan Nias, masih menyimpan nyeri. Setelah Yogyakarta, bahkan kemudian Pangandaran dan Cilacap juga dicium tsunami. Satu demi satu reruntuhan perlu ditata kembali. Dengan jiwa yang perlahan bangkit lagi. Kita, yang dekat maupun jauh dari ukuran jarak, terus berusaha mengobati. Di antaranya dengan cara menulis puisi.
Ekspresi yang diungkapkan dengan pelbagai perasaan itu perlu wadah. Di antaranya tentu media massa yang kemudian menyiarkannya. Tanda, atau lebih ‘dramatik’ disebut jejak, perlu diawetkan dalam sebuah buku. Setidaknya untuk mengenang, bahwa pernah ada dukalara yang menimpa saudara-saudara kita. Dalam upaya ini, Komunitas Sastra Indonesia, bukanlah satu-satunya kelompok pegiat sastra yang melakukan. Hanya salah satunya.
Komunitas Sastra Indonesia (KSI), yang dibentuk sepuluh tahun lalu, merupakan himpunan sejumlah komunitas pegiat sastra yang tersebar di Jabotabek. Dengan memanggul nama ‘sastra’, kegiatan yang dilakukan KSI meliputi bidang sastra dalam pelbagai genre: puisi, cerpen, novel, dan esai; yang diekspresikan dalam bentuk diskusi, apresiasi, pelatihan, penerbitan buku, dan pertunjukan seni sastra.
Ketika seratus hari yang lalu gempa bumi tektonik mengguncang Yogya dan sekitarnya, kita terhenyak dan menyadari, bahwa bencana tsunami Aceh bukanlah yang penghabisan. Terlepas dari cara Tuhan menguji atau (semoga tidak) menghukum manusia, ada kewajiban secara moral untuk mengulurkan tangan membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Banyak di antara mereka adalah seniman, para sahabat yang kerap saling bersilaturahmi dalam pelbagai acara sastra. Sisi paling dalam dari nurani kami pun tersentuh. Siapa yang akan membantu mereka jika bukan kita?
Saat-saat seratus hari gempa Yogya, yang jatuh tanggal 6 September 2006, kita patut kembali ‘mengingatnya’. Kehidupan memang terus berjalan bagi setiap orang, namun sangat berbeda antara yang tinggal di tempat normal dengan yang masih berserak di tenda-tenda penampungan. Ngilu itu masih kerap menghampiri perasaan kita. Namun untuk melerai kedukaan itu, tak cukup hanya doa. Harus disertai kerja, ikhtiar yang melibatkan setiap gerakan fisik kita.
Komunitas Sastra Indonesia mengajak semua penyair Indonesia untuk menyumbangkan karya. Tentu setiap orang punya cara mengulurkan bantuan, namun karya puisi, sekalipun tak langsung sanggup mengganti harta dan nyawa yang hilang, secara spiritual dapat menambah ‘tenaga batin’ bagi yang terpuruk. Kepedulian sederhana yang tampil melalui untaian kata itu mudah-mudahan tak kalah berharganya dibanding curahan bantuan materi.
Mudah-mudahan tak berhenti sebagai seratus hari peristiwa gempa Yogya di mata para penyair. Bahkan setelah genap menjadi buku yang disunting antara lain oleh Ahmadun Yosi Herfanda, Saut Situmorang dan Endo Senggono dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sumbangan seluruh penulis puisi yang karyanya tercantum dalam buku bertajuk Jogja 5,9 Skala Richter itu akan bergulir seiring gerakan penjualannya.
Dalam hal ini, Komunitas Sastra Indonesia tidak bertindak sendirian. Gerakan sosialnya bagai gayung bersambut dengan PT Excelcomindo Pratama yang melalui XL Care melaksanakan program Pulihkan Jogja. Tak hanya demikian, karena kemudian penerbit Bentang Pustaka bersedia menerbitkan buku antologi puisi itu.
Kerjasama tersebut merupakan bentuk kepedulian yang diharapkan memiliki manfaat bagi banyak pihak. Karena itu, atas keikhlasan para sahabat, para penyair, yang tersebar di seluruh Indonesia, juga di mancanegara, baik yang puisinya terhimpun maupun yang masih tersimpan dalam bank naskah KSI, disampaikan terima kasih sedalam-dalamnya.
Kita patut bersyukur kepada Allah SWT yang meletakkan tiap peristiwa dengan sebab-akibat yang demikian rahasia. Secara mendalam pula Komunitas Sastra Indonesia tentu menaruh hormat atas tanggapan positif semua pihak, antara lain Saut Situmorang, penyair Yogyakarta yang sejak awal menawarkan diri menjadi salah satu penyunting antologi, Gangsar Sukrisno dari penerbit Bentang Pustaka yang terbuka menyambut kerjasama penerbitan, Excelcomindo Pratama dengan program XL Care yang telah merealisasikan kehadiran buku itu.
Peluncuran buku tersebut telah dilaksanakan di MP Book Point Jakarta Selatan pada 16 September 2006. Acara berlangsung cukup meriah dengan diisi pembacaan sajak oleh para penyair Jakarta dan Yogyakarta. Acara serupa digelar di Yogyakarta pada 30 September 2006.
Acara itu setidaknya telah menjadi saksi kepedulian para penyair terhadap peristiwa duka yang baru berlalu sekitar seratus hari. Beberapa penyair yang berkesempatan membacakan karyanya, masing-masing memiliki kesan mendalam terhadap Yogya. Ternyata Yogya hampir menjadi suasana yang tak terpisahkan dari jiwa seorang seniman. Ia menjadi sumber inspirasi mereka.
Untuk itulah mari bersama-sama membuka jiwa kita untuk membela yang menderita. Mari bersama-sama pulihkan Yogyakarta.
*) Cerpenis dan pengamat sastra