suarapembaruan.com
Jalan Menuju Masa Lalu
Bulan pipih tugur di langit suntuk. Di likut senyap kabut
tubuh yang ringkih hanya menyisakan batuk. Selalu
kubaca wajahmu di sela sunyi dan rasa kantuk. Wajahmu
adalah sebentang jalan menuju masa lalu, tempat hujan dan rasa
sakit menciptakan kebisingan tak berujud.
Kesunyian adalah sehelai daun yang jatuh di malam larut.
Kota makin bisu, makin sumuk. Kegelapan menyerap
segala pengetahuanku yang cuma seteguk.
Ingatan nafasmu adalah pisau, mengoyak habis
segala harapan dan gerak batinku. Bulan pipih tugur di langit suntuk.
Derita membawaku sampai pada kekelaman tak berbentuk.
Hanya nyala lilin yang kecil yang tertangkap oleh tatapanku.
Seonggok makam batu meretak di bumi jauh. Sesosok
hantu terus gentayangan dari kampung ke kampung,
makin jauh dari sorga, makin jauh dari peluk.
“Tebing begitu tinggi, kasihku, hati begitu sepi
begitu perih begitu pedih merindu!” Sebab kita tak
lagi bertemu, kini kulupakan segala percakapan. Dan bulan
pipih tugur, terus tugur. Dan langit suntuk, makin suntuk. Serupa
sebentang jalan menuju masa lalu.
2008
Wajahmu Adalah Masa Silam
dan Kota Hanya Terik
wajahmu adalah masa silam
kota hanya terik
hanya bising
hanya jadi tempat mukim
bagi maut dan segala yang terasing
tapi (sungguh) di kota yang hanya terik
hanya bising itu
pernah kulihat sosokmu manis
berdiri di simpang jalan
menggenggam sejambak kembang
tapi mengapa kau hanya diam
tak sapaku barang sebait
tidakkah kau kenali
berdiriku di samping
melankoli
begitu putus asa memanggilmu
lewat debu
lewat deru
lewat matahari?
“asmara adalah hantu asing
tapi di dadanya seorang penyair
akan tertawa atau menangis…”
kiranya kini aku telah mahir
(makin mahir!)
bertepuk sebelah tangan
memainkan cinta yang hening
merasakan rindu yang kering
wajahmu adalah masa silam
dan kota hanya terik
cuma terik
hanya bising
cuma bising
hanya jadi tempat mukim
tak kurang
tak lebih
2008
Hikayat Pejalan Malam
Yang ia miliki hanyalah selajur jalan yang terus
memanjang dalam gelap dalam pengap
dalam senyap lanskap dan jauh dekap. Yang ia
kenali hanya setapak jejak yang terus lenyap digerus
kembara antara malam dan rumah tak ada.
2008
Pohon Subuh
Ke tengah subuh, tubuh yang dingin makin gigil. Antara dinding
dan selimut kuning, mata yang kering hanya menangkap
gelap bertangkup hening. Siapakah yang mampu
mengeja keluasan tangis kedalaman gerimis? Aku hanyalah
pohon-seonggok pohon!-dengan tulang-tulangnya kering,
telah lama dilupakan musim,
makin uzur dikungkung renta dan alpa iklim.
2008
Kurasa Aku Telah
kurasa aku telah tenggelam
dan kehabisan waktu
tapi meski begitu
tak akan kubiarkan rinduku
mampus dan kau
dan tanah membusukkannya
jadi belatung
sebab kasihku utuh
cintaku satu
kiranya kuingin bebas
dari segala kantuk
dari segala sumuk
dari segala amuk
dari segala suntuk
dari segala kutuk
meski kelak maut
menundungku jadi hantu:
terus kelayapan
terus gentayangan
dari kampung ke kampung
dimuntahi para pemabuk
dicemooh para penuduh
dan hidup
yang keras kepala dan acuh ini
kian melupakanku darimu
dan kau
dan aku
makin dihempas jarak
kian terpisah
makin jauh dari peluk
makin sepi dari cumbu
: “o kurasa aku telah tenggelam
dan kehabisan waktu!”
2008.
Lagu Perpisahan
jangan tunggu aku datang, puan
aku tak bakal datang
bara dalam dada
telah padam
diguyur hujan
berderas-deras
sungguh:
aku pernah punya harap
bersanding dua-dua
bak pinang dibelah dua
tapi:
nasib lain bicara
maka:
jauhkan saja raga
dari asmara
maka:
bila nanti ada jumpa, puan
jangan biarkan
mata beradu pandang
sudah palingkan saja rupa
tutupkan saja mulut
rapat-rapat
biarkan semuanya diam
jadi rahasia dalam ingatan
lamat-lamat melapuk
lambat-laun terlupa
akan tetapi:
bila puan tak sengaja
tangkap rupa
beradu pandang
usahlah meratap
sunggingan saja
senyum barang seutas
sekali saja
kecil saja
lantas ucapkan:
“selamat tinggal.
selamat jalan.”
tanpa gaung
tanpa gema
sekali saja
sekali saja
pelan
pelan
seakan hanya jiwa
bakal mendengar
2008.
Kusimpan Diriku dalam Gelap Tak Teraba
Kusimpan diriku dalam gelap tak teraba. Kampung
kampung jadi asing, jadi ganjil dalam ingatan.
Tak ada lagi yang bisa ditunggu, bahkan
jejak pun cuma tinggal kabur, tinggal pudar dalam kehampaan.
Tak kunyanyikan lagu kepergian, sebab setiap kata
senantiasa gagal terucap. Kau, detak jam yang berhenti
di dasar jurang waktu menganga. Sekali merintih.
Sekali memekik. Sekali terabaikan. Selalu dilupakan.
2008.
DI STASIUN
Keretaku telah datang, puan, jangan menangis
jangan meratap, sampaikan saja pada hatimu bimbang
: aku hanya sejenak tualang sebentar pasti pulang,
kembali berpeluk mesra di hangat ranjang.
2008
MAUT MEMBURU
Kelak kukenang tengkukmu. Bau tengkumu. Rindu yang dingin
membeku dalam sedeku. Cinta yang bingung menyelinap
di balik selimut, membangun jalan setapak bercecabang di dasar
kalbuku. Tak pernah kuminta pagi yang riuh, rumput yang rumbut,
meski umur kian dekat pada kubur. Di Prabalingga kupeluk tubuhmu.
Bayang-bayang tubuhmu. Segenap kerenggangan mendudukkanku di sudut
kelabu. Serupa malam dilikut kabut. Dan maut memburu.
2008.
Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta 21 Juni 1974. Dosen Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Aktif bergiat di Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen.
Karya-karyanya, baik puisi, esai maupun cerpen, termuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei), Horison, Jurnal Cipta, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Kidung, Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya, Annida, Pikiran Rakyat, Aksara, Fajar Banten, Suara Merdeka, Santri, Mimbar Pembangunan Agama, Surya, Jaya Baya, Bende, Surabaya Post, Surabaya News, Suara Indonesia, Penabur, Jurnal LaminSastra, Jawa Pos, Bali Post, Waspada, Lampung Post, Analisa, Pedoman Rakyat, Radar Banjarmasin, Berdaulat, Sriwijaya Post, Jurnal Kebudayaan Pendar, Duta Masyarakat, Memorandum, Karya Darma, dsb.
Juga di beberapa kumpulan puisi bersama, antara lain: Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Seribu Wajah Lilin (Gapus, 1997), Rumah Yang Kering (FS3LP, 1997), Luka Waktu; Antologi Puisi Penyair Jawa Timur ’98 (Taman Budaya Jawa Timur, 1998), Penunggang Lembu Yang Ganjil (Dewan Kesenian Surabaya, 2000), Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (Kompas, 2001), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002), Manifesto Surealisme (FS3LP, 2002), Permohonan Hijau (Festival Seni Surabaya, 2003), Birahi Hujan (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan Dian Sastro for President; End of Trilogy (Insist Press, 2005), Festival Mei; Antologi Puisi (FSB & Institut Nalar Jatinangor, 2006), Kentrung Jancukan (Gapus, 2006), Rumah Pasir; Antologi Puisi Lima Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2008).
Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997 yang diadakan oleh UI. Selain itu, juga tercatat sebagai salah satu pemenang pada Sayembara Penulisan Cerpen dan Puisi “Hadiah Tepak” yang diadakah oleh Majalah Sastra dan Budaya Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.
Puisi-puisinya juga pernah dibacakan di Radio Deutsche Welle. Selain itu pernah pula diundang untuk membacakan puisi-puisinya di Festival Seni Surabaya 2003, Pertemuan Sastrawan Nusantara ke XIII, Festival Mei di Bandung, dan Festival Seni Surabaya 2008. Juga pernah diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan sajak-sajaknya di TIM dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia.
Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul Di Bawah Nujum Kabut tercatat sebagai salah satu nominasi penghargaan KSI Award 2003 yang diadakan oleh Yayasan Komunitas Sastra Indonesia. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris termuat di Big Lick Literary Review; a Multicultural Arts Ezine yang diterbitkan di Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal.
Ekspedisi Waktu (Atlas Publishing, 2004) dan Kitab Syair Diancuk Jaran (Biliksunyi & Akarkata, 2007) adalah buku kumpulan puisi tunggalnya yang pernah terbit. Sementara Syair Pemanggul Mayat dan Nisan adalah dua manuskrip kumpulan puisinya yang belum pernah diterbitkan oleh penerbit manapun.
Kini, selain mengelola Media Puisigelap bersama Mashuri, Ribut Wijoto, Muhammad Aris, F. Aziz Manna dan S. Jai, juga tengah mempersiapkan naskah kumpulan puisinya yang berjudul Lonceng di Leher Kucing. Alamat: Indra Tjahyadi, Jl. Mayjend Panjaitan No. 48, Probolinggo, 67219, Jawa Timur, Indonesia. Telp. +6281358979276. Email: indra_tjahyadi@yahoo.com