Sang Pencerah; Islam di Jawa pada Suatu Masa

Mumu Aloha
http://www.jawapos.co.id/

SUTRADARA Hanung Bramantyo punya kesibukan baru: menemani para pejabat dan tokoh masyarakat yang sedang dilanda demam Sang Pencerah, film karya terbarunya. Tak jarang, pada satu saat dia harus memilih karena waktunya bentrok. Seperti malam itu, Hanung ”terpaksa” tak bisa menemani Setiawan Djodi karena pada saat yang sama, Amien Rais juga membutuhkan kehadirannya untuk nonton film tersebut. Yang jelas, Hanung senang karena orang-orang penting itu menonton bukan atas undangan produser sebagai bagian dari promosi, melainkan atas inisiatif sendiri, membeli tiket dan mem-booking kursi sendiri. Dan, demam tersebut tak hanya melanda Jakarta, melainkan sampai ke pelosok-pelosok daerah, membuat para bupati dan komandan korem merasa ketinggalan kalau belum menonton film itu.

Seperti tertera pada poster filmnya, Sang Pencerah yang diproduseri raja sinetron Raam Punjabi adalah ”film tentang Ahmad Dahlan”. Semua orang tahu, selain sebagai pahlawan nasional yang gambarnya tertempel di dinding sekolah-sekolah, Ahmad Dahlan adalah pendiri perserikatan Muhammadiyah, ormas Islam terbesar setelah Nahdlatul Ulama (NU). Sampai di sini, orang boleh langsung curiga bahwa Sang Pencerah merupakan sebuah cerita lain tentang bagaimana sebuah film diproduksi berdasar perhitungan bahwa tema yang diangkat menyentuh basis massa yang besar sebagai calon konsumen potensial. Curiga itu perlu. Maklum, sebelumnya Hanung telah memproduksi film tentang bisnis multilevel marketing (MLM) berjudul Menembus Impian dengan asumsi dagang bahwa jutaan anggota MLM akan menontonnya.

Sebagai barang dagangan yang diproduksi dengan modal besar (Rp 12 miliar) dan harus laku, tentu sah saja membuat film dengan kalkulasi apa pun. Bagi penonton, yang penting filmnya bagus, habis perkara. Menembus Impian terbukti telah jatuh menjadi propaganda yang buruk. Bagaimana Sang Pencerah? Wapres Boediono memberikan dua jempol, sedangkan Amien Rais menilai 8,9. Kurang apa lagi?

Film itu dibuka sebagai sebuah drama sejarah. Hanung yang menulis sendiri ceritanya mencoba membingkai situasi zaman lewat teks di layar yang menyebut-nyebut Syekh Siti Jenar telah membelokkan Islam di Jawa ke dalam praktik-praktik mistik dan klenik. Dengan fondasi semacam itu, sejak awal Hanung mengonstruksikan Ahmad Dahlan dalam semangat perlawanan sebagai ”pemberontak”. Ahmad Dahlan belia (diperankan Ikhsan ”Idol”) digambarkan sebagai bocah nakal yang mengendap-endap dari balik pohon beringin raksasa di Alun-Alun Kidul Keraton Jogjakarta untuk mencuri sesaji yang ditaruh orang-orang miskin yang minta berkah dari penunggu pohon tersebut. Adegan lalu melompat ke masa yang tak jauh ketika anak muda itu mengungkapkan keinginannya kepada sang ayah (diperankan Ikranagara) untuk belajar agama di Makkah.

Pulang ke tanah air, Ahmad Dahlan sudah dewasa (yang diperankan Lukman Sardi) dan berubah menjadi sosok penuh wibawa yang telah tercerahkan secara intelektual. Dia turun dari kapal dengan menenteng biola -mungkin dimaksudkan sebagai simbol kemodernan. Kembali ke lingkungan Kauman (kampung muslim di lingkungan keraton), Dahlan segera diangkat sebagai imam-khatib Masjid Agung Kasultanan Jogjakarta yang sebelumnya dijabat ayahnya. Namun, kemudian semua menjadi salah mata bagi Dahlan. Pertama, dia menyoal arah kiblat masjid. Dengan aktraktif, di hadapan para ulama ”kolot” keraton yang ditetuai Kiai Penghulu (Slamet Rahardjo), Dahlan membentangkan peta dunia dan menunjukkan betapa kiblat Masjid Agung Kauman selama ini melenceng dari arah Kakbah. Dari sinilah, konflik antara Kiai Dahlan dan elite kiai keraton yang di dalamnya terdapat saudara-saudaranya sendiri, termasuk paman dan adiknya, Kiai Lurah (Agus Kuncoro Adi), dimulai.

Sang Pencerah adalah sebuah roman yang merekam kehidupan panjang tokoh utamanya. Ambisi Hanung untuk memaparkan perjalanan hidup Ahmad Dahlan sejak lahir tidaklah mulus. Pada bagian awal, kita seperti disuguhi highlight peristiwa yang kejar-mengejar. Baru ketika sampai pada periode pasca kepulangan Dahlan dari Makkah, Hanung mulai lancar bertutur. Konflik demi konflik terangkai dengan baik, menyusun sebuah alur yang tangkas, enak diikuti, bahkan pada bagian-bagian tertentu seperti menemukan puncak dramatisnya, dalam bingkai ilustrasi musik (dikerjakan oleh Tya Subiyakto) yang menawan. Lewat gambar-gambar yang disajikan dengan indah oleh mata kamera Faozan Rizal, kita semakin terseret secara emosional ke dalam konflik yang dialami Dahlan, mulai keputusannya untuk mengundurkan diri jabatan sebagai imam-khatib Masjid Agung lalu mendirikan langgar sendiri di Kauman Kidul hingga cap kafir yang dilabelkan kepadanya oleh orang-orang di sekitarnya.

Dahlan yang santun dan andhap asor kemudian semakin melebarkan kiprah dengan melamar sebagai guru di sekolah Belanda, bergabung dengan gerakan Boedi Oetomo yang dipimpin Wahidin Soedirohoesodo (Pangky Suwito). Pembakaran Langgar Kidul oleh orang-orang yang menuduhnya kafir tidak menyurutkan dakwahnya. Beriringan dengan itu, dengan pengikut yang terbatas dan tak henti-henti diteror, dia terus mengembangkan langgarnya yang telah dibangun kembali, bahkan kemudian bisa mendirikan madrasah ala kadarnya, yang semua menjadi cikal-bakal berdirinya organisasi Muhammadiyah kelak.

Secara teknik, film itu nyaris tanpa cacat. Tata rias berhasil menyulap Zaskia Mecca (jadi istri Ahmad Dahlan) menjadi perempuan ”kampung” yang patuh serta mendukung perjuangan suami atau desain kostum yang jeli membuat Giring ”Nidji” menjadi seorang santri Jawa yang lugu. Namun, dari segi cerita, film tersebut menyisakan sejumlah pertanyaan, terutama seputar konstruksi tokoh Ahmad Dahlan. Misalnya, benarkah dia bisa bermain biola dan pernah menjawab pertanyaan muridnya, ”Apakah agama itu?” dengan memainkan alat musik tersebut, seperti terlihat pada salah satu adegan? Memang, menurut saya, dua hal itu bukanlah persoalan besar. Film biografi yang baik bukan yang berhasil nenyajikan keakuratan tak terbantahkan. Melainkan, yang berhasil mendorong kita untuk lebih tahu sang tokoh. Penonton yang manja mungkin lebih suka mempersoalkan, misalnya, mengapa sang kiai tidak secerah judulnya dan lebih sering tampak murung.

Saya lebih suka untuk adil dan memberikan selamat kepada Hanung Bramantyo atas hasil kerjanya yang menggugah banyak orang itu dan sampai batas tertentu berhasil menciptakan euforia. Bagaimanapun, seorang filmmaker bukanlah sejarawan. Namun, dengan segala keterbatasan risetnya, Hanung telah mengungkap cukup banyak fakta penting. Misalnya, peran Sultan Hamengkubuwono VIII di balik pendirian Muhammadiyah. Sudah barang tentu, bukan berarti film tersebut tak memiliki kekurangan. Sebagai sebuah biopik, yang menyorot perjuangan seseorang, film itu terlalu manis. Konflik utama antara Kiai Dahlan dan Kiai Penghulu dalam perkembangannya bahkan menjadi sekadar kesalahpahaman dan bukan menyangkut sesuatu yang prinsip dalam berbeda pendapat mengenai agama. Kelemahan lainnya menyangkut sosok Ahmad Dahlan yang sempurna bak malaikat sehingga terasa kurang menyentuh emosi.

Secara umum, Hanung tidak hanya berhasil menghidupkan seorang tokoh dari gambar bisunya di ruang-ruang kelas. Lebih dari itu, lewat sosok Ahmad Dahlan, Hanung telah memotret satu episode pergolakan pemikiran Islam di Jawa pada suatu masa yang genting. Spirit Jawa pada zamannya dibangun lewat lagu dolanan ilir-ilir dan bumbu humor yang pas melalui tingkah polah murid-murid Kiai Dahlan (diperankan antara lain oleh Dennis Adhiswara). Dengan tata artistik yang menghadirkan kembali lingkungan Keraton Kasultanan Jogjakarta sekitar 100 tahun lalu, didukung akting yang bagus para pemerannya, karya itu merupakan sebuah sumbangan penting bagi dunia perfilman Indonesia. Lukman Sardi bermain bagus seperti biasanya. Slamet Rahardjo dengan vokalnya yang penuh wibawa sungguh menggetarkan dan mencuri perhatian di setiap adegan yang diperankannya. Namun, juaranya adalah Agus Kuncoro yang dengan nges menghidupkan sosok Kiai Lurah yang lembek dalam menghadapi dilema, antara mendukung ”perlawanan” adiknya atau tetap berpihak pada lingkungan yang sudah dianggap mapan.

Ketika Ahmad Dahlan masih terus saja diteriaki ”kafir” di jalan, sang Kiai Lurah cuma bisa memandang sedih, tanpa bisa membela. Sampai ketika anaknya bertanya, ”Mbah Dahlan itu siapa, Pak?” Baru dia bisa menyelamatkan harga dirinya dengan pembelaan yang paling lemah dan membuat kita menitikkan air mata dengan jawaban, ”Dia mbahmu juga…” Film tersebut bukanlah filmnya Muhammadiyah atau bahkan tidak terlalu tepat juga jika dibatasi sebagai ”film Islam”. Itu adalah film tentang Indonesia, tentang kita semua. (*)

*) Mumu Aloha, pengulas film, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Bahasa ยป