(Wawancara Maman S. Mahayana dengan Penyair Soni Farid Maulana, dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Bandung, Kamis, 1 Juli 2010)
1. Sejak kapan, dan sampai kapan jadi dosen tamu di Korea?
Awal September 2009 saya mulai mengajar di Department of Indonesian-Malay Studies, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Dikontrak untuk dua tahun, dan masih dibolehkan memperpanjang lagi satu tahun. Jadi, paling cepat ya, 2011. Tapi saya berharap bisa sampai 2012 sampai anak saya lulus SMP Korea. Sekarang dia baru kelas 2 SMP di Seoul.
2. Bagaimana pandangan masyarakat Korea terhadap sastra Indonesia modern?
Jangan tanya sastra Indonesia pada masyarakat Korea. Tanya Bali, baru mereka tahu dan jawabannya: Oh, baru saya tahu, kalau Bali itu di Indonesia. Secara umum, masyarakat Korea belum begitu mengenal baik Indonesia. Meskipun begitu, di kalangan pengusaha, apalagi seniman, Indonesia dikenal dengan reputasi seni yang sangat baik. Sebagian besar seniman Korea pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Sejumlah pengusaha Korea, sekarang, juga mulai serius melirik Indonesia sebagai salah tujuan investasi. Di samping itu, adanya pengiriman TKI ke Korea, menjadikan para pengusaha Korea makin serius memandang Indonesia sebagai negara yang potensial untuk mengembangkan usahanya. Dan itu ditandai dengan makin banyaknya perusahaan Korea yang mengirimkan karyawannya untuk belajar bahasa Indonesia.
HUFS, khususnya Jurusan Indonesia-Malaysia-nya, memang dirancang dengan konsep 7 + 1 (tujuh semester belajar di Korea, minimal satu semester belajar di negara jurusan yang bersangkutan). Sebagian besar mahasiswa jurusan ini memilih Indonesia daripada Malaysia. Masyarakatnya yang ramah dan kekayaan alam dan budayanya menjadikan Indonesia sebagai pilihan pertama ketika mahasiswa jurusan ini harus studi di luar negeri. Lulusan jurusan ini sekarang termasuk paling cepat mendapat pekerjaan.
Menurut Prof Koh Young Hun, sejak jurusan ini dibuka tahun 1964, sekitar 2000 lulusannya telah terserap di berbagai bidang usaha yang ada kaitannya dengan Indonesia. Dari sekitar 2000-an lulusan itu, beberapa di antaranya mulai tertarik dengan sastra Indonesia. Sastrawan Indonesia yang pernah diteliti, di antaranya, untuk tesis dan disertasi (S2 dan S3), Pramoedya Ananta Toer (S2 & S3: Koh Young Hun), Mochtar Lubis (S3: Kim Jang Gyeum), Rendra (S2: Kim Jang Gyeum) , Umar Kayam (S2: Lee Yeon), Chairil Anwar (S2: Park Jae Bong), dan Y.B. Mangunwijaya (S2: Park Jong Heung), Nh Dini (S3 Lee Yeon).
Sekarang saya sedang membimbing dua mahasiswa (S-2), yaitu Yun Hyun Sook (tentang Ahmad Tohari) dan Choi Se Yoon (Ayu Utami). Di program S-1, selain mengajar bahasa Indonesia, alhamdulillah, saya mengajar juga kesusastraan. Nah dalam kesempatan itulah, saya coba perkenalkan cerpen dan puisi mutakhir Indonesia. Kebetulan yang saya bawa antologi cerpen pilihan Kompas dan antologi puisi Indonesia-Portugal, ya cerpen-cerpen dan puisi-puisi itulah yang saya perkenalkan kepada mereka. September nanti saya mengajar puisi Indonesia (S-2) dan dua mata kuliah kesusastraan. Tentu itu kesempatan yang baik untuk memperkenalkan kesusastraan Indonesia.
Perlu saya sampaikan, HUFS bekerja sama dengan sebuah organisasi sastrawan Korea, pernah mengundang sastrawan (muda) Indonesia tinggal di Seoul (Cecep Samsul Hari, Asma Nadia, Binhad Nurohmat). Entah mengapa, program ini tidak diadakan lagi. Saya harap, tahun depan program untuk sastrawan muda ini bisa dihidupkan lagi. Untuk sastrawan senior, pihak Korea pernah mengundang Nh Dini dan Rendra. Tahun ini rencananya beberapa penyair akan diundang. Tapi masih dalam proses. Mudah-mudahan rencana itu terlaksana. Buat saya, yang terpenting bukan siapa yang diundang, melainkan bagaimana program itu dilaksanakan setiap tahun, sehingga setiap penyair yang terus berkarya, mempunyai kesempatan yang sama untuk diundang ke Korea. Tahun ini juga saya diminta Prof Koh Young Hun dan pengelola Jurnal Asia, sebuah Jurnal dwibahasa (Korea?Inggris) ikut membantu memberi gambaran tentang peta sastra Indonesia dan mengajukan sejumlah nama (penyair, cerpenis, dan novelis) Indonesia yang karyanya akan dimuat Jurnal itu. Sebagai pengusul, tentu saja saya menyerahkan sejumlah besar nama-nama dengan segala reputasinya. Tinggal terserah pengelola jurnal itu melakukan pilihan.
3. Apakah sastra Indonesia kalah jauh dengan sastra Korea?
Terus terang, saya belum tahu banyak tahu tentang sastra Korea. Tetapi berdasarkan buku tentang sastra Korea yang saya baca, juga cerpen-cerpen Korea yang saya terjemahkan (Pertemuan: Cerpen Korea Selepas Perang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1996) dan Antologi cerpen Laut dan Kupu-kupu (Gramedia, 2007) yang saya buat Kata Pengantarnya, serta beberapa novel yang kami rancang untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tampak bahwa sastra Indonesia sebenarnya lebih kaya warna, tema dan pengucapan dibandingkan sastra Korea. Jadi, bukan soal kalah atau menang, melainkan bagaimana kesusastraan merepresentasikan kultur masyarakatnya. Secara filosofis, sastra Korea lebih homogen, dan secara tematik, memperlihatkan kegelisahan akibat perang saudara, perubahan sosial akibat industrialisasi, keterasingan sebagai masyarakat metropolis, dan semangat reunifikasi dengan saudaranya di Korea Utara. Sementara dalam soal pengucapan, kemengaliran menjadi salah satu ciri yang menonjol dalam prosa, dan dalam puisi, hubungan dengan alam, kegelisahan atas perpisahan, dan penghormatan pada leluhur, kerap dimanfaatkan dalam ekspresi puitiknya. Dalam konteks ini, sastra memang memperlihatkan semacam potret sosio-kultural. Maka, pembicaraan sastra, seyogianya tidak dipisahkan dari persoalan itu. Jadi, berbicara tentang “kalah jauh” antara sastra Indonesia dan sastra Korea, tentu tidak pada tempatnya, sebab tidak ada yang dikalahkan dan tidak ada yang dimenangkan. Tetapi jangan lupa: semakin kompleks persoalan sosio-budaya bangsa itu, semakin kompleks pula kesusastraannya.
4. Apa yang menyebabkan Korea lebih maju dari Indonesia? Bagaimana sikap pemerintah Korea terhadap bahasa dan sastra Korea agar mendunia?
Secara ekonomi, Korea Selatan memang lebih maju dari Indonesia. Tetapi soal sumberdaya alam, Indonesia jauh lebih kaya. Setelah Perang Saudara tahun 1950, Korsel betul-betul porak-poranda. Setelah akhir dasawarsa 1960-an, Korea mulai bangkit. Sempat goncang ketika krisis moneter melanda Korea, Muangthai, Malaysia, dan Indonesia. Tetapi kemudian bangkit lagi dan perekonomiannya makin mendekati Jepang. Pertanyaannya: mengapa Korea yang kekayaan alamnya tidak melimpah seperti Indonesia bisa lebih maju dan masyarakatnya berada pada tingkat sejahtera? Di sinilah peranan: (1) sikap budaya, (2) pemerintah, dan (3) elan kebangsaan menjadi sangat penting.
Sikap budaya Korea mementingkan waktu. Semuanya seperti harus diselesaikan sebelum terlambat. Ini berkaitan dengan musim yang dalam setahun berganti empat kali. Juga berkaitan dengan kesadaran atas milik sendiri dan milik orang lain. Maka, bangsa Korea tidak mengenal istilah copet, pengutil, dan perbuatan iseng yang merugikan orang lain. Tindak perbuatan seperti itu, selain harus berhadapan dengan hukum positif, juga sanksi sosial. Pencuri apa pun, akan susah mendapat pekerjaan (karena seumur hidupnya tidak akan dipercaya lagi), dikucilkan masyarakat, dan dianggap hina dalam keluarga. Barang-barang yang tergeletak atau tertinggal di kereta, niscaya akan kita temukan kembali, karena si penemu atau petugas akan menyimpannya di kantor dan berusaha menguhubungi (jika ada alamatnya) si pemilik. Itu kesadaran, bahwa barang itu bukan milik saya. Tetapi sebaliknya, ketika sesuatu yang menjadi miliknya merasa diambil orang lain, ia akan mengambilnya kembali. Sebut misalnya, kembalian yang kurang beberapa ratus won (seperti di Indonesia kembalian yang pakai permen). Ia akan datang memintanya agar kembalian itu sesuai yang seharusnya.
Peran pemerintah juga penting. Salah satu yang menonjol dari peran pemerintah ini adalah soal pelayanan publik. Kepentingan masyarakat yang utama, maka peranan pemerintah pertama-tama memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Sekolah SD sampai SMA gratis, perpustakaan buka 24 jam dan tidak ada hari libur, rumah sakit melayani masyarakat dengan pelayanan terbaik dan biaya murah, transportasi mengutamakan kenyamanan dan kemurahan, fasilitas umum gratis (wc, sarana olahraga, beberapa tempat rekreasi, air minum di tempat-tempat publik). Pemerintah sangat mengutamakan infrastruktur (jalan, irigasi, listrik). Hukum juga dijalankan secara konsekuen. Pemerkosa misalnya, ia akan kena sanksi hukum, sanksi sosial dengan dikucilkan masyarakat dan keluarga, dan pada tubuhnya akan dimasukkan semacam chip yang pergi ke mana pun akan dapat dideteksi pihak kepolisian. Jadi, silakan berbuat kriminal, maka seumur hidup ia tidak akan diterima masyarakat dan keluarga. Peran pemerintah dalam pelayanan publik memang sangat menonjol. Tetapi pemerintah juga tidak menjadikan bangsanya jadi manja. Di sinilah kompetisi berlaku. Maka siapa yang malas, maka ia akan tergusur dan kalah dalam persaingan.
Elan kebangsaan ditanamkan sebagai hal penting untuk mencintai tanah air dan negara (bukan pemerintah). Ini selain berkaitan dengan trauma penjajahan Jepang, juga ancaman dari Korut. Jika ada pejabat pemerintah yang brengsek, korup, misalnya, ia tidak hanya mendapat tuntutan publik, pemecatan, dan sanksi hukum, juga sanksi sosial, yaitu pengucilan dari masyarakat dan keluarga. Negara dan Bangsa Korea, tidak memerlukan koruptor! Tidak akan ada yang mau bekerja sama atau mempekerjakan orang korup. Ia akan dimusuhi oleh anggota keluarga dan sanak famili, tetangga, masyarakat, dan bangsa. Jadi, pilihan terbaik bagi pejabat yang terbukti telah melakukan tindak korupsi hanya satu: kematian!
Sikap pemerintah terhadap usaha memperkenalkan budaya, termasuk sastra, sangat gencar. Penerjemahan khazanah sastra Korea ke dalam bahasa dunia, dihargai sangat tinggi dan setiap tahun ada pemberian dana untuk itu. Juga mengundang sastrawan dari berbagai belahan dunia. Meskipun masyarakat kurang begitu mengenal baik peran sastrawan, pemerintah memberi berbagai fasilitas dan bantuan untuk mengembangkan sastra Korea.
5. Pengalaman apa yang Akang dapat selama tinggal di Korea?
Tentu saja banyak pengalaman menarik. Satu hal yang menonjol adalah tertib sosial dan kebersihan. Budaya mabuk, misalnya, bukanlah hal yang aneh. Setiap rumah makan atau kafe, tersedia minuman untuk mabuk. Tetapi, tidak ada perkelahian, keributan atau kekacauan terjadi lantaran mabuk. Tertib sosial menjadi hal yang penting. Lalu soal kebersihan. Setiap orang merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaganya. Maka, jika ada orang yang lupa menggeletakkan kertas koran, bahkan puntung rokok, maka selalu saja ada yang memasukkannya ke tempat sampah. Jadi, di stasiun, terminal, bahkan di pasar, sulit kita menemukan sampah yang tercecer. Semuanya masuk tiga jenis tempat sampah khusus: botol dan plastik, kertas-kertas, dan sisa makanan dan sayuran. Karena masyarakat berbuat seperti itu, maka tak ada yang berani melakukan pelanggaran.
6. Di Universitas Indonesia, Akang mengajar apa?
Di UI saya mengajar (1) Kritik Sastra, (2) Sastra Populer, (3) Sastra Malaysia, (4) Sastra Sunda, dan (5) Penulisan Populer
Jadi cukup leluasa, sebab dalam satu semester saya hanya mengajar tiga mata kuliah (8 sampai 10 sks). Dibandingkan dengan pengajar lain, jumlah sks saya untuk mengajar paling sedikit, sekadar memenuhi syarat. Tetapi, dalam setiap semester itu, saya melakukan penelitian dan menyiapkan sedikitnya satu buku yang siap dipublikasikan. Dengan mengajar yang sedikit itu, saya masih cukup punya waktu untuk membaca dan menulis. Bahkan, satu hari sengaja saya kosongkan untuk kegiatan macam-macam, termasuk di dalamnya untuk penelitian.
7. Akang lahir tahun berapa, nikah dengan siapa, tanggal berapa, punya anak sudah berapa? Karya Akang yang sudah jadi buku apa saja?
Lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957, menikah dengan Andriani Koesmarijanti (asli Yogya) tahun 1986, anak tiga (laki-laki-perempuan-laki-laki, yang bungsu ini sekarang sekolah di kelas 2, SMP Korea-Goneung Junghaggyo)
Di lingkungan Universitas Indonesia, sejak 1990 sampai sekarang beberapa kali memperoleh penghargaan sebagai peneliti dan penulis buku teks. Pernah mendapat Anugerah Serantau Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang di Pekanbaru, Riau (2006) dan Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) atas buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005, ix + 502 halaman, Kuala Lumpur, 27 November 2007.
Karya lainnya, di antaranya, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1992, cetakan II, 2007), Kesusastraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997), Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, (Magelang: Indonesiatera, April 2001), Ragam Budaya Betawi (enam Jilid) Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), Bahasa Indonesia Kreatif, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu?Betawi (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008), Akar Melayu: Ideologi dalam Sastra (Edisi revisi, Bukupop, 2010). Sekarang sedang menyiapkan buku Sejarah Sastra Indonesia (Yang baik dan Benar) dan Perjalanan Puisi Indonesia.
Adapun karya terjemahannya, antara lain, Pertemuan: Kumpulan Cerpen Korea Selepas Perang, terjemahan bersama Teguh Imam Subarkah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), Kamus Matematika Bergambar, terjemahan karya Baharin Shamsudin (Jakarta: Grasindo, 2002), Dedaunan Hijau di Angin Lalu, pengindonesiaan novel karya Manaf Hamzah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009). Bersama Prof Koh Young Hun menerjemahkan 10 cerita rakyat Korea ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai editor, telah menghasilkan 50-an buku berupa antologi cerpen, antologi esai, dan antologi puisi.
***
Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).