Sejak Kematian Kakak

Anggoro Saronto
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejak kematian kakakku, segalanya berubah. Bukan cuma karena ia telah benar-benar tak kembali. Tapi ada sesuatu yang terampas dari rumah ini. Sebuah nyawa. Sebuah roh yang menghidupkan seluruh bagian rumah. Kini seluruhnya seakan tak bernyawa, seperti kursi-kursi, bangku, lemari. Begitu juga dengan ayah, terlebih ibu. Mereka melakukan aktivitas tanpa bersuara. Begitu senyap. Kadang aku berpikir, jangan-jangan cuma aku yang hidup dalam rumah ini? Atau justru aku yang mati? Karena tak ada lagi yang menganggap aku ada.

Kadang aku berharap ini cuma mimpi agar suatu saat aku terbangun dan semuanya berjalan normal. Tapi ini kenyataan. Dan aku menjadi takut melihat apa yang terjadi. Seakan semua peristiwa itu tak pernah terjadi. Kakakku satu-satunya meninggal sepulang dari kantor. Jakarta hujan, jalanan basah dan licin. Dan sepeda motor yang dinaikinya selip dan terperosok ke bawah sebuah truk. Remuk, kata orang.

Tak ada tangis di rumah kala itu. Setidaknya kami bertiga. Justru para pelayat yang menangis, entah saudara atau teman. Bagiku saat itu wajah mereka sama semua. Wajah-wajah memperlihatkan kesedihan mendalam. Namun, aku tak tersentuh sedikit pun. Apakah mereka tahu apa yang ada di benak kami sebenarnya? Mungkin bagi mereka kami adalah hantu-hantu pucat yang tak berperasaan. Karena kami tak menangis. Seperti papan nisan yang dingin dan rata.

Ibuku tak pernah bersuara, itu membuatku takut. Namun, apa yang dilakukannya membuatku ngeri. Ia bersikap seakan-akan kakakku belum meninggal. Ia melakukan semua pekerjaan yang biasa dilakukannya untuk kakakku. Seperti meja makan ditatanya lengkap seperti saat kakakku hidup. Ia duduk di jendela ruang tamu selepas isya menunggunya pulang. Kemudian ia akan duduk di meja makan menemani kakakku makan, seperti saat ia ada.

Bukan cuma itu yang dilakukannya. Ibu mencuci baju kakakku. Baju bersih yang dianggapnya kotor sepulang kerja. Menciuminya ketika menyetrika. Dan mengelus kancing baju seakan ia mengelus dada kakakku. Saat itu aku meledak, aku rampas baju itu dan kubuang ke lantai. Aku berteriak-teriak mencoba menyadarkan bahwa kakakku telah mati. Ibu harus menerimanya.

Saat itu yang kulihat di mata ibuku adalah rasa amarah yang terpendam dan pandangan mencela. Ia berdiri dengan sikap kaku, dan sikapnya seakan menyuruh aku mengambil baju yang telah kucampakkan. Namun aku memandangnya setengah menantang. Lebih dari sepuluh menit kami bersikap seperti orang yang siap perang. Aku mengalah dan mengambil baju kakakku. Ibu menerimanya dengan lembut dan segera berlalu dari hadapanku. Saat itu aku baru sadar ayah menatap kami dengan pandangan yang tak terbaca.

***

Ayahku sama menakutkannya seperti ibu. Ia yang periang dan suaranya yang seperti guntur lenyap sudah. Ia telah berubah jadi pribadi yang memprihatinkan. Ia menyadari kepergian kakak. Tapi ia bersikap seakan kakak masih ada, karena ibu. Pernah suatu hari ayah menyingkirkan salah satu piring dari meja makan, padahal ibu menatanya untuk ?kami? berempat. Ibu tampak gusar dan sama sekali tidak mau berbaik hati pada ayah selama satu minggu. Sejak itu ayah bermain sandiwara seakan kakakku masih hidup.

Aku tak tahu mengapa setelah kakakku meninggal keadaan justru sebaliknya, ia seakan selalu ada di mana pun aku menempatkan tubuhku. Di ruang tamu, di teras, di ruang makan, di kamarku, kamarnya, kamar mandi, gudang di loteng, garasi yang kini tak pernah dibuka. Ia ada. Entah suaranya yang lirih sedemikian jauh. Atau sekelebat sosoknya seperti lamunan yang tak usai.

Bagaimana aku tidak merasakan kehadirannya, bila bau parfumnya senantiasa tercium di pagi hari. Tampaknya ibu selalu menyemprotkannya pada baju yang akan ?dipakai? kakakku hari ini. Dan ruang makan selalu tertata untuk empat orang. Sedang kamar mandi? Sabun yang dipakainya dengan merk yang tak pernah berubah senantiasa ada. Dan seonggok pakaian kotornya.

Ibuku ternyata sangat teliti akan kebiasaan kakakku. Maka aku sungguh terkejut ketika suatu minggu pagi dari dapur tercium bau ikan bakar. Di dapur kulihat ibu sedang membakar ikan.

?Sudah bangun Rangga? Cepat mandi, kita sarapan sama-sama. Tuh lihat ikan hasil pancingan kakakmu. Segar-segarkan??

Di meja dapur kulihat beberapa ekor ikan yang telah siap dimasak. Saat itu aku merasa kakakku benar-benar masih hidup. Betapa tidak. Ikan yang ada di meja adalah jenis yang biasa kakakku dapatkan bila memancing. Dan ukurannya yang sekepalan tangan. Sebegitu ibu detil akan hal itu. Entah dari mana ia mendapatkannya. Mungkin ayah yang membelinya di pasar. Tapi jenis ikan dan besar ikan yang seukuran biasanya, benar-benar membuatku sempat percaya kakakku yang membawanya pulang. Perasaan jeri menjalari perutku.

Ibuku yang menciptakan keadaan ini, dibantu ayah. Ibu membuat kakakku hidup kembali, demikian juga akhirnya ayah. Aku cuma penonton. Pementasan drama paling absurd yang pernah aku lihat sepanjang hidupku.

***

Aku memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Setidaknya untuk beberapa saat. Aku bisa gila bila keadaan tak berubah. Adik ibu mencoba untuk melarang, menurutnya justru aku harus ada di samping mereka. Menjaga mereka berdua. Mereka telah beranjak tua, dan kewajibanku untuk menjaganya. Ya, aku tahu aku harus menjaga mereka. Namun sikap mereka lama- kelamaan membuatku ngeri. Namun lebih dari itu, aku merasa sakit hati.

Aku adalah bayangan kakakku. Sekadar bayangan. Aku tak pernah benar-benar hidup maka mereka tak pernah melihatku. Aku utuh, sehat, dan ada. Kakakku telah meninggal empat bulan yang lalu. Jasadnya mungkin telah menjadi renik. Yang ada darinya cuma kenangan. Tak lebih. Aku membutuhkan mereka. Aku membutuhkan pengakuan bahwa aku ada.

Hingga tiba hari ini, saat aku berniat pamit pada kedua orang tuaku. Ibuku tampak duduk di ruang tamu menjahit sesuatu, sepertinya baju kakakku. Baju yang tentu telah disobeknya sendiri agar bisa dijahit. Ayahku berdiri menatap ke luar jendela. Suasana sedemikian sunyi dan pecah oleh suaraku.
?Ayah, aku akan pergi.?

Suaraku bergema di ruangan tamu sekecil itu. Ayah menghela napas. Tak bersuara. Aku menuju pada ibu. Tapi ia sibuk menjahit dan tak mau memalingkan wajahnya ke arahku. Hingga akhirnya aku berjongkok di hadapannya. Menghentikan aktivitas jemarinya.

?Ibu, aku harus pergi.?

Ibu tetap menatap baju di pangkuannya. Aku ingin ia menatapku. Tapi tidak ia lakukan. Ia benar-benar menganggapku tak ada. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya. Namun yang jelas rasa sakit begitu menusuk dadaku. Aku akan terus berada di hadapannya sampai ia bicara, sampai ia menatapku.
?Anak tak berbakti!?

Itu suara ayah, bukan suara ibu. Begitu menggelegar seperti yang aku kenal. Aku terkesiap begitu rindunya aku akan suara yang terpendam beberapa bulan ini. Tiba-tiba setitik harapan kembali hadir. Mungkin ayahku telah terbangun dari impiannya.

?Kau..kau..tak seperti kakakmu. Mau ke mana kau? Ibumu sudah demikian tua dan kau meninggalkannya? Itu adalah hal yang tak pernah dilakukan kakakmu.?

Kata-kata itu begitu mengejutkan. Dan belum usai rasa terkejutku, ayah meneruskan kalimatnya.
?Kau dingin dan tak peka. Tak seperti kakakmu. Kau tak pernah membuat kami bangga. Dan sekarang kau mau pergi? Pergilah. Biar kami bertiga tetap tinggal di sini.?

Kami bertiga, katanya. Ayah masih meneruskan sandiwara. Dan aku tetap meneruskan rencanaku. Dalam hitungan detik aku menghilang dari hadapan mereka. Tak sempat aku melihat wajah ibuku. Dan hari itu, hari terakhir aku melihat ibu dalam keadaan hidup. Dua minggu setelah kepergianku, ibu meninggal.

***

Aku kembali ke rumah, saat diberi kabar ibu meninggal. Suasana duka sama seperti saat kakakku meninggal. Mungkin kali ini lebih parah. Orang-orang menangis semakin riuh di telingaku. Aku kembali bertanya, apakah mereka dapat merasakan apa yang dirasakan ayah dan aku? Mereka tak tahu rasanya. Mereka mencoba berempati. Bagiku itu sungguh menggelikan. Mereka tak tahu pola hubungan kami berempat. Namun mereka seakan menjadi bagian dari kami. Menangis di sekeliling kami. Mengkhawatirkan ayah. Apa mereka akan tetap mengkhawatirkan ayah setelah pemakaman usai?

Aku kini melihat mereka seperti hantu-hantu yang membayangi kami berdua. Karena ayah menangis, dan aku menitikkan air mata melihat ayah menangis.

***

Ini hari kelima puluh satu sejak ibu meninggal. Aku tahu pasti karena ayah selalu mencoret dengan spidol besar setiap tanggal yang dilalui terhitung sejak kematian ibu. Suasana rumah sedemikian sepi. Namun setidaknya ayah sadar sepenuhnya bahwa kakak dan ibu telah meninggal. Tidak ada lagi aktivitas yang dibuat ibu untuk mengenang kakak. Cuma ada aku dan ayah.

Namun kepergian ibu memang sangat merepotkan kami. Karena ibulah yang mengatur segala aktivitas rumah tangga. Hampir semuanya. Dan kami para lelaki hanya tahu beres. Aku tak pernah menyangka ternyata pekerjaan rumah tangga sedemikian melelahkan. Entah dari mana kekuatan ibuku yang hampir enam puluh tahun itu menyelesaikan segala pekerjaan rumah.

Kini, aku harus memulai aktivitas jauh lebih pagi. Menyiapkan makan untuk ayah sebelum berangkat ke kantor. Sepulang kerja aku mencuci bajuku dan baju ayah. Setiap dua hari aku sempatkan menyapu dan mengepel lantai. Ayah sendiri lebih sering melamun di beranda. Kursi goyang di ruang keluarga dipindahkannya ke sana. Menurutnya ia lebih senang bila duduk di beranda karena dapat melihat orang lalu lalang di jalan depan rumah.

Aku mulai menikmati kehidupan baruku berdua dengan ayah, kalau saja ia tidak mulai mengungkit-ungkit kepergian ibu dan kakak. Seperti hari ini, ia mengeluh nasi yang kumasak tidak tanak.

?Ah andai ibumu masih ada.?

Aku masih bisa memaklumi bila hal itu yang diungkitnya. Namun bila memasuki area membandingkan aku dengan kakak, aku tidak dapat menerimanya begitu saja. Seperti hari berikutnya.

?Berapa umurmu Rangga??

?Duapuluh lima.?

Ia bertanya umurku, sedang aku yakin ia dan ibu selalu hafal kelahiran kakakku. Sampai jam dan harinya.

?Berarti Aditya menjelang duapuluh delapan. Seharusnya ia menikah dulu. Tapi ia selalu bilang belum waktunya. Ia akan selalu menjaga kami berdua. Ia anak yang baik. Seandainya ia masih ada. Ia akan menjagaku. Dan ibumu masih hidup.?

Pandangan ayahku menerawang. Aku berdiri dari dudukku, berniat untuk pergi dari situ. Ayah menghardikku.

?Mau ke mana kau? Tak tahu adat. Duduk bila ayahmu bicara.?

?Aditya sudah mati. Jasadnya pun sudah di liang kubur! Aku bosan mendengar celoteh ayah.?

Aku dapat melihat ekspresi yang begitu marah di wajahnya. Tubuhnya menggigil seakan tak kuasa menampung amarahnya yang meluap. Jemarinya mencengkram tangan kursi.

?Ini rumahku. Kau tak berhak bersikap kurang ajar padaku. Mengerti??

Aku tak mempedulikan kata-katanya. Aku bergegas menuju kamar.

?Ya pergilah. Cuma itu yang kau bisa. Lari. Tinggalkan rumah ini dan jangan kembali!?

Aku tidak berniat untuk pergi. Walau amarahku begitu meledak. Aku tak akan pergi meninggalkan ayahku sendiri. Aku tak ingin kejadian perginya ibu tanpa aku di sisinya terulang. Tidak, aku tak boleh pergi.

Suasana begitu senyap. Hampir satu jam aku mengurung diri di kamar. Ketika tiba-tiba saja pintu kamarku dibuka perlahan. Ayahku berdiri di depan pintu. Kami saling bertatapan. Lama.

?Kau akan pergi Rangga??

Aku menatapnya dalam diam, seperti ia. Tak lama ia pergi meninggalkan pintu kamarku. Aku berlari mengejarnya. Di ambang pintu aku cuma dapat menatap punggungnya yang tua dan lelah.

?Jangan tinggalkan ayah sendiri Rangga.?

Ayah pergi menuju kamarnya. Jam-jam terasa berdetak sedemikian keras. Seperti detak jantungku. Baru kali ini aku merasa benar-benar bahagia. Karena ayah menganggap aku: ada.

Depok, April 2002

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *