Djuli Djatiprambudi
http://www.jawapos.co.id/
”APAKAH Anda mengenal perupa Nyoman Masriadi, Putu Sutawijaya, Agus Suwage, Dippo Andy, Rudi Mantofani, dan Ay Tjoe Chrystine?” Pertanyaan itu saya lontarkan di dalam sebuah forum pelatihan guru kesenian. Mereka sontak menjawab tidak tahu. Atas jawaban mereka itu, saya pura-pura kaget walaupun sudah menduga mereka pasti asing dengan nama-nama tersebut.
Lain halnya kalau pertanyaan itu dilontarkan di hadapan para pemburu lukisan (kolektor, lelang, galeri, art dealer), mereka akan sangat artikulatif menjawabnya. Mereka akan menjawab dengan sikap gagah, memperlihatkan seolah-olah hanya merekalah yang bisa menceritakan panjang-lebar soal sepak terjang para perupa tersebut.
Pertanyaan yang tampak sepele itu juga pernah saya lontarkan di sejumlah seminar seni rupa di sejumlah perguruan tinggi. Di seminar itu, banyak dosen seni yang rupa hadir. Kali ini saya benar-benar terkejut, ketika saya mendapatkan fakta bahwa nama-nama perupa tersebut tidak terlalu akrab di telinga para dosen seni rupa.
Bahkan, yang agak ganjil dan sekaligus membuat saya hampir tidak percaya, sejumlah dosen seni rupa kurang begitu akrab dengan sejumlah nama kritikus seni rupa sekaliber Kusnadi, Sudarmaji, Trisno Sumardjo, dan Suwarjono, dan Sanento Yuliman. Juga, sejumlah kurator yang masih aktif berkarir semacam Hendro Wiyanto, Enin Supriyanto, Agung Jenong, Aminudin T.H. Siregar, Wahyudin, Rifki Effendi, Asikin Hasan, atau Mikke Susanto. Anehnya, fakta yang terakhir tersebut saya temukan, antara lain, di Jogjakarta, ketika saya diundang dalam sebuah seminar. Tentu, fakta tersebut sangat paradoks, manakala kita tahu bahwa Jogjakarta sejak dulu diuar-uarkan sebagai pusat pertumbuhan seni rupa modern/kontemporer di Indonesia.
Mengapa sejumlah guru seni di sekolah-sekolah begitu kurang memahami perkembangan mutakhir seni rupa kontemporer? Mengapa pula sejumlah dosen seni rupa ikut-ikutan kurang begitu akrab dengan buah pemikiran para kritikus dan kredo para kurator seni rupa yang publikasinya begitu mudah ditemukan? Sebaliknya, mengapa para kolektor, pelaku lelang, pengelola galeri, dan art dealer begitu akrab dengan sejumlah nama tersebut yang amat popular di dunia seni rupa modern/kontemporer Indonesia?
***
Untuk menjelaskan teka-teki masalah tersebut, saya memulainya dengan meneliti dengan saksama buku ajar yang biasa dipakai para guru seni dari sejumlah penulis dan penerbit. Dari sini dapat diketahui bahwa materi seni rupa kontemporer ternyata tidak presentatif atau cenderung tidak dibahas dengan baik. Bahkan, di antara buku-buku tersebut, masih banyak yang terkesan ”jadul” (baca: materinya kedaluwarsa). Fakta-fakta historisnya sungguh miskin dan hanya dijelaskan sekadarnya. Nama-nama tokoh seniman yang muncul juga jauh dari yang sesungguhnya berkembang sekarang. Itu belum menyangkut pemahaman seni rupa kontemporer yang sebenarnya penuh perdebatan wacana (debatable), ternyata di buku-buku tersebut cuma dijelaskan bahwa seni rupa kontemporer itu seni rupa yang berkembang sekarang. Begitu sederhana dan tampak tidak problematik. Akibatnya, karya jenis apa saja yang tercipta sekarang dengan gampang masuk kategori seni kontemporer. Gara-gara pemahaman soal kontemporer direduksi begitu saja sama dengan sekarang.
Selain soal isi buku-buku tersebut yang memang mengandung cacat epistimologis sangat parah, soal lain yang sangat mengganggu adalah kompetensi guru seni, khususnya kompetensi akademis dan pedagogis. Kompetensi akademis guru-guru seni secara faktual jauh dari ideal. Maksudnya, guru-guru seni masih dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang akademis seni. Saya menemukan sejumlah fakta, guru-guru seni bermunculan dari berbagai bidang; ada yang dari bidang geografi, fisika, teknik elektro, olahraga, matematika, biologi, agama, sosiologi, dan sebagainya. Mereka itu dengan gagah berani atau dalam keadaan terpaksa menerima pekerjaan di luar bidang kewenangannya. Asumsinya, mereka -para guru dan para pemegang kekuasaan di sekolah-sekolah- mempersepsikan bahwa pelajaran seni bukan pelajaran utama di sekolah (apalagi bukan pelajaran yang di-unas-kan). Karena itu, dengan serta-merta, pelajaran seni menjadi pelajaran yang tidak penting. Akibatnya, guru-gurunya asal ada dan proses pembelajarannya juga asal jalan.
Karena kompetensi akademisnya tidak jelas, mudah diduga, kompetensi pedagogisnya dalam pendidikan seni sudah pasti kacau-balau. Mana mungkin orang yang tidak memiliki kompetensi keilmuan seni akan mampu mengajarkan seni dengan baik? Rata-rata para guru seni ”siluman” tersebut menganggap bahwa pembelajaran seni itu sekadar pelajaran tentang berkarya seni. Mereka tidak tahu filosofi pendidikan seni yang sesungguhnya, seperti yang pernah dikatakan Plato, bahwa seni haruslah menjadi dasar pendidikan -art should be based education.
Tentu, yang dimaksud seni (art) oleh Plato adalah seni dalam arti luas. Seni dimaknai sebagai keseimbangan konfigurasi antara tata pikir (logika), tata ucap (retorika), tata sosial (etika), dan tata rasa (estetika). Hal-hal macam itulah yang dipercaya Plato menjadi dasar pendidikan yang tidak bisa ditawar. Jika ada praksis pendidikan berusaha mereduksinya, praksis pendidikan macam itu akan merusak hukum keseimbangan potensi yang bersemayam di dalam diri manusia. Keseimbangan konfigurasi fungsi otak kanan (dimensi intuitif) dan otak kiri (dimensi rasional) menjadi terganggu. Akibatnya, praksis pendidikan semacam itu akan sulit menciptakan manusia yang berkarakter dan sekaligus bermakna, seperti yang diuar-uarkan pemerintah belakangan ini.
Berbanding lurus dengan hal tersebut, di tingkat perguruan tinggi juga terjadi krisis yang tidak bisa dianggap sepele. Sejumlah dosen seni rupa yang kurang akrab dengan perkembangan seni rupa mutakhir mencerminkan adanya gejala bahwa yang dipentingkan bukan pendalaman soal teori atau wacana seni, tetapi aspek berkarya seni itu. Artinya, mahasiswa seni rupa cenderung dididik atau diarahkan pada praktik seni, sedangkan teori atau wacana seni dianggap tidak begitu penting. Gejala itu tampak pada sejumlah besar lulusan perguruan tinggi seni, misalnya, rata-rata hanya terfokus pada praktik seni. Mereka kurang memiliki wawasan yang kukuh tentang teori atau wacana seni. Akibatnya, jika menjadi perupa, mereka akan menjadi perupa yang kurang memiliki ketajaman konseptual dan konteks teoretisnya.
Karena seni lebih jauh dari pemahaman teori atau wacana seni kurang mendapatkan tempat yang berarti di kalangan dosen, mutu penelitiannya juga jauh dari ideal. Penelitian-penelitian seni yang sering dilakukan hanya berkisar pada masalah yang itu-itu saja tiap tahun. Sebagai orang yang sering diundang menjadi reviewer proposal dan hasil penelitian dosen seni, saya mendapatkan kesan bahwa penelitian seni hanya muter-muter pada masalah bentuk, fungsi, dan makna seni. Kajiannya kurang berkembang luas ke ranah interdisiplin atau multidisiplin. Saya menduga, gejala itu disebabkan oleh, antara lain, kurangnya porsi mata kuliah teori dan kekurangpahaman soal metodologi penelitian seni, yang sebenarnya terus berkembang seiring dengan perkembangan sains itu sendiri. Sementara itu, teori seni yang ada sekarang sudah berkembang begitu luas, begitu kompleks, dan begitu canggih untuk mengkaji fenomena seni yang terjadi di masyarakat luas. Maka, kalau kemudian sejumlah dosen kurang akrab dengan pemikiran para pemikir seni rupa dan kredo para kurator seni rupa, dalam konteks tersebut, dapat dimaklumi.
Sementara itu, kalau nama-nama popular di medan wacana dan praktik seni rupa seperti di atas menjadi sangat akrab di luar kalangan guru dan dosen seni rupa, itu lebih disebabkan adanya praktik ekonomi berbaur dengan praktik budaya (simbolis) yang tengah ditunjukkan kalangan sosial atas. Dalam praktik itu, mereka memerlukan basis sosial dan kultural yang kukuh untuk menopang basis ekonomi yang tengah diekplorasinya. Mereka sadar, untuk menumbuhkan basis ekonomi yang simultan, diperlukan basis sosial dan basis kultural yang baik. Dalam tingkat praksis, gejalanya tampak pada dinamika mereka yang selalu aktif menonton art event yang bermutu di berbagai belahan dunia. Mereka juga getol memburu literatur seni yang cukup berwibawa. Medan perbincangan mereka juga begitu dinamis, bahkan terkesan lebih dinamis bila dibandingkan dengan kalangan perguruan tinggi.
Ironis memang, pada saat Indonesia tengah merayakan 65 tahun kemerdekaan, ada panorama yang sungguh mengganggu, yaitu dunia seni rupa Indonesia ternyata belum ”merdeka”. Gejala itu paling tidak dapat disaksikan melalui performa guru dan dosen seni rupa yang belum memperlihatkan jati diri sebagai guru dan dosen seni rupa yang sebenarnya. (*)
*) Kritikus dan pengajar di Jurusan Seni Rupa dan Pascasarjana Seni Budaya Unesa, Surabaya