Hamid Nuri
http://www.infoanda.com/Republika
Sekitar tahun 1975 para aktivis sastra di Yogyakarta yang tergabung dalam Persada Studi Klub (PSK) yang dipimpin oleh Umbu Landu Parangi lagi semangat-semangatnya untuk berkumpul dan berdiskusi. Kegiatan diskusi yang biasa dilaksanakan sebulan sekali itu kalau tidak dilaksanakan di markas PSK atau kantor redaksi mingguan Pelopor di bilangan Malioboro, Yogyakarta, juga sering diadakan di rumah atau pemondokan para anggota.
Tempat kegiatan itu biasanya bergilir, misalnya kalau besok di pondokan Emha Ainun Nadjib, minggu mendatang di rumahnya Linus Suryadi AG atau rumah-rumah anggota lain. Dan, itu biasanya diputuskan secara informal. Pokoknya siapa yang siap dan merasa mampu bisa mengundang. Biasanya setelah ada yang sanggup jadi tempat diskusi kemudian diumumkan di Mingguan Pelopor.
Alkisah ketika itu acara diskusi mingguan ‘diunduh’ atau bertempat di rumah Suharyono, salah seorang anggota PSK yang kini lebih banyak menggeluti dunia sastra Jawa modern. Yang hadir pun lengkap. Selain Umbu Landu Paranggi, yang memang merupakan kepala suku, juga beberapa penulis muda seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Ragil Soewarno Pragolapati, Deded Er Moerad, Ebiet G Ade, dan pengarang dari Solo Arswendo Atmowiloto. Sebagaimana biasa, juga ada suguhan minum dan makanan kecil.
Pada tengah hari saat diskusi masuk masa jeda, Suharyono pun mengeluarkan minuman dan makanan yang tentu saja disambut dengan berseri-seri oleh para peserta diskusi. Mereka langsung menyeruput teh di hadapan masing-masing. Namun, Suharyono heran, setiap habis menyeruput mereka sama-sama cengar-cengir dan saling memandang. “Saya curiga, lalu ikut menyeruput minuman teh, ternyata rasanya memang tak karuan. Bukan manis tapi kok gurih,” ceritanya.
Mereka pun koor ketawa ketika melihat dirinya ikut cengar-cengir karena merasakan minuman teh panas rasa baru. Suharyono lalu ke belakang bertanya pada kakak perempuannya. Dan penyebabnya terkuak, ternyata ketika membuat minuman itu, kakak perempuan Suharyono keliru mengambil toples, bukan berisi gula pasir tapi berisi bumbu masak. Bentuk toples untuk gula pasir memang sama dengan bumbu masak sama, jadi salah ambil. Jadinya, teh panas bukannya diberi gula tapi bumbu masak. Maka, jadilah teh panas rasa baru.
”Gara-gara itu saya jadi bahan gojlokan kawan-kawan selama beberapa hari. Bahkan kawan-kawan eks PSK kalau ketemu asya selalu mengingatkan tentang insiden minum teh rasa bumbu masak itu,” kenang novelis yang kini menjadi jurnalis majalah berbahasa Jawa itu.
Prenggan RT 28/RW 06 Kotagede-Yogyakarta 55172