Tubuh, Politik dan Elegi Humanitas

Pameran Tunggal ?Metafor Tubuh? Putu Sutawijaya
Wayan Sunarta
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejumlah tubuh manusia. Tanpa busana. Tanpa Identitas. Tanpa jelas jenis kelaminnya. Berjingkrak. Seperti mabuk. Masing-masing memegang kepala atau tengkuknya, seperti kesurupan, seakan tersiksa atau stres akan suatu kondisi yang dihadapinya. Sementara itu, di atas sejumlah tubuh manusia stres itu, sesosok tubuh terbang melayang, seakan bebas tanpa penghalang. Tubuh itu seperti ingin meraih sesuatu, mungkin meraih harapan yang mengambang pada udara hampa.

Gambaran di atas terhampar pada sebidang kanvas berukuran 180×180 cm, berjudul ?Di Atas Arus? (2002), karya pelukis Putu Sutawijaya, yang dipamerkan di Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, sejak 28 Desember 2002-14 Februari 2003, bertajuk ?Metafor Tubuh?.

Pelukis kelahiran Tabanan-Bali, 27 November 1971 ini, merupakan satu dari beberapa pelukis muda anggota Sanggar Dewata Indonesia (SDI) yang menyempal dari corak khas induknya yang dominan dengan ciri abstrakisme dan ekspresionisme-abstrak dengan ikon-ikon budaya Bali yang kental. Corak ini berkembang pesat dan sangat menghegemoni dunia seni rupa di Bali pada masa kepemimpinan Wayan Sika dengan konsep mendedahkan taksu (spirit) kosmologi Bali (kebalian) pada garapan-garapan seni rupa modern. Semangat kebalian inilah yang selalu disebarluaskan dan dipertahankan sehingga SDI?oleh sejumlah perupa muda yang merasa gerah dengan kemacetan kreativitas ini?dicap sebagai biang kerok hegemoni yang membuat dunia seni rupa di Bali mengalami stagnasi. Kegerahan ini melahirkan pameran ?Mendobrak Hegemoni? yang digelar oleh sejumlah perupa muda dari ?Kamasra? STSI Denpasar di Alun-alun Kota Denpasar, awal Februari 2001.

Pameran yang membakar jenggot beberapa dedengkot SDI, pemilik museum komersial, galeri, kritikus koran dan kalangan akademisi itu, kemudian membuat sejumlah perupa muda anggota SDI, Kamasra, dan sejumlah perupa muda lainnya merenung dan mengalami sedikit ?pencerahan?. Bahwa wacana seni rupa modern di Bali tidak melulu harus terjebak pada abstrakisme atau ekspresionisme-abstrak dengan ikon-ikon kebalian sebagai trade mark. Masih terbentang wilayah penjelajahan yang jauh lebih luas dan menantang, ketimbang ngotot menjadi katak di bawah tempurung yang selalu membangga-banggakan kehebatan para pendahulu.

Namun Sutawijaya dan beberapa perupa muda jebolan ISI Yogyakarta, seperti Pande Ketut Taman dan Nyoman Masriadi, jauh sebelum acara ?Mendobrak Hegemoni? digelar telah menyadari ada semacam ketidakberesan wacana pada tubuh SDI. Maka, walaupun pada mulanya sempat terjebak arus besar aliran yang dianut anggota SDI, lambat laun dia berusaha membebaskan diri, dan pada akhirnya menyempal dari arus besar tersebut. Ketua SDI pasca-I Made Wiradana ini, mengekplorasi wacana tubuh yang diolah menjadi metafor yang didedahkan pada karya-karyanya dalam menyikapi suatu peristiwa atau kondisi sosial-politik negerinya.

Walaupun sama-sama mengolah wacana tubuh, apresian tidak akan mendapati tubuh-tubuh indah, molek, penuh gairah seperti pada karya-karya Basuki Abdullah, Abdul Aziz, dan perupa lain yang menggandrungi tubuh aduhai. Sebaliknya, lukisan Sutawijaya penuh dengan tubuh-tubuh manusia yang terluka, tersiksa, perih, hangus, sangat jauh dari kesan tubuh indah yang umum dikenal. Bahkan wajah-wajah pada tubuh-tubuh itu tidak beridentitas, anonim, tidak merujuk pada wajah tertentu dalam tatanan masyarakat. Dan berarti tubuh itu menjadi milik semua orang, tanpa ada perbedaan fisik. Bisa saja salah satu tubuh itu adalah tubuh kita sendiri. Lukisannya terasa meng -haruskan kita memetakan ulang rasa kemanusiaan kita.

Dalam pengaturan komposisi, tubuh-tubuh itu tidak dibuat duduk selonjor, atau berbaring miring dengan pose yang menantang. Melainkan tubuh-tubuh yang rata-rata berwarna muram dan buram itu hampir dapat dipastikan berada dalam posisi melayang, seakan bergulingan di ruang hampa udara, jungkir balik, saling tindih, saling sepak, saling terjang, terkulai lemah, dan posisi yang tidak lazim lainnya. Lihatlah, misalnya, karya-karya yang dikerjakannya pada tahun 2002 berjudul ?Kontemplasi?, ?Melayang?, ?Semua Orang Bisa Membantu?, ?Kena Duri?, ?Bara 9?, ?Mimpi?, ?Beradu Kepala?, dan beberapa lukisan lainnya.

Menurut Recour, metafor adalah sebuah bentuk wacana ataupun proses yang bersifat retorik yang memungkinkan manusia mendapatkan kemampuan aneh untuk mendeskripsikan kenyataan. Metafor dapat berupa perlambangan dan bahasa tanda yang dapat mewakili pikiran pemakainya dalam menuangkan gagasan-gagasannya (Mikke Susanto, 2002). Berpijak dari penjelasan ini, apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh Sutawijaya dengan metafor tubuh itu?

Sejatinya ia ingin mewartakan?tentu dengan bahasa rupa?kepada publik bahwa tubuh adalah sebuah siksaan bagi jiwa yang ingin merdeka, yang terbebas dari belenggu tubuh. Tentu bukan dengan mengakhiri hidup sekehendak hati, seperti yang banyak dianut oleh kaum eksistensialis. Bukan dengan jalan euthanasia. Bukan pula dengan melakukan penyiksaan yang melampaui ambang batas terhadap tubuh sendiri, seperti yang umum dilakukan oleh kaum mistikus beberapa sekte Hindu di India. Melainkan dengan jalan pengendalian diri, agar tubuh tidak dimanja oleh pikiran buruk.

Pikiran buruk itu bisa saja kehendak berkuasa, yang bisa jadi berlebihan. Pada tataran ini, metafor tubuh-tubuh tanpa identitas itu bisa menggambarkan situasi dan kondisi sosial-politik kita yang chaos, seperti terlihat pada karya berjudul ?Semua Orang Ingin Menjadi Nomor Satu?, ?Yang Mana Juara Sesungguhnya? atau pada ?Di Atas Arus?. Bahasa rupanya seakan menghunjam dan menggugat moralitas?kalau masih ada?para penguasa negeri ini, yang tidak pernah bosan main sikut dan menginjak kehidupan rakyat jelata yang melulu dalam posisi melata.

Selain karya lukis, Sutawijaya juga memamerkan sejumlah karya patungnya yang dibuat dari anyaman kawat dengan pengikat kawat berduri pada simpul-simpulnya. Patung-patung yang terkesan kuat tetapi hampa itu mempresentasikan tubuh-tubuh manusia dalam berbagai fose dan gerak yang dinamis namun seakan penuh siksaan. Karya patungnya terasa dipindahkan begitu saja dari figur-figur tubuh manusia di kanvasnya. Mungkin ia tidak puas hanya mendedahkan metafor tubuh itu di kanvas, sehingga harus mencipta sejumlah patung kawat. Begitu pun ia tidak hanya terpaku pada keterampilan teknis saja, melainkan ada semacam pergulatan intelektualitas dalam ciptaannya.

Mengamati karya-karya yang dipamerkannya, peraih ?10 Lukis Terbaik Philip Morris Art Award 1999? ini masih memiliki peluang yang panjang bagi proses eksplorasi teknis dan wacana. Pencapaiannya yang sekarang bukanlah titik akhir, melainkan sebuah tanda koma, bagi pembacaan dan perjalanan selanjutnya.***

Penulis adalah pencinta seni rupa, tinggal di Denpasar

Leave a Reply

Bahasa ยป