Kamaluddin Ramdhan
kompasiana.com
“Kamu boleh mengidolakan seseorang, tapi jadilah dirimu sendiri?”
Itu adalah salah satu kata yang pernah keluar dari seseorang bernama Umbu Landu Paranggi. Umbu Landu Paranggi yang dikenal sebagai sosok misterius ini memang sangat disegani oleh “gembel-gembel intelektual” Malioboro. Emha Ainun Najib adalah salah satu penyair dan budayawan yang sangat mengidolakan beliau. Saking berpengaruhnya sebagai bapak sastra di kawasan Malioboro sehingga beliau mendapatkan gelar “Presiden Malioboro”.
Siapakah sebenarnya Umbu Landu Paranggi ?
Menurut informasi yang saya dapat, umbu adalah sosok Penyair Indonesia yang hidupnya misterius yang dikenal sejak tahun 1960. Umbu adalah mentor bagi para penyair Indonesia terkenal seperti Emha Ainun Najib dan almarhum Linus Suryadi AG. Tetapi dia sendiri tetap misterius dan dikenal sebagai orang yang suka menggelandang dengan kantong plastik yang selalu dibawanya yang tak lain berisi puisi-puisi beliau.
Banyak orang menyebutnya “pohon rindang” tapi dia sendiri lebih suka menyebutnya “pupuk” saja menandakan betapa rendah hatinya umbu terhadap semua golongan yang dia kenali. Beliau tidak pernah membedakan kelas. Ketika berbicara dengan anak-anak atau orang dewasa, ia tetap bisa diterima oleh siapapun karena kesederhanaan dan kehalusan tutur katanya. Salah satu karyanya yang pernah dipublikasikan adalah :
SOLITUDE
Umbu Landu Paranggi
dalam tangan sunyi
jam dinding masih bermimpi
di luar siang menguap jadi malam
tiba-tiba musim mengeristal rindu dendam
dalam detik-detik, dalam genggaman usia
mengombak suaramu jauh bergema
menggilkan jemari, hati pada kenangan
bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kikinian
seberkas cahaya dari menara waktu
menembus tapisan untung malang nasibku
di laut tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai
dalam gaung kumandang bait demi bait puisi
Antologi Puisi Penyair Yogya,1977
Apa yang saya pelajari dari seorang umbu adalah tentang “kesederhanaan”. Kesederhanaan tidak membuat sesuatu menjadi tenggelam tanpa makna. Apa yang diajarkan oleh beliau adalah filosofi “pupuk”. Yaitu memberi, menyuburkan suatu tanaman tanpa ingin dirinya dihargai seperti tanaman itu. Bahkan itulah yang membuat para penyair seperti Emha sangat mengaguminya.
Dari pelajaran malam ini terbersit di pikiran saya tentang filosofi pupuk. Bayangan saya (mudah-mudahan bisa dianggap sebagai gagasan) adalah bagaimana seandainya tulisan-tulisan di kompasiana yang datang dari seluruh rakyat Indonesia ini dipublikasikan ulang dalam bentuk buku. Pasti manfaatnya akan lebih besar sebagai “pupuk” bagi bangsa indonesia yang sedang haus akan jatidiri ini.
Tentu saja, gagasan ini membutuhkan keikhlasan bagi kompasianers sebagai pemilik hak cipta atas tulisan-tulisannya jika seandainya terbit menjadi sebuah buku.
Saya kira akan lebih menarik dan menambah minat kalangan lebih luas untuk mengenal kompasiana yang Indonesianis yang penuh dengan “pupuk pendidikan bagi masyarakat”.
referensi :
id.wikipedia.org/wiki/Umbu_Landu_Paranggi
blog.imanbrotoseno.com/?p=277
blue4gie.com/2006/09/21/umbu-landu-paranggi-jejak-sajak-presiden-malioboro/
ooknugroho.blogspot.com/2007/02/umbu-landu-paranggi.html
danakaryabakti-indonesianpoems.blogspot.com/2009/10/umbu-landu-paranggi.html