?Kawin Paksa? Ilustrasi Cerpen

(Tanggapan untuk Binhad Nurrohmat)
Rikobidik *
http://umum.kompasiana.com/

Apa yang diuraikan Binhad mengenai ilustrasi cerpen Kompas semakin meneguhkan keyakinan saya, yaitu ada sesuatu pada cerpen-cerpen Kompas.

Bagaimanakah menanggapi isu dan gosip (di kalangan) seni rupa dan sastra terhadap ilustrasi cerpen seperti yang diungkapkan Binhad di Kompas 5 Juli lalu ini? Artikel ini adalah upaya untuk mengurainya.

Ilustrasi Cerpen vs Berita Foto

Saya setuju dengan pernyataan Binhad mengenai medium yang berbeda antara Lukisan dan tulisan. Namun, Binhad keliru jika menganggap sifat kevisualan gambar ilustrasi cerpen membuat penangkapannya lebih langsung daripada teks cerpen. Sebab, baik gambar ilustrasi cerpen maupun teks cerpen tetap memerlukan proses ?membaca? untuk menangkap isinya, tak cukup hanya dengan ?melihat? bentuk gambarnya saja. Lagi pula, penangkapan yang tergesa-gesa terhadap yang visual pun kerap menipu, bukan? Nah, pada titik inilah kita bisa memulai sebuah refleksi: apakah ?status? lukisan sebagai ilustrasi cerpen di Kompas?

Agaknya, pengimbuhan ilustrasi cerpen adalah sebuah spekulasi mencobamiripkan cerpen dengan rubrik berita. Sebagai sebuah media massa terkemuka di Indonesia, pengimbuhan ilustrasi cerpen pada cerpen Kompas pasti punya motif tertentu. Dapatlah saya katakan bahwa Kompas mencoba ?menerabas? sesuatu yang sudah diwanti-wanti Ludwig Wittgenstein supaya tidak mencampur-adukkan (?mengawin-paksakan?) dua atau lebih Language-Games.

Oleh karena itu, pengimbuhan ilustrasi cerpen hanya dapat dikategorikan sebagai family resemblance (kemiripan keluarga?Wittgenstein, 1997) ketika dicoba miripkan dengan tampilan rubrik berita. Berita foto pada berita tulis adalah hasil proses seleksi ketat redaktur foto yang diimbuhkan pada tulisan. Berhubung berita foto pada berita tulis dan ilustrasi cerpen pada cerpen itu hanyalah mirip, maka tentu ada perbedaannya, yaitu proses penciptaan & pengimbuhannya. Nah, perbedaan inilah yang membuat upaya pencobamiripan ini mengundang rasa penasaran dan bersifat unik seperti yang dinyatakan Binhad. Sebab, ilustrasi cerpen bagi cerpen & berita foto bagi berita tulis berada pada Language-Games yang berbeda.

Cerpen vs Berita Tulis

Cerpen dan berita tulis memiliki Language-Games yang berbeda. Bahkan, aturan-aturan dalam pengonstruksian narasi pada cerpen lebih ?longgar? dibandingkan berita tulis. Maka, jika kita kerap mudah terpukau oleh provokasi headline berita tulis yang harus patuh kepada fakta, kenapa judul cerpen yang merupakan karya fiksi tidak bisa berlaku serupa atau melampauinya?

Jika Binhad mengatakan ilustrasi cerpen lebih ?mejeng? ketimbang cerpennya, pertanyaan kritis yang bisa diajukan adalah ada apa dengan cerpen kita?

Ilustrasi cerpen menjadi tampil memikat tentu berkat kemampuan deskripsi-impresionistik pelukisnya. Di situ ada intelektualitas, imajinasi, dan seleksi yang tumpah total pada kanvas. Ada detil-detil khas yang mungkin tak ditemuinya pada pelukis lain yang ingin ditonjolkannya. Kekuatan deskripsi-impresionistik pada ilustrasi cerpen ini yang barangkali membuatnya menjadi ?tuan rumah?.

Oleh karena itu, dugaan Binhad tentang kecenderungan cerpenis yang ingin ilustrasi cerpen menjadi peneguh eksistensi cerpen mengundang satu pertanyaan lagi: tak cukupkah bahasa bagi mereka (cerpenis?R)?

Sebab, bukankah ?penerjemahan setepat-tepatnya? isi cerpen melalui ilustrasi cerpen justru ?memerkosa? cerpen itu sendiri? Atau, jika Binhad mengatakan ilustrasi cerpen adalah ?penglaris? cerpen, bukankah hal ini mengindikasikan ada sesuatu pada daya deskripsi-impresionistik cerpen-cerpen Kompas? Kini, tanpa disadari, status ilustrasi cerpen yang dipaksakan kehadirannya oleh Kompas itu seolah-olah menjadi sparring-partner bagi cerpen-cerpen Kompas.

?Kawin Paksa? Ilustrasi Cerpen

Di sinilah letak problem etis antara ilustrasi cerpen dan cerpen Kompas. Tarik-menarik antara ilustrasi cerpen dan cerpen barangkali telah diperhitungkan oleh Kompas. Karena itu, menurut saya, ilustrasi cerpen pada cerpen Kompas sesungguhnya adalah sebuah ?kawin paksa?. Memang benar tidak ada kontrak atau perjanjian apa pun antara cerpenis dan ilustrator. Sebab, pelaku ?kawin paksa? ini adalah Kompas sendiri. Dan, ?Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas? seolah-olah merupakan upaya penebusan dosa.

Antara ilustrasi cerpen dan cerpen memang memiliki sifat & karakter empiris yang berbeda. Namun, dalam dunia pemikiran kontemporer, baik yang berbentuk visual maupun yang berbentuk huruf (Binhad menyebutnya tekstual) tetap saja sama-sama teks. Sebab, proses ?membaca? dan ?memahami? ilustrasi cerpen pun sesungguhnya dilakukan melalui dan dengan bahasa.

Jadi, tugas cerpenis sepenuhnyalah yang harus membuat cerpennya lebih ?mejeng?, provokatif, melariskan dan meneguhkan cerpennya sendiri dengan menggunakan modal yang telah diberikan padanya, yaitu bahasa!

*) Kritikus Seni, Penggulat Filsafat Bahasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *