Ismi Wahid
http://www.tempointeraktif.com/
Bagi seorang Ashadi Siregar, kecintaannya terhadap dunia tulis dan jurnalistik tak akan terukur oleh waktu. Meski usianya semakin sepuh, tak lantas menghentikan aktivitasnya pada dunia itu.
“Saya sangat senang. Ternyata saya punya banyak teman,” ujar Bang Hadi, panggilan akrab Ashadi. Begitulah kesan pertama Bang Hadi yang terucap saat dialog ulang tahun ke 65 di auditorium TVRI pada Kamis (29/7) malam kemarin. Dalam dialog itu sekaligus membedah buku Ashadi Siregar : Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru yang sebelumnya sudah diluncurkan di Yogyakarta beberapa bulan lalu. Dengan usia kepala enam itu, badannya masih kelihatan bugar.
Sebelum hijrah ke Yogyakarta untuk menimba ilmu di kampus biru, Universitas Gadjah Mada, pria yang lahir di Pematang Siantar pada 3 Juli ini sejak awal memang meniatkan ingin menjadi wartawan. “Masuk ke jurusan publisistik, ternyata disana tidak belajar jadi wartawan,” ujarnya. Tak mendapat apa yang diinginkan dari lembaga pendidikan yang ia tekuni, ternyata tidak memutus niat yang sudah dirumuskannya sejak awal.
Keterlibatan langsung Bang Hadi dalam pers dalah ketika ia menjadi Pemimpin Redaksi Sendi, koran mingguan yang hanya terbit 13 edisi karena dibredel pemerinta, dan Pemimpin Redaksi Surabaya Post.
Karena pembredelan tersebut, praktis ia tak mendapat kesempatan menjadi wartawan. “Kemudian saya menulis novel sebagai substitusi itu,” katanya. Prinsipnya sangat menarik, gagal menjadi atlit maka jadilah pelatih. Pelatih dengan niat membentuk atlit yang baik.
Begitulah Ashadi kemudian terjun ke dunia pengajaran di almamaternya. Hanya bergelar doktorandus saja, ia telah membimbing banyak murid untuk meraih gelar doktor. Sebagai pengajar jurnalisme, Bang Hadi telah mencetak banyak jurnalis handal.
Pers, baginya, adalah pengabdian terhadap publik. “Menyiapkan jurnalisme itu harus sungguh-sungguh. Sekarang orang tidak bisa membedakan mana fakta publik dan fakta privat. Jurnalisme itu bukan hiburan,” katanya. Tugas mendidik jurnalisme harus betul-betul memahami fungsinya dengan baik.
Sebagai novelis, ia telah mewarnai khazanah sastra Indonesia pada tahun 1970-an lewat trilogi Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Bahkan, istilah kampus biru untuk Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tak lain berkat novelnya, yang kemudian diangkat dalam versi layar lebar dengan judul yang sama, Cintaku di Kampus Biru. Sebagai aktivis mahasiswa di zamannya, dia dikenal sangat serius. Sikap itulah yang telah membawanya hingga ke pengadilan.