Bahasa Jawa butuh spirit baru

Media Berbahasa Daerah Menghadapi Era Global
Fatkhul Aziz
http://www.dutamasyarakat.com/

Perkembangan globalisasi membuat khasanah lokal terdesak. Dunia yang tidak lagi berjarak dengan perkembangan teknologi informasi dan transportsi membuat lokalitas menjadi arena tempur. Jika tidak memiliki kekuatan, lokalitas bisa digerus kekuatan luar.

Kondisi itu mulai tampak pada kehidupan lokal masyarakat Jawa. Bahasa, sastra, dan budaya Jawa saat ini terus mengalami kemunduran. Para penulis dan penutur bahasa Jawa kian beringsut. Juga media massa berbahasa Jawa. Sehingga, kondisi bahasa, sastra, dan budaya Jawa ibarat hidup enggan mati tak mau.

Untuk itu, dibutuhkan spirit baru pada penulis, penutur, dan pemerhati Jawa dalam menggairahkan sekaligus memajukan Jawa.
|
Hal itu mencuat dalam diskusi ?Media Berbahasa Daerah Menghadapi Era Global? yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika di Hotel JW Marriot, Sabtu (25/9). Diskusi itu menghadirkan beberapa narasumber seperti Mochtar Pimred Panjebar Semangat, Suparto Brata novelis bahasa Jawa, Mbah Brintik penulis jawa dan pembaca, Amir Mahmud Kepala Balai Bahasa Surabaya, Darni Ragil Suparlan dosen dan peneliti Unesa, serta Sunarko Budiman Ketua Sanggar Sastra Triwida Tulungagung.

Suparto Brata menuturkan, keputusan politik dan desakan undang-undang yang menempatkan bahasa melayu sebagai bahasa Indonesia sekaligus bahasa nasional dan pengantar bahasa sekolah membuat bahasa Jawa kian terpuruk. Keterpurukan itu diperparah dengan kultur lisan masyarakat yang lebih kuat dibanding kultur tulis. ?Apalagi media massa berbahasa Jawa saat ini kian banyak yang gulung tikar. Dulu ada Mekarsari, Joko Lodang, Jayabaya, Panjebar Semangat, Damar Jati, serta kolom bahasa Jawa di media massa harian (koran). Tapi saat ini hanya tinggal Jayabaya dan Panjebar Semangat, lainnya gulung tikar,? paparnya.

Mochtar, Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat mengungkapkan, oplah Panjebar Semangat saat ini tinggal 20 ribu eksemplar. Namun, para awak redaksi terus mengupayakan terobosan agar tetap diminati masyarakat.

Mochtar menilai, pudarnya pamor bahasa, sastra, dan budaya Jawa juga dipengaruhi oleh stigma negatif bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa babu, bahasa tukang sayur, dan ketinggalan jaman. ?Masyarakat sekarang itu malu berbahasa Jawa juga malu berlangganan media massa berbahasa Jawa,? ungkapnya.

Meski begitu, Amir Mahmud menyatakan, kondisi bahasa, sastra, dan budaya Jawa akan tetap bertahan dalam kurun 100 tahun ke depan. Sebab, hingga kini masih tercatat sebanyak 75 ribu penutur bahasa Jawa yang tersebar di Indonesia hingga Suriname. Bahkan, naskah (literatur) Jawa hingga kini jumlahnya masih banyak dan terawat dengan baik. ?Di Balai Bahasa saja kita sudah menyalin sebanyak 240 naskah,? tuturnya.

Namun, Amir mengakui hal itu butuh penanganan khusus dan berkelanjutan agar ketergerusan tidak kian parah. ?Selain pemerintah, peran media massa sebagai penunda kematian sangat penting,? katanya.

Darni Ragil Suparlan menambahkan, peran media massa seperti Panjebar Semangat sangat penting dalam menghidupkan kembali pamor bahasa Jawa. Pemerintah diharapkan bisa turun tangan membantu kehidupan media massa berbahasa Jawa. Sehingga, khasanah lokal yang menjadi kekayaan budaya Indonesia bisa tetap dipertahankan.

Selain itu, dibutuhkan spirit dan inovasi baru pada media massa berbahasa Jawa seperti rubrikasi, tampilan, serta ulasan yang dimunculkan. Sehingga, menghadapi tantangan globalisasi media massa berbahasa Jawa bisa menyesuaikan diri. Muaranya, masyarakat bisa kembali berbangga menyandang identitas Jawa dan tidak malu menggunakan bahasa ibunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *