Dari Pengantin ke Mempelai

D. Zawawi Imron
jawapos.com

Entah berapa puluh kali saya menghadiri undangan pesta perkawinan yang sangat mewah, di gedung mewah, kursinya mewah, sajian makanannya mewah, pakaian orang-orang yang hadir mewah, dan tentu saja kostum dan rias pengantinnya pun mewah. Pokoknya suasana dalam acara pesta-pesta itu terasa serbaaduhai meskipun tidak seperti di surga.

Bagi orang yang mampu, bagaimana mungkin perkawinan anak tidak akan dimeriahkan? Perpaduan dua jiwa dalam perkawinan itu bisa dimetaforakan, ibarat dua butir embun dari ufuk yang berlainan kemudian bersatu dalam sekuntum mawar. Alangkah indahnya.

Maka tepat sekali kalau dirayakan, dipestameriahkan, bahkan dimewahkan asalkan tidak sampai merugikan orang lain. Mungkin juga pesta meriah itu sebagai tanda terima kasih sekaligus sebagai pengumuman kepada khalayak ramai bahwa si Tono telah sah sebagai suami si Tini. Maka musik pun bergema, bunga-bunga bermekaran, sukaria dan senyum ceria menyingsing di sekitar makanan yang lezat cita rasanya. Semua menjadi sah karena menunjukkan kemuliaan martabat manusia. Menghadiri acara seperti itu saya senang, dan tentu saja ikut bergembira, serta berdoa semoga kedua mempelai mampu mengekalkan cinta sampai usia tua. Dengan demikian saya merasa terlibat lahir batin dalam acara itu.

Itulah pengalaman konkret saya dalam menghadiri pesta pernikahan seorang teman atau putra seorang sahabat dalam format yang mewah. Tapi, bukan hanya pesta perkawinan mewah yang saya datangi. Pada saat yang lain saya menghadiri undangan pernikahan seorang kenalan yang tinggal di desa sebelah.

Mempelai perempuannya seorang buruh tani, yang kalau musim hujan turun membantu menanam padi atau menabur benih jagung. Pada hari-hari biasa ia membantu ayahnya menyabit rumput untuk makanan sapi yang dititipkan orang kepada orang tuanya. Sedangkan mempelai putra bekerja sebagai tukang becak di kota.

Saat itu mempelai putra memakai kemeja, sarung, dan kopiah. Tidak ada jas, tidak ada untaian kalung melati, dan keris lambang kejantanan. Ia hanya berpakaian seperti biasanya orang akan pergi ke masjid di Hari Jumat. Sedangkan mempelai putri memakai kebaya dan kerudung. Tidak ada rias wajah, tidak ada lipstik, dan potlot alis, kecuali usapan bedak yang sangat tipis. Tak ada kemewahan dan keceriaan. Detik-detik itu sungguh mengharukan. Saya sadar sedang menyaksikan pernikahan sepasang mempelai miskin. Ada airmata diam-diam meleleh dalam dada saya.

Ketika akad nikah diucapkan di depan undangan yang tidak lebih 20 orang itu, saya mendengar suara mempelai pria seperti sedang mengucapkan sumpah setia kepada kehidupan, meskipun ia hidup dan berenang dalam laut kemiskinan. Suaranya seperti sangat yakin bahwa dalam kemiskinan dan serba-kekurangan seperti itu tidak ada halangan baginya untuk maju mewujudkan cinta menjadi sebentuk kenyataan sebagai suami istri. Di samping itu, tidak ada halangan untuk menghisap madu kebahagiaan dalam lubuk penderitaan. Saya jadi ingat ucapan Kang Sobary (Mohamad Sobary) dalam bahasa Jawa, ”Nggolek suket ura-ura, numpak sedan mbrebes mili” (menyabit rumput sambil menembang, naik mobil tapi sambil menangis. Red).

Pulang dari upacara akad nikah yang mengharukan itu, saya bayangkan kedua mempelai menikmati madu cinta tanpa pesta dan kemeriahan. Mereka akan tetap berjuang untuk mengatasi penderitaannya. Mereka kawin karena fitrahnya mencintai hidup dan ingin juga menikmati sari-sari kehidupan seperti orang-orang yang berkecukupan. Mereka percaya pada kucuran keringat, jauh dari rasa putus asa.

Pasangan mempelai miskin bukan hanya yang saya kisahkan ini. Mungkin jutaan atau puluhan juta pasangan yang kawin tanpa pesta, karena mereka memang tak mampu. Tapi, karena mereka hidup di bumi Indonesia, sama-sama minum air Indonesia mereka tentu saja saudara kita. Pertanyaannya, adakah rasa persaudaraan yang tulus dengan mereka? Kalau persaudaraan itu ada bagaimana bentuk konkretnya?

Pertanyaan di atas sudah sepantasnya menjadi bahan renungan, untuk melahirkan kecerdasan yang membaut rasa kasih sayang bisa ditebar secara nyata, dalam persaudaraan yang indah. Barangkali kita memerlukan spirit kepahlawanan dalam bentuk yang lebih segar. Kita memerlukan penataan dan pembangunan budi pekerti yang mengutamakan kebersamaan. Rasa kebangsaan yang matang ialah rasa senasib sepenanggungan dalam bentuk tindakan nyata.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป