I Wayan Suardika
http://www.balipost.co.id/
Pagi ialah kenyataan yang selalu berulang; matahari pagi dengan cahaya yang menyehatkan, atau kalau tidak ia mungkin murung dengan rinai gerimis yang memberi rasa gigil atau kuyup. Selalu begitu, sebagaimana juga dua lelaki tua itu begitu setia mengikuti irama siklus pagi. Mereka selalu hadir berdua ketika pagi tiba, menyusur trotoar kota Jalan Veteran menuju Taman Puputan.
AGAK ganjil ialah mereka berdua sama sekali berbeda. Yang satu tinggi jangkung, perlente, jauh nampak lebih tertib lagak lagunya. Pada wajah yang nampak dimakan usia itu masih menyisakan raut kegantengan. Kulitnya putih bersih. Pembawaannya yang jumawa itu mengesankan gaya yang sangat aristokrasi, intelek dan berkesan menjunjung pekerti santun. Ia nampak sangat hati-hati walau itu hanya untuk tersenyum. Yang bertolak dari itu adalah pasangannya; sosok yang amat pendek, jelek, daki, langkahnya yang kecil sangat tak beraturan. Ia mengenakan scarf tapi bukan untuk menjunjung gaya, melainkan yang utama adalah menyeka peluh dan ingusnya. Kulitnya legam berkeriput, dan itu diperburuk oleh gambaran tatto di kedua lengannya. Walau batuk, ia tetap merokok. Dan sepanjang berjalan menyusur trotoar kota pagi hari itu, ia kelihatan lebih dulu letih dan tak dapat disembunyikannya nafasnya yang terengah-engah.
Mereka tiba di Taman Puputan, dan seperti biasa duduk di bangku taman sambil bermandikan matahari pagi. ”Pagi yang sungguh menyehatkan,” kata lelaki tua jangkung itu sambil menoleh kepada kawannya yang tengah menyulut rokoknya yang baru. ”Dan kau menikmatinya sambil mempercepat kematianmu.”
Lelaki tua pendek jelek itu setengah tak acuh. ”Kematian katamu,” ujarnya dengan sedikit sengit, ”Apa yang salah dengan kematian?”
Lelaki tua jangkung itu memandang patung orang menghunus keris dan tombak yang ada di depannya. Dengan hati-hati dikeluarkannya saputangan putih bersih dari saku celana training-nya. ”Tak ada yang salah dengan kematian,” katanya dengan suara pelan, halus dan penuh perasaan. ”Semua orang akan mati. Tapi yang baik ialah ketika kita menyongsongnya dengan menyenangkan, tanpa nyeri atau derita.”
Lelaki pendek jelek itu menyeringai.
”Ini hanya soal memilih, kawan. Kita boleh punya hak untuk memilih kematian dengan cara yang menyenangkan. Itu saja. Mengapa jarang betul kau sependapat denganku?”
Lelaki tua pendek jelek itu kembali menyeringai. Dan seringainya itu sungguh-sungguh memperburuk raut wajahnya. ”Sebaiknya kita pertahankan keadaan itu. Kita boleh berkawan puluhan tahun, tapi begitu kita sehaluan, aku akan lari dari itu.”
”Itu prinsip Nietzche,” sela lelaki tua jangkung.
”Terserah,” sahut lelaki tua pendek jelek.
”Pantas kawanmu sedikit.”
”Semakin sedikit orang punya kawan, semakin sejati ia menjadi manusia. Aku tak berkawan, maka aku ada.”
”Bagaimana bisa?”
”Sekawanan,” lelaki tua jelek itu menyulut rokoknya, ”kata itu menjijikkan aku. Gerombolan tidaklah eksistensial. Para kaum eksistensialis tak pernah benar-benar punya kawan, dan tak pernah benar-benar mau sepaham. Kawan dan apalagi sepaham hanyalah mengembalikan manusia ke titik pengecut yang paling memalukan. Mereka yang sejati menjadi manusia ialah mereka yang berani berdiri di seberang lini dan memilih kesendirian.”
Lelaki tua jangkung tetap tenang, dan tak terpancing oleh omongan ”tinggi” tentang paham eksistensialisme yang dipeluk sahabatnya. Dengan hati-hati ia memperbaiki lipatan baju training-nya dan menepis sehelai daun celagi kecil yang hinggap di bahu baju sport-nya itu. ”Aku tak seberani kau,” kata lelaki tua jangkung dengan tenang.
”Itu pasti!” seru lelaki tua pendek jelek itu mengejek. Bibirnya yang hitam oleh kebiasaan merokoknya tambah buruk ketika membentuk seringai. ”Dari masa kanak-kanak hingga serongkot begini, kau sungguh-sungguh hidup dalam naungan selimut yang hangat di balik rumahmu yang kokoh itu, Bung!”
Kali ini lelaki tua jangkung itu tersenyum. ”Itu aku tahu,” katanya tanpa emosi. ”Itu yang kukagumi darimu. Sejak kecil kau selalu menyosor-nyosor maut, tapi….” lelaki tua jangkung itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ”kematian seperti enggan mendekatimu.”
”Keleng, apa yang hebat tentang kematian?” ejek lelaki tua pendek jelek itu sambil menyambung kembali isapan rokoknya dengan batang yang baru. ”Berjuta-juta orang telah mati dan mereka tak pernah protes!” Lelaki tua jangkung itu tertawa pelan.
”Bilang saja kau takut mati!” kembali lelaki tua jelek pendek itu mengejek. ”Aku 65 tahun dan kau hampir 70 tahun. Kau tahu apa artinya itu? Artinya; kematian menganga di kelopak mata. Jangan-jangan ia ketawa-ketawa di sebelah kita. Jangan-jangan…”
Lelaki tua jangkung itu menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku taman, lalu dengan nikmat menengadahkan kepalanya ke langit biru. Kematian, gumamnya sambil mencoba membayangkan arti dan ”mengalami” kematian, jangan-jangan memang sedang berkeliaran di sekitar mereka. ”Ya, usia kita memang hampir tak berjarak dengan kematian,” katanya sambil tetap meluruskan pandangannya ke langit. ”Pernahkah kau membayangkan seperti apa rasanya mati?” Lelaki tua pendek jelek itu tak segera menyergap pertanyaan itu. Ia pun mengikuti menyandarkan tubuhnya dan menatap langit.
”Kau dengar aku?” desak lelaki tua jangkung itu. Kini ia memandang kawannya.
”Seperti apa rasanya menjadi orang mati?”
”Mungkin tak berarti apa-apa,” sahut lelaki tua jelek pendek itu, setengah tak peduli.
”Ya, mungkin tak berarti apa-apa.”
”Mungkin berarti sorga-neraka.”
Lelaki tua jelek pendek itu tertawa mengejek.
”Apa pendapatmu?”
Lelaki tua jelek pendek itu menyeringai.
”Kau percaya sorga-neraka?”
”Kau?”
”Kau dulu!”
Lelaki tua pendek jelek itu menarik kepalanya. Ia kembali duduk tegak lurus. Batuk yang berkepanjangan membuatnya sangat sibuk mengurus dirinya sendiri. Ingusnya meleleh dan disekanya dengan sangat jorok.
Lelaki tua jangkung memperhatikan dengan perasaan kasihan dan mau mencoba membantunya, tapi lelaki tua pendek jelek itu menampiknya.
”Kupikir,” kata lelaki tua pendek jelek itu di sela-sela batuknya, ”aku malah lebih awal berada di neraka,” lalu ia kembali sibuk dengan batuk-batuk. Dahaknya yang kental memenuhi rumput hijau basah di bawah kakinya.
”Ayo kita jalan-jalan,” tawar lelaki tua jangkung itu, ”Mungkin dengan bergerak batukmu akan reda.”
”Wah, itu malah membuat aku jadi benar-benar mati!” gerutu lelaki tua pendek jelek itu sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.
Lelaki tua jangkung tak peduli. Ia bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju trotoar taman. Dengan berat hati, lelaki tua pendek jelek terpaksa mengikuti sambil mengumpat-umpat sengit kepada kawannya itu. ”Kau memang naskeleng, tak tahu kalau aku sekarat begini!”
Dengan langkah lambat, mereka berdua mengelilingi taman.
”Jika kau diberi kesempatan hidup lagi,” lelaki tua jangkung membuka kembali percakapan mereka setelah dilihatnya kawannya itu tak lagi batuk-batuk, ”Kau pilih mau jadi apa?”
”Maksudmu?” tanya lelaki tua pendek jelek itu sambil memperhatikan sebentuk pantat indah milik seorang gadis yang menyalip mereka.
”Maksudku, mungkin kau ingin jadi insinyur, dokter, pejabat…”
”Kupilih jadi anjing,” sahut lelaki tua pendek jelek itu menyeringai, ”supaya aku bebas dari nafsu berkuasa, nafsu popularitas, nafsu kemaruk harta; kecuali hanya makan-seks-makan-seks-makan-seks.”
”Kau pilih kasta paling rendah derajatnya?”
”Ah, tahu apa kau tentang derajat kasta?” balas lelaki tua pendek jelek. ”Anjing hanya bisa membunuh lawannya dengan gigi dan taringnya. Sedangkan manusia memiliki sejuta teknik keji membunuh lawannya. Itu kau sebut manusia sebagai derajat kasta paling tinggi?”
Lelaki tua jangkung tak menjawab.
”Sudahlah, kawan!” lelaki tua pendek jelek itu merangkul bahu kawannya. Karena ia jauh lebih pendek, tentu saja pemandangan ia merangkul kawannya itu jadi terlihat ganjil.
Tapi lelaki tua pendek jelek itu dengan santai melakukan itu. ”Tugas kita adalah menikmati hidup ini, bukan berpikir tentang pascahidup. Karena kita berdua sama dungunya tentang makna kematian, baiklah kita lupakan saja itu. Lebih real ialah,” lelaki tua pendek jelek itu menarik bahu temannya agar temannya mau sedikit membungkuk, ”aku masih bisa dengan baik mengapresiasi tentang gadis pemilik pantat di depan kita ini,” bisik lelaki tua pendek jelek itu.
Lelaki tua jangkung itu kembali tertawa tertahan. ”Kau masih saja berpikiran mesum,” ejek lelaki tua jangkung itu. ”Satu hal yang sangat kupercaya, kawan,” katanya dengan penuh mantap, ”jika aku berinkarnasi kembali, kuduga itu pasti karena daya pukau pemilik pantai indah itu.”
”Ah, kau ini!” kata lelaki tua jangkung dengan sedikit tersipu. ”Hingga setua ini, kelakuan mesummu tak pernah pudar!”
***
PAGI ialah kenyataan yang selalu berulang; matahari pagi yang menyehatkan, atau kalau tidak ia mungkin murung dengan rinai gerimis yang memberi rasa gigil atau kuyup. Kecuali di Taman Puputan; pada bangku panjang di depan patung yang menghunus keris dan tombak, seorang lelaki tua duduk sendiri. Wajahnya yang menyisakan kegantengan itu tak secerah matahari pagi. Ia tak lagi ”sebuah pasangan” yang terbiasa bertengkar di bawah sehatnya matahari. Sejak kawannya meninggal tiga bulan yang lalu karena kompleksitas berbagai penyakit yang dideritanya, ia sungguh-sungguh merasa sangat kehilangan dan sangat disayat sepi. Bukan karena lelaki tua jangkung itu tak berkawan, tetapi hanya kawannya — lelaki tua pendek jelek — itu yang paling penting baginya, yang paling segalanya. ”Kematian baru memberikan kesedihannya ketika ia yang mati membawa separoh jiwa kita ke liang kubur,” lelaki tua jangkung itu mengenang sepotong kalimat kawannya saat mereka masih dalam kebersamaan.
Lelaki tua jangkung menundukkan kepalanya. ”Kau memang membawa separoh jiwaku ke liang kubur, kawan,” gumamnya sendiri. Tiba-tiba ia jadi merindukan kematian sebagaimana kawannya itu selalu ”meremehkan” kematian. ”Seperti puluhan kali kukatakan kepadamu,” kata kawannya itu saat-saat wajah maut mulai meraut di wajah kawannya, ”bukan kematian itu yang membuat aku bersedih, melainkan arti persahabatan kita, kawan. Kita berpisah untuk selamanya, dan pasti tak akan bertemu lagi, walau engkau akhirnya mati juga, belum tentu kita bertemu di akhirat. Karena kematian itu jangan-jangan sebuah dunia yang sangat luas, dan itu artinya besar kemungkinan kita tak akan bertemu.” Lelaki tua jangkung itu memejamkan matanya, dan selalu membayang akan temannya itu. Yang paling membuatnya iri adalah ketika saat memandangi wajah kawannya dalam kematiannya, begitu tenang, teduh, seperti menyambut sebuah kehidupan yang sangat membahagiakannya. Bagaimana mungkin atheis macam kawannya itu memiliki kebahagiaan begitu rupa dalam kematian dan tak punya beban mempertanggungjawabkan ketidakbertuhannya kepada-Nya? ”Kalaupun Tuhan itu ada,” kata temannya dalam suatu hari dalam satu percakapan mereka, ”Ia tak akan terganggu apakah kita atheis atau tidak. Jika aku atheis, Ia tetap Tuhan, tak mungkin berkurang kemahasempurnaanNya hanya karena aku membantah Ia ada.”
Pagi sangat tinggi. Lelaki tua jangkung itu bangkit dari kursi taman, melangkah pulang dengan lesu. Jalanan mulai ramai dan sibuk, tapi ia merasa sangat sepi dan sendiri.
Denpasar, 1 Juli 2003