Asarpin *
lampungpost.com
Munculnya serentetan diskusi dan perdebatan tentang globalitas dan lokalitas belakangan ini bisa dianggap sebagai gejala lanjutan- kalau bukan fenomen yang sama- dari perdebatan lama tentang timur dan barat yang sering dipenting-pentingkan itu. Tak terhitung banyaknya kegiatan ilmiah yang telah diadakan untuk membicarakan kedua tema ini.
Ratusan buku dan ribuan makalah telah dihasilkan.
Yang unik dari serentetan kegiatan ilmiah tentang global-lokal di Indonesia yang pernah saya ikuti atau minimal saya baca dari sejumlah bahan tertulis, ada kekhawatiran berlebihan terhadap munculnya semangat primordialisme-etnonasionalisme.
Gejala ini saya kira tak hanya terjadi di Indonesia. Berdasar pengamatan Rita Abrahamsen (2004), kebangkitan budaya lokal di sejumlah negara Asia-Afrika-dan Amerika Latin disebabkan oleh kampanye global itu sendiri.
Lokalitas ditempatkan sebagai isu strategis dalam kampanye dan agenda penting globalisasi. Yang lokal tidak terbunuh atau dibunuh, malah sengaja dibiarkan, dimanfaatkan, dipandang, disibak, diamati, tetapi potensi-potensi yang bakal menimbulkan resistensi perlahan dijinakkan lewat kemitraan swasta, good governance, otonomi daerah, dan sebagainya.
Piet Soeprijadi, mantan konsultan good governance untuk Indonesia, pernah bilang: good governance di Indonesia tidak diterapkan secara bulat seperti yang dijarkan dari Barat sehingga di Indonesia terdapat unsur lokalnya. Strategi pembangunan global menurut mereka seharusnya tidak menghambat budaya setempat, tapi justru menggali nilai-nilai lokal yang akan menopang keberlangsungan agenda tersebut. Bagi pradigma baru ini, perubahan tidak dapat dipaksakan dari luar -negara dalam hal ini termasuk berada di luar-melalui agensi pembangunan semata. Namun akan lebih efektif hanya jika konsepnya berakar kuat pada persoalan local genious.
Sepintas, saran-saran tersebut sangat menggoda dan menjanjikan perubahan yang lebih baik. Hasrat untuk membangun masyarakat dunia ketiga dengan memasukkan nilai-nilai lokal dan pribumi dalam semua wilayah (ekosob maupun sipol) akan diabsahkan oleh tidak hanya gerakan sayap “politik kanan”, bahkan oleh sayap “politik kiri” di masa sekarang ini.
Bahasa dan diksi yang mereka pilih memang bertujuan untuk memikat. Imaji bahasanya sangat kuat dan menyentuh, dan klaimnya untuk pemberdayaan masyarakat lokal, nilai-nilai lokal, kearifan lokal, tradisi setempat, telah meluncurkan energi, tetapi faktanya ia tak lebih dari khayalan kosong. Analisisnya mengenai agenda untuk “kembali kepada nilai lokal” terkesan melingkar-lingkar dan selalu kembali ke satu faktor tunggal, yakni neoliberalisasi ekonomi-politik.
Penggunaan istilah lokal dan pribumi dalam kertas putih good governance bisa dilihat sebagai ilustrasi “bujuk rayu pembangunan”. Pada saat sekarang ini, apa yang dinamakan tata kelola yang baik itu tak lebih dari mitos dan siasat global yang menggunakan baju lokal. Pengulangan terus-menerus mengenai kekhasan nilai-nilai lokal dan penghormatan pada tradisi dan kebudayan pribumi, telah merekomendasikan agenda ini sekadar locus classicus.
Lantas, bagaimana situasi kebudayaan Indonesia sendiri? Dinas Pariwisata ternyata punya andil besar mempolitisasi kebudayaan-kebudayaan lokal hingga sebagian budaya lokal dikenal luas, diminati, tapi sekaligus kehilangan basis perlawanannya ketika berhadapan dengan kuasa-global. Ketika sastra daerah telah jatuh dalam genggaman kusa-modal, sebagaimana lewat program-program pariwisata, sastra daerah tampak menjadi kerdil dan tak jarang jadi alat mengukuhkan identitas primordial yang sempit demi melanggengkan jabatan. Jika ini yang terjadi, pantaslah bila sebagian kalangan seniman dan budayawan mengambil jarak bahkan menjadi berhadap-hadapan dengan lembaga ini.
Sementara itu, Pusat Bahasa dan kantor bahasa propinsi mirip polisi linguistik yang menggunakan pendekatan senyum yang khas terhadap berbagai bahasa daerah. Ada kalangan yang terang-terangan menyalahkan lembaga ini sebagai biang kerok bagi pertumbuhan bahasa daerah, tapi ada yang membelanya dengan melempar kesalahan pada masyarakat pemakai bahasa daerah sendiri yang pantas disalahkan.
Jauh sebelum 1998, ajakan untuk kembali menggali semangat lokalitas sudah sering terdengar, terutama di kalangan pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi. Sementara di kalangan penggiat sastra hal ini nyaris mengalami titik jenuh karena isu macam ini telah nyaring terdengar sejak Polemik Kebudayaan 1930-an, munculnya ajakan agar sastrawan kembali ke desa tahun 1950-an, sampai perdebatan sastra kontekstual 1980-an dan lahirnya serentan diskusi seputar posmodernisme di awal 1990-an.
Tapi sejak 1998, semua kalangan seperti serentak terpanggil lagi untuk menyuarakan dan menggali kearifan lokal dengan berbagai macam istilah dan pendekatan. Kalau suatu organisasi atau ada yang mau mendirikan sebuah lembaga tapi tidak memasukkan kata “kearifan lokal” sebagai salah satu agenda kerjanya, atau metode pendekatan yang digunakan, rasanya kurang keren dan bakal kena gugat. Apa yang lokal dianggap selalu arif, dan karena itu dianggap pula alternatif.
Di beberapa tempat muncul keinginan melakukan standardisasi- sekarang ada istilah konservasi yang sebetulnya istilah lama tapi ngetop kembali sejak didengungkannya isu pemanasan global. Bahasa daerah mesti distandarkan, dikonservasi. Padahal yang namanya budaya lokal tidak cuma itu, lagi pula hal itu tidak cocok distandarkan, sebab standardisasi tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif akan terancam jika distandarkan.
Di beberapa daerah di Indonesia terjadi proses penguatan identitas lokal seiring dengan proses pembusukan modernitas dan kekhawatiran berlebihan terhadap dampak globalisasi ekonomi. Sebagian pemerhati budaya mengkhawatirkan jika globalisasi akan menggerus budaya lokal, tapi sebagian lain justru berkata tidak.
Anthony Giddens termasuk salah seorang pemikir yang tidak sependapat dengan anggapan tentang hancurnya budaya lokal sebagai akibat dari globalisasi. Menurut Giddens, di mana-mana sekarang kebudayaan lokal dihidupkan lagi justru ketika sebagian besar negara sedang memasuki arus globalisasi.
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana sikap dan respon kaum cendekiawan terhadap soal global-lokal yang marak tersebut? Pernyataan Henri Chambert-Loir berikut mungkin menarik jadi bahan diskusi, kalau bukan sebuah gambaran dari sebuah jawaban kecil yang minta perhatian.
Loir bilang: Sudah barang tentu kiranya orang Nusantara kini perlu sekali mengenal berbagai tradisi, kalau ingin mengenal masa lalu mereka; perlu pula mereka mencari inspirasi di situ kalau ingin membentuk suatu daya ketahanan budaya untuk membendung arus globalisasi. Namun, sebenarnya minat terhadap tradisi-tradisi sangat tipis, kalau pun ada, disebabkan aneka ragam alasan, di antaranya hasrat kaum cendekiawan yang sudah seabad tak kunjung padam untuk berkiblat ke Barat sebagai simbol dan sumber modernitas.
Untuk menemukan satu lagi kemungkinan jawaban sementara, saya harus meminjam sejumlah gagasan Frantz Fanon dan George Junus Aditjondro lewat “tiga fase respons cendekiawan bangsa terjajah (atau bangsa yang pernah terjajah)” terhadap “politik kebudayaan” global dan nasional. Fase pertama, para cendekiawan menerima faham bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau bahwa kebudayaan mereka sama sekali tidak punya arti dibandingkan kebudayaan si Tuan Penjajah. Dilandasi sikap ini mereka berusaha mengambil alih kebudayaan bangsa penjajah secara total, asimilasi total (baca: asimilasi tak bersyarat).
Fase kedua, ada cendekiawan lokal yang mulai merasa terganggu atas nihilisasi kebudayaan (asli) mereka. Lantas mereka bereaksi secara bertolak-belakang dari fase pertama. Mereka berusaha menghargai kebudayaan mereka yang asli. Namun, karena mereka sudah lama tercerabut dari mahia mereka sendiri, mereka sudah tak bisa lagi menghayati kebudayaan mereka dari sudut nilai intrinsik kebudayaan itu.
Maka pilihannya mau tak mau adalah menggali sisa-sisa kebudayaan lama untuk diselamatkan dengan menggunakan barometer yang dipinjam tanpa disadari dari kebudayaan dominan. Sikap ini dengan dikritik Fanon melalui sindiran yang halus: tadinya kita berusaha meludahkan diri kita ke langit, tapi sekarang kita terpercik oleh air liur kita sendiri yang sedang jatuh kembali ke bumi.
Fase ketiga, fase perjuangan. Yaitu kaum cendekiawan berusaha menciptakan suatu kebudayaan tandingan, kebudayaan perlawanan.
*) Sastrawan Lampung.