Sri Wintala Achmad *
Tidak terpungkiri bahwa Yogyakarta telah diasumsikan banyak orang sebagai salah satu kantong seni-budaya di Indonesia. Sehingga tidak musykil kalau EMHA Ainun Nadjib pernah menggagas bahwa Yogyakarta berpotensi menjadi ibukota kebudayan. Gagasan Cak Nun tersebut sangat beralasan. Karena berbagai genre kesenian yang merupakan produk budaya telah mengalami pertumbuh-kembangan secara dinamis di kota ini. Tidak hanya seni rupa, sastra, tari, dan seni teater yang bernuansa modern, melainkan yang bernuansa etnik lokal dan nusantara dapat tumbuh subur di Yogyakarta.
Terutama dalam kehidupan seni teater. Sejauh yang saya catat, kesenian teater (mother of arts) yang kini mengalami masa lesu tersebut pernah mengalami masa kegairahannya pada dekade 70-90an. Pada masa itu, banyak kelompok teater baik yang sanggar maupun akademis (sekolah dan kampus) mengalami pertumbuh-kembangan dinamis di kota Yogyakarta.
Dinamika pertumbuh-kembangan kelompok-kelompok teater yang sangat kompetitif di dalam berproses kreatif tersebut, sekadar menyebutkan nama antara lain: Teater Alam, Teater Sanggar Bambu, Teater Dinasti, Teater Starka, Teater Jeprik, Teater Gandrik, Teater Stemka, Teater Tikar, Teater Arena, Teater Aksara, Teater Pusaka, Teater Kita-kita dll. Sementara kelompok-kelompok teater akademis, semisal: Teater Gajah Mada (UGM), Teater Unstrat (IKIP Negeri/UNY), Teater ESKA (IAIN/UIN), Teater KSP (UST), Teater Padmanaba (SMAN 3 Yogyakarta), Teater SMERO (SMEAN 2 Yogyakarta) dll.
Meskipun kehidupan perteateran di Yogyakarta pada masa pasca 2000 cenderung mengalami degradasi kuantitaf, namun tidak berarti kota ini telah sepi dari kelompok teater yang masih konsisten meningkatkan kualitas kreatifnya. Bukankah kita masih sering menangkap getar kreativitas dari beberapa kelompok teater semisal: teater Gardanala, Teater Garasi, dan Saturday Acting Club (SAC)? What’s SAC?
SAC (Saturday Acting Club) yang berdiri sejak 2002 merupakan kelompok kajian acting yang semula bernama Saturday Acting Class. Kelompok ini merupakan sekumpulan orang yang bergelut di wilayah keilmuan teater dan secara khusus berkonsentrasi pada kajian acting serta mengekplorasi segala gaya acting dari berbagai isme.
Disebabkan kebutuhan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk kajian, maka SAC memutuskan untuk mulai mengekspresikan hasil tersebut ke dalam wujud pementasan teater (2006). Disepakatilah kemudian bahwa SAC untuk mengganti kata class menjadi club. Kata Saturday diambil karena kegiatan regulernya menggunakan hari Sabtu sebagai waktu pertemuan.
Keanggotaan SAC sendiri terdiri dari civitas akademika Institut Seni Indonesia dan orang-orang dari luar institusi yang mempunyai perhatian sama terhadap disiplin ilmu teater. Sampai saat ini SAC mempunyai anggota tetap yang tidak kurang dari 15 personil.
Hal yang dibanggakan, kehadiran SAC di tengah kelesuan dunia perteateran Yogyakarta telah memresentasikan karya-karyanya di ruang apresiasi publik baik di lingkup lokal (Yogyakarta) dan pusat (Jakarta). Karya-karya yang pernah ditampilkan, antara lain: Children First (Kedai Kebun/Teater Arena ISI, 2007); Smole & Ice Cream, Le Guichet, Traller HP. Zero Matrix (Kedai Kebun, 2007); Lithuania, karya Rupert Brook (Gelanggang Teater Gajah Mada/Laboratorium Teater Garasi, 2008); Beringin Soekarno (Kampus USD, 2008); Bintang Tamu Parade Teater “Big Days Art” CATASTROPHE (UNY, 2008); “Catastrophe” dan “Zero Matrix” (Auditorium Teater ISI Yogyakarta/Sanggar Baru TIM dan Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, 2008), dan Holocaust Rising yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 14-15 Oktober 2008.
Membaca Geliat Holocaust Rising
Siapakah manusia? Banyak orang menyebutkan, manusia sebagai hamba Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia terlahir di muka bumi telah dibekali akal budi. Namun realitasnya, banyak manusia cenderung menggunakan nafsu purbani (kebinatangan)-nya, hingga kehidupan yang beradab hanya menjadi mimpi kaum moralis. Hingga kehidupan tidak ubah arena pertikaian antar manusia berjiwa binatang yang menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan sesama.
Persepsi yang berpijak pada realitas sosial yang mulai memberhalakan spirit kanibalisme tersebut telah dilukiskan Rossa R. Rosadi (penulis scenario dan sekaligus sutradara) ke dalam pertunjukan teater komtemporer “Holocaust Rising”. Melalui pementasan teater yang cenderung mengeksplorasi unsur gerak (tari), posture, monolog ketimbang dialog, Rossa memresentasikan hasil amatan dan cerapan yang diendapkan terhadap fenomena sosial di depan publik (Taman Budaya Yogyakarta, 14-15 Oktober 2008).
Hal yang menarik di mata saya, Rossa tidak hanya melukiskan spirit kanibalisme dari sekelompok orang tolol yang lebih menggunakan power of physic ketimbang power of intelligence, melainkan pula dari sekelompok manusia cerdas yang memilih senyuman manis sebagai pisau lipat buat menikam lawan dari belakang. Pengertian lain, pengkhianaan cerdas telah dipilih oleh kaum kanibal modern (kapitalis) sebagai senjata mematikan.
Dari dimensi ide, Rossa layak diacungi jempol. Karena Rossa telah sanggup memresentasikan kritik sosialnya itu melalui bentuk pementasan teater yang tidak lazim. Namun dari sisi teknik permainan, masih banyak yang harus dibenahi. Terutama kelenturan komposisi, dinamika grafik permainan dan olah vokal dari sebagian pemain yang tidak jelas artikulasinya. Hingga audience yang tidak gamlang mendengar monolog dan dialog antar pemain niscaya gagal menangkap gagasan Rossa.
Meskipun demikian, seluruh anggota SAC layak mendapat penghargaan. Karena nama-nama pemain, semisal: Jamal Abdul Naser, Surie Inalia, Moh. Djunaedi Lubis, Ratna Aniswati, Nanik Endarti, Mariya Yulita Sari, Shanti, Intan Kumalasari, Wheni Black Out dll telah melakukan proses latihan yang sangat optimal. Totalitas latihan di dalam dunia teater memang penting.
Namun totalitas latihan yang tidak disertai dengan metode yang benar, serta pemanfaatan waktu yang efektif hanya akan menghabiskan energi para pemain pada saat pementasan. Hingga image yang muncul di benak audience, pementasan kurang berhasil!
Sekadar Catatan Penutup
Pementasan SAC di dalam pementasan teater “Holocaust Rising” yang mendapatkan dukungan TBY tersebut membuktikan bahwa kelompok teater belum punah di Yogyakarta. Meskipun saya tetap memrihatinkan, kuantitas kelompok teater di kota ini dapat dihitung dengan jari. Masalah ini seyogyanya mendapatkan perhatian dan tindakan konkret dari berbagai pihak guna menumbuh-kembangkan kembali atas kuantitas kelompok teater sebagaimana dekade 70-90an.
Selain itu, event pementasan SAC tersebut sanggup membenahi citra TBY sebagai penopang penumbuh-kembangan (kalau tidak mau disebut penyelamatan dari krisis) seni teater di Yogyakarta. Karena sebagai lembaga pemerintah, TBY tidak hanya memberikan fasilitas gedung sebagai tempat latihan dan pementasan, melainkan pula pendanaan. Sekalipun diakui, terealisasinya dan gaung pementasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai pihak yang terkadang tidak mau disebutkan namanya.
***
*) Penyair tinggal di Sleman, Yogyakarta.