Kabar dari Seniman Wonosobo

Haryati
http://suaramerdeka.com/

GAUNG seniman Wonosobo kini nyaris tak pernah terdengar di tengah ingar-bingar kiprah kesenian di Jawa Tengah. Kiblat dan kantong pergelaran seni tertuju pada kota Semarang, Kudus, Solo, Yogyakarta, dan Banyumas.

Wonosobo seolah tak pernah dilirik sebagai kota jujugan untuk pentas seni, sastra, atau kebudayaan lainnya. Padahal, kota yang sejuk serta populer karena Pegunungan Diengnya, bukan sama sekali tidak punya orang yang peduli pada dunia seni.

Sesunggunya, kalau boleh menyebut, Wonosobo sejatinya tak kalah dengan kota-kota lain ikhwal potensi dan kiprah berkesenian. Bahkan bila ditelisik satu per satu ada banyak seniman yang sudah berkibar.

Di seni fotografi, misalnya, melalui Himpunan Penggemar Photo Wonosobo (HPPW) banyak fotografer yang malang-melintang, tidak saja di tingkat regional tapi juga di level nasional. Sebut saja Agung Wiera dan Agus Wuryanto, dua dari sekian banyak fotografer yang sudah masuk katalog fotografer beken nasional.

ACDC, kelompok musik yang digawangi anak-anak Wonosobo, juga pernah masuk babak final Audisi Pelawak Indonesia (API) di TPI. Ada banyak juga musikus-musikus lokal lain yang cukup potensial untuk dikembangkan.

Bahkan ada musikus langka di kota ini. Aceng, seorang difabel, tanpa kedua tangan bisa memainkan gitar dan drum dengan kedua kakinya. Sebuah kemampuan yang tidak semua orang bisa melakoni. Karena keunikan itu, Aceng tercatat sebagai pemecah rekor Muri memetik gitar dengan kaki.

Di dunia lukis ada Adam Lay, yang sudah berkiprah di berbagai negara. Pelukis pemula seolah juga tak mau kalah. Karena beberapa perupa yang tergabung dalam Komunitas Air Gunung karyanya telah masuk dalam lelang lukisan di mancanegara.

Sastrawan? Boleh juga. Pasalnya, Wonosobo punya sastrawan yang tengan naik daun. Yusuf AN dan Maria Bo Niok, karya sastranya berupa cerpen kerap nongol di media Jawa Tengah ataupun nasional. Ada juga sastrawan mbeling Gus Blero dan penyair kamar Haiku Asmarasufi, yang untaian puisinya laris manis di kalangan ABG.

Mario Bo Niok, merupakan satrawan buruh migran. Sebelum bergelut di dunia sastra, dia adalah TKW yang beberapa kali bekerja di Taiwan dan Hong Kong. Sembari bekerja sebagai TKW, dia menulis bait-bait puisi dan cerpen, yang kemudian dimuat di jurnal sastra khusus buruh migran.

Telah Dibukukan Kini setelah tidak menjadi TKW, Maria Bo Niok, bergiat di dunia sastra di kota asalnya. Bahkan dia beberapa kali diundang sebagai pembicara dalam forum-forum sastra di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Solo. Beberapa karya cerpennya telah dibukukan.
Tari tak kalah gemulai.

Di kota ini ada nama Mulyani, penari yang punya obsesi ?gila? menggelar tari kolosal, memainkan seluruh siswa-siswi SD hingga SMA se-Wonosobo. Dia berharap obsesinya akan dicatat dalam rekor Mmuri. Ada juga penari Hengky Krisnawan yang mengoleksi benda-kuno dan Sri Rumsari Listyorini yang pernah pentas ngibing di Jerman.

Wonosobo juga punya dalang cilik Anindhita Nur Bagaskara (11), mutid kelas 4 SD Negeri 1 Wonosobo dan perempuan dalang Siti Aminah. Kedua dalang tersebut kerap pentas dalam ajang seni memeriahkan peringatan hari jadi kotanya. Semua seniman-seniman di atas merupakan asli putra daerah kota berslogan ASRI (aman, sehat, rapi, dan Indah) ini.

Tak hanya itu, kota pegunungan ini juga punya khasanah kelompok kesenian tradisional yang tak terhitung jumlahnya. Kelompok kesenian tersebut tersebar di 265 desa . Dari jenis, lengger, angguk, kuda kepang, warokan, barongan hingga kesenian khas lokal, bundengan.
Sayang, kiprah seniman kota ini sekarang terasa terserak.

Masyarakat menunggu kabar kiprah mereka dalam skala yang lebih luas. Dewan Kesenian Daerah (DKD), yang semestinya mewadahi kegiatan seniman ibarat mati segan hidup tak mau. Melihat besarnya potensi itu, sudah waktunya Pemkab Wonosobo membangun gedung kesenian untuk lebih memacu kreativitas para seniman.

Haryati S. Ag, Sekretaris PC Fatayat NU, guru MAN Wonosobo

Leave a Reply

Bahasa ยป