Anwar Siswadi
http://www.tempointeraktif.com/
Menggendong istrinya dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas, seorang wasu atau dewa berjalan hati-hati meniti pagar tembok setinggi orang dewasa. Sambil melangkah, mereka berbincang tentang 8 anak mereka yang harus turun ke bumi menjadi manusia. Ya, itulah kutukan Resi Wasistha kepada para pencuri lembunya yang bernama Nandini.
Agar bisa kembali ke kahyangan, mereka harus dilahirkan kembali lalu dihanyutkan di sungai. Di bumi, delapan anak dewa itu dititpkan ke rahim Dewi Gangga setelah menikah dengan Santanu, seorang Raja Astina. Kelanjutan secuplik kisah dari Mahabharata itu tiba-tiba terpotong oleh teriakan seorang perempuan yang memanggil nama Mas Narto berulang-ulang. Ia merindukan lelaki itu yang tak pernah pulang.
Begitulah adegan pembuka lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Garapan kelompok Teater Seni Teku dari Yogyakarta itu dipentaskan di lapangan parkir Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa (15/6) malam. Sebuah kisah yang menabrakkan teks kuno pewayangan tentang kelahiran Bisma dengan munculnya anak-anak jalanan. ?Di situlah konflik terjadi,? kata Ibed Surgana Yuga, sutradara sekaligus penulis naskah, sebelum pementasan.
Dewi Gangga gagal melarung anak kedelapan karena Sentanu mencegahnya. Sang suami menuding istrinya sebagai pembunuh yang kejam. Bayi itu yang kelak bernama Bisma alias Dewabrata, akhirnya diasuh sendirian oleh ibunya hingga besar dan menjadi mahasenapati.
Tapi nasib seorang perempuan miskin kota bertolak belakang dengan sang Dewi. Walau sama beranak delapan, tapi bapaknya berlainan dan tanpa ikatan perkawinan. ?Anak pertama oleh Mas Narto. Anak kedua sampai kelima oleh pemerkosa yang menutup wajahnya,? kata si perempuan. Sisanya dari tiga lelaki yang membayarnya.
Jika tujuh putra titipan Dewi Gangga itu naik kembali ke langit menjadi dewa setelah dilarung ke sungai, ketujuh anak perempuan tersebut justru hanyut di jalanan. Berjualan koran, makanan ringan, mengamen, atau menjadi gelandangan. Mereka, kata perempuan itu, sedang mencari bapaknya di belantara kota.
Seni Teku, kata Ibed, tertarik mengangkat kisah mitologi atau sastra klasik dengan selipan konteks sosial kekinian. Ide cerita Kintir muncul ketika mereka latihan teater di Pendopo Blumbang Garing di Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, pada April 2009. Di tempat milik perupa Ong Hari Wahyu itu, mereka baru bisa main setelah anak-anak bubar menjelang petang. “Berjam-jam kami harus melayani mereka bermain sampai ibunya memanggil pulang,” katanya. Dari situ, dunia permainan anak-anak masuk ke dalam naskah. Juga kehidupan petani di sekitar tempat itu.
Tema cukup serius tersebut dikemas dengan selingan humor dan permainan seperti perang-perangan sampai atraksi semburan api. Seperti pertunjukan kesenian rakyat, Seni Teku bermain dengan mengeksplorasi ruang terbuka. “Tak cuma ruang sebagai tempat permainan, tapi sosial dan budaya masyarakat,” ujar Ibed.
Kelompok itu juga sengaja mendekatkan pertunjukan tanpa mengambil tempat penonton. Bermain tanpa panggung, pemain leluasa mengambil sudut dan petak di lapangan tanah berumput yang becek tersiram hujan sejak siang. Penonton pun bebas mengambil tempat dimana saja walau penyelenggara menyiapkan tenda di tengah lapang.
Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Benny Johanes, dalam diskusi setelah pertunjukan, menilai gaya seni Teku seperti Teater Garasi dari Yogyakarta. Bedanya, Teku lebih mempertahankan naturalitas. Sedangkan penonton lain, seperti Sammy, memuji Teku yang sanggup melebur ruang terbuka. “Teku mengembalikan teater ke bentuk aslinya,” ujarnya.
Peraih hibah seni dari lembaga Kelola dan Hivos itu mementaskan Kintir berkeliling di tiga kota. Setelah Indramayu dan Bandung, selanjutnya Jakarta pada 18 Juni di Taman Ismail Marzuki.