Salman Yoga S *
blog.harian-aceh.com
SENIMAN tidak dilahirkan oleh Universitas dengan Fakultas Seni-nya. Sastrawan tidak dilahirkan oleh Fakultas Imu budaya dengan Jurusan Sastra-nya. Hanya seribu satu orang dari bidang ini yang benar-benar konsen dalam bidangnya. Dibelahan dunia manapun, seniman dan sastrawan selalu lahir dan “dimuntahkan” dari sosio culture makro.
Aceh, Sampai saat ini bahkan sepanjang sejarah belum mempunyai kritikus sastra. Yang kita punya adalah pengkaji dan peneliti sastra. Meskipun di sejumlah perguruan tinggi negeri atau swasta di Aceh tersebar sejumlah akademisi S3 sastra. Tetapi mereka hanya berasyik ria dengan pengajaran kurikulum yang kaku, fasikh menyebut karya dan sastrawan yang hidup ratusan tahun silam, tetapi gagu menyebut pelaku, karya dan konten sastra fenomenal terkini. Padahal, sebagaimana sifat ilmu umumnya selalu mengacu kepada kebaharuan, tentu dengan tanpa harus mengesampingkan karya dan pelaku sastra klasik. Lalu majukah kajian sastra kita ?
Barangkali demikian pula halnya dengan eksistensi kritikus sastra kita, ia tidak dilahirkan oleh disiplin ilmu yang berkenaan dengan kajian lingkup sastra; teori, pelaku, aliran, karya dan konten sehingga Aceh yang dikenal kaya dengan kesusastraannya tidak memiliki seorang kritikuspun yang mumpuni.
Di tengah produktif dan membanjirnya pelaku serta karya sastra kontemporer di Aceh justru tidak memiliki satupun pembanding dari kalangan akademisi sebagai benteng atau pecut adalah sesuatu yang tak dapat dipercaya. Sungguh sebuah fenomena peradaban yang timpang, sungguh sebuah dinamika kreatif yang ironi.
Terlepas dari era kegelapan akan keberadaan kritikus sastra Aceh yang tanpa ujung itu, dunia kesusastraan dan tulis menulis Aceh saat ini justru kembali kedatangan “pemain baru” dengan stail dan karya terbarunya pula. Zack Arya namanya dan EL-Mansiy tajuk novelnya.
Banyak penulis lahir dari sebuah ketertarikan, hoby, jalan yang terbuka untuk menyampaian pikiran dan ide-ide. Sebagai media dalam mengkomunikasikan ide, rasa bahkan imajinasi-imajinasi liar menyangkut sesuatu yang telah dan akan terjadi. Menyangkut sesuatu yang ada dalam realita maupun diluar alam nyata. Antara hal yang bersifat imajinatif atau fakta. Fiksi atau non fiksi.
Berangkat dari hal tersebut banyak juga kemudian yang menjadikan dunia seni, sastara secara lebih khusus dan dunia tulis menulis yang lebih umum menjadi jalan sekaligus pilihan hidup. Meskipun menulis itu sendiri tidak mempunyai kurikulum dengan acuan-acuan yang baku, berbeda dengan dengan tenik dan struktur penulisan karya ilmiyah dengan pola dan rambu-rambu tersendiri.
Tidak jarang juga dalam konteks realiti ini individu-individu yang muncul adalah mereka yang secara keilmuan tidak berkolerasi langsung dengannya. Lalu apa yang menjadi faktor utama ketika individu-individu dimaksud mengkreatifkan diri untuk menulis karya sastra semisal puisi, cerpen, novel/novelet atau berbagai sejenis karya sastra lainnya?
Banyak alasan dan banyak kemungkinan-kemungkinan yang menghantarkan seseorang untuk menjadi dan memilih menulis. Diantaranya dari sekian kemungkinan itu adalah Pertama: kesadaran komprehenship akan ampuhnya dunia tulis-menulis sebagai media komunikasi individual dan massal. Formal dan non formal. Kedua; sensibilitas terhadap dunia sastra yang memungkinkan sebuah “fenomena” dapat diaktualisasikan secara lebih leluasa, renyah dan membumi. Ketiga; keinginan kuat dari penulisnya sendiri untuk mengaktualisasikan potensi sekaligus eksistensinya dalam kehidupan sosial.
Penulis dengan karya yang mendapat pengakuan dari publik ketika eksistensi dan kontinyuitas karyanya muncul dihadapan publik dikonsumsi oleh massa. Hal tersebut hanya dimungkinkan ketika sebuah karya dipublikasikan melalui media-media cetak massa. Terlepas dari kualitas, terkadang kuantitas juga sangat diperlukan dalam menjaga konsistensi menulis.
Banyak para penulis lahir dari media cetak. Kontinyuitas dalam berkarya menjadikannya sebagai penulis, kolumnis, cerpenis, novelis atau sebutan lainnya diluar wilayah kerja jurnalis profesional. Tetapi untuk muncul dihalaman-halam media cetak membutuhkan sebuah seleksi oleh radaktur. Redaktur melalui kebijakan medianya dalam hal ini menciptakan semacam “perang” karya tulis. Seleksi kualitas dan konteks tulisan.
Barang siapa yang menjadi pemenang dalam “perang” tersebut, maka karyanyalah yang akan termuat. Tetapi bagi yang kalah akan menunggu giliran atau malah mendarat di tong sampah. Para pemenang dari “perang-perang” tersebut secara alamiyah akan menjadikannya sebagai penulis. Meskipun secara alamiyah juga akan kalah dengan pertaruhan konsitensi akibat kesibukannya sendiri.
Zack Arya, adalah penulis muda Aceh yang lahir di luar kecamuk “perang terbuka” media cetak. Ia menciptakan ruang “perang” sendiri dengan menulis dan menerbitkan karyanya sendiri pula. Sebagai sebuah karya kualitasnya hingga sampai menjadi buku bukanlah sesuatu yang patut dipertanyakan. Karena “perang” yang ia ciptakan adalah untuk kemenangannya sendiri.
Publik pembaca tidak pernah disuguhi fase kerja kreatif bagaimana ia sampai kepuncak pendokumentasian karya. Ketika sudah menjadi buku, maka iapun mau tidak mau akan menghadapi “perang” yang ia picu sendiri. Bedah karya barang kali adalah medan “perang” yang terpicu itu. Sang penulis harus mempertanggungjawabkan karyanya, mulai dari originalitas, muatan pesan moral dan lain-lain. Meskipun dari segi marketing hal terbut tidak mempengaruhi sebuah karya menjadi best seler atau tidak, karena publik mempunyai kreteria dan interes bacaan yang terkadang sulit di tebak.
Banyak hasil karya tulis yang dikukuhkan sebagai pemenang sebuah lomba tetapi tidak laku di pasaran. Sebaliknya sebuah karya yang lahir begitu saja tanpa melalui “perang” media dan seleksi publik justru “meledak”. Ayat-Ayat Cinta, atau sederetan karya Habiburrahman lainnya yang mendapat tempat menggembirakan dipasar-pasar buku adalah sebuah contoh.
Laskar Pelangi karya Andreas Hirata adalah contoh lain dimana sebuah karya yang lahir dari penulisnya sendiri tanpa melalui “perang-perang” karya di media. Berbeda dengan Abidah Al-Haleki dengan novelnya yang berjudul Perempuan Berkalung Surban yang selain menjadi salah satu novel besseler Indonesia juga sukses di layar lebar.
Titik perbedaanya adalah, Abidah Al-Haleki sudah melampaui “perang-perang” karya di media, namanya sudah cukup lama dikenal di Yogyakarta dengan sederetan karya sastranya yang dimuat di berbagai media cetak pusat dan daerah. Sementara Andreas Hirata dan Habiburrahman sebelumnya tidak pernah dikenal dalam “pertarungan” karya di media cetak Indonesia. Demikian pula dengan Zack Arya, namanya belum pernah terbaca dalam media cetak terbitan Aceh dengan karya sastra sesederhana apapun. Lalu tiba-tiba ia muncul dengan summit karyanya.
Tampaknya novel EL-Mansiy mencoba mengikuti pola keberuntungan dua penulis Andreas Hirata dan Habiburrahman yang kini telah menjadi ikon penulis novel Indonesia mutakhir, mengalahkan Ayu Utami dengan novel Saman-nya, Helvitiana Rossa dan lain-lain. Hal tersebut bukan saja tampak dari segi desaigh cover tetapi juga formula cerita dan judul yang di Arab-Arab-kan.
Zack Arya yang bernama asli Zakaria Nur Elyasy kelahiran Bener Meriah 19 April 1984 ini tampaknya mengamati betul akan fenomena yang berhasil diraih oleh Habiburrahman dan Andreas Hirata. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah; apakah novel EL-Mansiy mempunyai intresting yang sama dengan karya-karya fenomenal tersebut yang bukan saja dalam bentuk cetak tetapi juga sukses di layar lebar? Apakah publik pembaca novel Aceh atau malah Indonesia mampu ia hipnotis dengan sajian karya tanpa publikasi yang memadai, dan apakah sebaran novel mampu menembus pasar-pasar potensial dengan jumlah eksemplar yang terbatas? Tak ada yang mustahil jika ikhtiar terus dipacu.
Hal positif El-Masiy adalah karya dan buku pertama Zack Arya, yang membuktikan bahwa “perang tulisan” dan persaingan pemuatan karya tulis pada media cetak telah ia kesampingkan. Ia lahir bukan dari workshop atau sekolah non formal kepenulisan. Ia menciptakan dan menyelesaikan “perang” dalam daya kreatifnya sendiri. Otodidak tulen dengan ambisi yang kuat, maka lahirlah novel El-Masiy, yang ditulis dan dipersiapkan dalam dua tahun dengan kualitas kertas yang cukup lux untuk ukuran kebayakan novel yang terbit di Indonesia. Menyajikan ekses konflik yang berimbas pada penderitaan rakyat, cinta dan kesetiaan adalah poin positif lainnya dari novel ini.
Kebalikan dari hal positif tersebut adalah frase kepenulisan terkesan tidak beraturan dan penggunaan perulangan kata yang mubazir, cenderung bertele-tele dan dramatisasi konflik yang dangkal, sehingga sulit ditemukan adanya plot cerita yang menggigit. Satu hal lagi yang terpenting bahwa penulis kurang berani mengambil sikap dalam mendiskripsikan alur, selayaknya setiap penulis harus menempatkan idealisme humanismenya dan rakyat yang tertindas sebagai “Tuhan”. Hal ini tidak muncul karena penulis cenderung mengambil sikap “aman” tanpa berani mengambil sikap memihak kepada yang lemah (rakyat), dan ini diakui oleh penulisnya sendiri.
Secara umum novel El-Masiy berlatar konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Indonesia yang berimbas pada pada penderitaan rakyat, berkisah tentang Kamal dan Arnati sebagai tokoh utama cerita. Meskipun keduanya berasal dari budaya berbeda, Gayo dan Aceh, tetapi hati mereka terpaut dalam cinta. Dilema asmara keduanya bermula ketika kehadiran seorang Komandan Tentara di Ketapang Manyang, yang selanjutnya menanamkan budi pada Arnati dengan pamrih pinangan.
Rencana sang Komandan menggiring Arnati kepelaminan dikandaskan oleh guncangan Gempa dan bah Tsunami 26 Desember 2004. Bencana dahsyat itu bukan saja mengakhiri cinta “kuasa” sang Komandan tetapi juga menyudahi penderitaan orang-orang Ketapang Manyang.
Letak menariknya novel EL-Mansiy untuk disimak dari halaman ke halaman adalah pendiskripsian kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, bukan saja tentang adat dan ritual tetapi juga mistiknya.
Judul Buku : EL-Mansiy
Penulis : Zack Arya
Penerbit : CV. Pede Grafika & Zecka Publisher
TahunTerbit : 2010
Tebal : xi + 321 Hlm
ISBN : 978-602-96760-0-6
*) Salman Yoga S, Sastrawan dan dosen Ilmu Komunikasi pada IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.