”Orang Berbudaya Baca Sastra”

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.co.id/

”Orang Berbudaya Baca Sastra.” Demikian motto Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI), sebuah wadah yang menampung kegiatan sastra di luar sekolah. Kelahiran sanggar yang di bidani oleh sastrawan Taufik Ismail ini didorong atas keprihatinan tentang pengajaran sastra di sekolah yang kian terpuruk. Kecintaan membaca sastra di kalangan siswa sangat rendah. Kalaupun ada minat baca, siswa mendapat kesulitan karena tidak tersedianya buku-buku sastra di sekolah.

SAMPAI akhir tahun 2002, SSSI baru terbentuk di 12 kota yang tersebar di Indonesia sebagai cabangnya seperti di Padang, Palembang, Bandar Lampung, Semarang. Yogyakarta Serang, Ciribon, Gersik, Madura dan Tabanan (Bali). Sanggar ini bertujuan untuk menampung dan menyalurkan kreativitas siswa di bidang sastra. Khusus di Tabanan, sanggar ini dipimpin oleh I Gusti Putu Bawa Samargantang, S.Pd., seorang pegiat sastra tradisi maupun modern.

Walaupun berada di luar sekolah, SSSI akan sangat membantu memotivasi siswa mencintai sastra. Pengajaran sastra yang menjadi bagian terkecil dari pengajaran bahasa Indonesia, tidak mampu memberikan peluang bagi siswa yang berminat terhadap sastra. Pengajaran sastra menghadapi masalah yang kompleks menyangkut kurikulum, media pengajaran, evaluasi, guru dan lain-lain. Masalah ini sering jadi bahan diskusi di kalangan guru Bahasa Indonesia yang tergabung dalam wadah MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).

Kendala ini tidak saja dirasakan guru yang mengelola langsung proses belajar mengajar di ruang kelas, tetapi juga oleh para sastrawan. Ketua SSSI Pusat, Taufik Ismail menilai, problem yang dirasakan oleh guru sekarang ini akibat salah arah pendidikan sastra di tahun 1950-an. Waktu itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang kemudian berubah menjadi FKIP dan IKIP, mencetak guru untuk mengajarkan bahasa saja. Sastra hanya “dititipkan” untuk diajarkan. Dengan demikian mahasiswa yang kelak menjadi guru itu tidak dapat disalahkan apabila mereka canggung bahkan kurang suka atau terpaksa saja mengajarkan sastra.

Dalam tulisannya di majalah Horison (April 2000) Taufik menyebutkan, sastra di SMU diajarkan luar biasa sedikit, antara 15-20 persen, sedangkan tatabahasa terlampau banyak, empat sampai lima kali lipat yaitu 30-85 persen. Di SMU negara-negara lain seperti Kanada, Jepang, Swiss, Rusia, Jerman, Perancis, Belanda, Amerika Serikat kaidah tatabahasa tidak diajarkan lagi, karena dianggap sudah cukup diberikan sebelumnya di SD dan SMP. Di SMU di negeri lain seperti yang disebutkan tadi, siswa dibimbing terus membaca buku, lalu mengarang. Bukan berarti mereka mengabaikan tatabahasa. Penguasaan tatabahasa siswa disempurnakan melalui penggunaannya dalam karangan yang mereka tulis.

Meluruskan kembali pengajaran bahasa Indonesia dengan memberikan porsi yang lebih besar terhadap sastra, dihadang oleh sistem evaluasi. Soal-soal yang keluar dalam ulangan semester maupun Ebtanas berupa soal pilihan ganda. Siswa tinggal melingkari atau menyilang salah satu jawaban yang dinilai siswa benar. Model soal seperti ini kurang memberikan motivasi siswa untuk belajar sungguh-sungguh. Materi mengarang yang mendapat perhatian serius di luar negeri, ternyata dalam Ebtanas, sejak empat tahun belakangan ini, lenyap alias tidak disertakan lagi. Lebih berbahaya lagi, kesan yang diperoleh dari siswa adalah, pelajaran mengarang identik dengan matematika yang amat ditakuti siswa. Demikian juga, siswa akan menyambut gembira kalau soal Ebtanas tidak mencantumkan soal mengarang.

Dengan model evaluasi seperti itu, sangat tidak menguntungkan bagi pengajaran sastra. Terlebih lagi pengajaran ini diharapkan bersifat apresiatif — membaca, mendengarkan, menulis dan diskusi tentang sastra. Sistem soal seperti itu akan dapat mengarahkan guru dan mendikte guru untuk menyesuaikan materi pelajaran dengan soal-soal yang keluar dalam Ebtanas. Akhirnya pengajaran sastra akan makin tersisih. Makanya, perlu dipikirkan evaluasi yang pas untuk pengajaran sastra.

Kontribusi Sastrawan

Guru bahasa Indonesia yang juga notabene guru sastra sudah cukup lama merasakan lemahnya sistem evaluasi pengajaran sastra. Menumbuhkembangkan sastra yang merupakan khazanah kebudayaan itu di sekolah menemui banyak hambatan. Perubahan kurikulum sejak tahun 1975, 1985 dan 1995 beserta penyempurnaannya belum menyentuh pengajaran sastra. Kurikulumnya hanya menyebutkan pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan, pengajaran sastra merupakan bagian dari pengajaran bahasa. Komponen pengajaran sastra seperti kurikulum, siswa, guru dan evaluasi betul-betul lemah. Ibarat mengurai benang kusut, sangat sulit dari mana mesti memulainya.

Para sastrawan turut menuding bobroknya sistem pendidikan dalam pengajaran Depdiknas di pusat maupun daerah. Terbukti sastrawan-sastrawan tadi membuat gebrakan seperti program SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya) dan MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra). Program yang disebutkan terakhir ini diperuntukkan bagi guru-guru bahasa Indonesia.

Selain itu kontribusi sastrawan terhadap pendidikan di tanah air ini juga tampak dalam program SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca) dan membina SSSI (Sanggar Sastra Siswa Indonesia) yang tersebar di daerah-daerah. Program-program ini melibatkan sastrawan seperti Putu Wijaya, WS Rendra, Sutardji Coulzum Bahri, Taufik Ismail yang datang mengunjungi beberapa sekolah dan kampus dengan menggandeng beberapa aktor dan aktris film dan sinetron. Untuk kegiatan sanggar SSSI secara rutin dikirimi buku-buku sastra.

Hasil kunjungan para sastrawan di beberapa sekolah SMU di Bali, menunjukkan minat siswa terhadap sastra cukup besar. Namun, minat ini tidak diimbangi dengan keinginan membaca karya sastra. Sehingga tepatlah motto yang diberikan oleh para sastrawan yakni, ”Orang Berbudaya Baca Sastra”. Nah, tegakah orang dicap tidak berbudaya karena gara-gara tidak membaca karya sastra?

* I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan

Leave a Reply

Bahasa ยป