Otokritik Sosial Budaya Bali

Judul : Wanita Amerika Dibunuh di Ubud
Penulis : Gde Aryantha Soetama
Penerbit : Arti Foundation, 2002
Tebal : v+115 halaman
Peresensi : IGK Tribana

Beranda

KETIKA upacara pengabenan pamannya, Bram (orang Bali) berkenalan dengan seorang wisatawan bernama Susan dari Amerika Serikat (AS). Selanjutnya kedua insan berlainan jenis dan bangsa ini menjalin hubungan yang lebih intim — cinta sesaat. Sesungguhnya Bram ingin mengenal Susan lebih dekat semata-mata untuk belajar bahasa Inggris. Demikian pula kedatangan Susan ke Bali bukanlah seperti wisatawan asing kebanyakan — benar-benar berwisata, melainkan sebagai mata-mata terhadap pelaku kejahatan sesama manusia yang terjadi di berbagai negara. Justru karena sebagai mata-matalah, Susan tewas di Ubud, suatu tempat yang dikaguminya. Susan pun diaben di Bali sesuai dengan pesannya ketika ia masih hidup.

Mengejutkan benar, seorang wanita warga AS tewas di Ubud. Namun, itu hanyalah karya fiksi — sebuah novel. Jika benar-benar terjadi secara faktual, tentu menggegerkan dunia pariwisata Bali. Sebelum membaca, seolah tulisan dalam buku ini mengungkap peristiwa pembunuhan orang asing. Sesungguhnya, karya ini sarat akan kritikan terhadap masyarakat Bali dari sisi sosial budaya — kritikan dari orang Bali sendiri. Cerita novel ini sungguh menarik karena pengarang meramu turisme, seks, cinta sesaat, pergulatan masalah adat, dan agama. Walaupun dikemas dalam sebuah novel, kebenaran akan fakta di masyarakat Bali nampaknya tak terbantahkan untuk diluruskan dari sisi agama (Hindu). Jadi tidak selamanya karya sastra itu tergolong “dusta”, karya imajinasi semata seperti pendapat orang kebanyakan. Sebagai sebuah karya sastra, tentu novel ini memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dari sisi intrinsik — alur, penokohan, latar, gaya bahasa, tema, bobot sastranya — tentu tidak diragukan lagi. Untuk ulasan lebih lanjut sebagai sebuah karya seni (sastra) adalah menjadi tugas para peneliti atau peminat sastra untuk menemukan dan membahasnya secara ilmiah. Atau, kalau setiap pembaca memperoleh nilai tersendiri dari novel ini, tentulah hal yang baik dari sisi kreativitas seorang pembaca karya sastra. Hal ini tentu sudah lumrah dalam menikmati karya sastra.

Kemudian dari sisi ekstrinsik (unsur luar sastra), novel ini memberikan suatu wawasan yang sangat berharga kepada pembacanya. Kalau pembacanya bukan masyarakat Bali, buku ini akan memberikan gambaran tentang budaya masyarakat Bali dalam kesehariannya di tengah-tengah majunya pariwisata. Bahkan, Bali tidak saja dijadikan tempat wisata oleh orang asing, melainkan juga untuk kegiatan lain. “I’m sorry, Bram. Aku seorang detektif swasta di California. Tugasku sekarang menguntit Decker. Aku dibayar mahal untuk tugas itu.” (hal. 63-64). Jadi kedatangan orang asing ke Bali beragam tujuannya.

Khusus untuk pembaca yang berlatar belakang masyarakat Bali, tampaknya penulis mengajak para pembacanya mencermati masalah sosial budaya sehingga membuat orang ngeh akan perilaku kesehariannya — menenggelamkan agama demi adat. Banyak orang (Bali) kurang memahami dengan baik tentang esensi agama. Seperti diketahui, agama tidak pernah memberatkan umatnya, baik dari sisi materi maupun rasa ketertekanan dari pelaksanaan upacara agama. Dari awal hingga akhir cerita, pengarang seolah tidak pernah hentinya mencermati kondisi Bali yang masyarakatnya sibuk melakukan aktivitas adat, budaya, dan agama, namun miskin pemahaman akan makna religiusnya. Sesungguhnya, inilah yang perlu dibenahi di Bali. Hal ini terungkap dari percakapan para tokoh cerita. “Tak semua sanak saudara menyembah. Mereka yang merasa usianya lebih tua dibandingkan almarhum duduk tenang-tenang saja.” (hal.8).

“….Sebuah kebiasaan yang menjadi adat istiadat, tetapi sebenarnya keliru.” (hal.8-9). Contoh kritikan yang lain, “Tapi upacara begini sangat rumit, kau tahu? Aku sendiri tak bisa menangkap seluruh maknanya. Bahkan, sering berpikir, mengapa upacara mesti sesulit ini? Tak hanya rumit, Susan. Biayanya pun mahal!” (hal 25). Perdebatan-perdebatan kritis dalam novel ini sesungguhnya adalah pergulatan, dilema, dan kecemasan, yang tetap menjadi perbincangan hangat dan serius keseharian masyarakat Bali hingga kini, bahkan tidak akan berhenti. Inilah kritikan dari orang Bali sendiri untuk orang Bali juga — otokritik.

Begitulah novel ini. Ceritanya memikat karena keberhasilan pengarang meramu turisme, seks, cinta sesaat, melalui pergulatan pandangan adat dan agama tentang pengabenan orang asing yang bukan beragama Hindu. Pandangan ihwal turisme, misalnya, selain mendatangkan dolar, juga malapataka. Kepolisian menjadi lebih sibuk dan pekerjaan kian rumit menangani berbagai sindikat internasional.

Sayang, pengarang terlalu cepat menyelesaikan ceritanya — ketika pembaca sedang asyik-asyiknya membaca. Boleh dibilang novel ini pendek dari sisi alur cerita. Halaman-halaman buku cukup banyak dihabisi dengan unsur-unsur ekstrinsik sastra. Hal ini mengesankan penulisnya sebagai seorang jurnalis. Namun demikian, pembaca sudah disuguhi sebuah karya yang berbobot. Novel ini cukup sarat dengan muatan renungan budaya. Karya sastra ini juga layak dijadikan bahan diskusi dalam pembelajaran sastra di sekolah, lebih-lebih untuk mengangkat budaya lokal Bali.

Leave a Reply

Bahasa ยป