(Cerita dalam Potongan Status)
Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/
Seperti pada kebanyakan kerajaan asli Indonesia yang lain pada masa pra-kolonial, sejarah Banjarmasin ditandai oleh pertentangan internal yang kronis, terutama di antara anggota-anggota keluarga raja. Kebencian, iri hati, ketamakan, dan lapar kekuasaan yang mendorong terbentuknya persekongkolan-persekongkolan politik merupakan sebab-sebab terjadinya friksi, pembunuhan manusia, atau pembunuhan kepala negara yang dilakukan oleh para pengikut raja-raja sendiri, yang sebagain besar berlangsung tanpa sanksi hukuman.
Konflik semacam ini umumnya terjadi di antara kemenakan dan paman, saudara-saudara tiri, atau bahkan di antara saudara kandung. Pangeran samudra versus Pangeran Temenggung pada abad ke-16, Pangeran Amir vs Panembahan Nata pada abad ke-18, Pangeran Hidayatullah vs Pangeran Tamjidillah pada abad ke-19. Sebagian besar konflik itu mengundang campur tangan asing yang menagguk di air keruh. Pada abad ke-21 pangeran facebook menantang Pangeran Gusti Mat Jaim. Inilah kisahya.
Pangeran, Status September 2010:
“Aku bisa melihat apa yang tak bisa kalian lihat”
“Apa yang pian lihat, Pangeran,” kata Gusti Pusank yang dua hari silam mengganti foto profilnya dengan tempat sampah organik. Tepat di bawahnya sekotak akun yang mengaku sebagai Gusti Mat Jaim berkomentar agak panjang, “Jangan ngaku-ngaku keturunan sultan kalau tak ingin dilaknat. Belajarlah memakmurkan rakyatmu dulu kalau ingin benar-benar jadi Gusti. Kamu gusti yang mana?”
Kalimat terakhir ditulis dengan huruf kapital. Pangeran facebook tersenyum membaca komentarnya. Saat akan membalas komentar, Gusti Mat Jaim mengganti foto profilnya dengan gambar sultan abad ke-18. Dia kelupaan karena tertarik memeriksa kabar terbaru dalam jaringannya.
Seseorang berakun Gt. Man minta ditambahkan sebagai kawan. Setelah permintaannya disetujui dia nyeletuk, “Kita harus berempati pada rasa imperior pangeran. Malu kan kalau beliau diundang ke forum kekerabatan keraton nusantara, tapi sidin sendiri tak punya keraton. Hahaha….”
“O… Itu rupanya arti dari tujuan pembangunan keraton imitasi yang dikampanyekan dengan dalih untuk mengayomi kebudayaan Banjar?” ujar akun bernama Gusti Mat Jahil tanpa foto profil. Dalam infonya dia mengaku keturunan pangeran dari garis Temenggung Surapati.
Gt. Man telah mengganti foto profilnya dari celana dalam ke baliho bergambar pangeran. Gusti Mat Jahil pun mengganti foto profilnya jadi gambar cover CD Radja.
“Bukankah dia pemegang surat wasit dan sebilah keris keraton Banjar? Dialah pewaris tahta yang sebenarnya!” kata Gusti Pusank.
Langsung Gusti Mat Jaim menyambar komentar itu, “Aku tetap sanksi sebelum semuanya ditakar dalam sidang ilmiah sejarah yang jujur. Kalau cuma bisa bikin pernyataan resmi yang berdasarkan ujar-ujar saja, kita sudah tahu kemana arah dan tujuannya… bukan untuk melestarikan peradaban, tapi untuk mewujudkan hasrat untuk berkuasa. Ia sudah lupa kalau tahtanya saat ini adalah dari rakyat melalui proses yang setengah demokratis karena setengahnya harus disogok. Tahtanya sekarang bukan jatuh begitu saja dari garis keturunannya, kenapa tiba-tiba handak membangun keraton imitasi dari uang rakyat? Ingat pangeran, azab tuhan sangat pedih kalau pian handak menyelewengkan amanah rakyat, amanah tuhan!”
“@ Gt. Pus: pewaris tahta keraton nang sabujurnya tuh aku sank ai. Kunci gaibnya ada lawan aku. Keraton imitasi itu lucu-lucuan kalau dibangun. Keraton itu kada kawa dihancurkan Walanda. Ia ada di alam gaib. Mun kena ada imitasinya, mereka nang di alam gaib tuh bisa hamuk. Liati ja kena. Meong, meong….” ujar Gusti Mat Jahil.
?Hei Mat Jaim, dimana gerang ada sejarah nang bujur-bujur jujur? Pada umumnya tuh yang namanya sejarah hasil imajinasi dan tafsir sejarawan atas fakta-fakta karena fakta sendiri kada kawa bepander. Nang penting ada maknanya tuh. Nah, selanjutnya pasti ikam akan bahuwal soal ?makna itu apa? Makna menurut siapa? Iya am. Guringan….? ujar Pusank.
Gt. Man langsung nimbrung, “Ya, kenapa kok tak satu pun bubuhan gusti nih ada yang menekuni ilmu sejarah yang bisa mengungkap kabut sejarah kita, sehingga jelas mana keturunan pangeran yang sebenarnya, dan mana yang sekadar pangeran-pangeranan?”
Gt, M Jahil berkata, “Gusti CD, di zaman sekarang cukup pakai jasa konsultan. Urusan kita bukan itu. Urusan kita cuma ngurusin tahta. Kecuali aku hehehe….Tapi ikam harus ngerti bahwa ini bagian fiksi berikutnya dari sejarah Banjar. Bukankah sejarah juga bisa disusun berdasarkan mitos-mitos dan mitos-mitos itu kan ujar-ujar. Makanya, kalau nonton Mamanda ya seperti nonton ulah sultan dan pangeran-pangeran.”
Gusti Mat Jaim, Status Oktober 2010:
“Klaim keaslian telah membuatmu latah, ingin membangun simbol keaslian sampai begitu rupa, kecuali kau bangun dengan uang pribadimu, silahkan saja bikin kratonmu!”
Yang disasar statusnya tak langsung merespons. Ada akun baru bernama Gt. Radial yang menyukai jejaring radikal langsung berkomentar, “Kebudayaan adalah istilah yang menyesatkan. Kebudayaan siapa yang akan diayomi? Ayo buang jauh-jauh istilah itu. Kita tahu meski kita sesama Banjar kita tak punya norma sosial yang benar-benar sama. Apa yang kalian maksud dengan budaya Banjar? Perda perlindungan budayanya haja kadada, apa dasar hukum maulah keraton-keratona tuh? Awas mun pakai duit rakyat, bisa kualat! Budaya keraton jelas beda dengan budaya di luarnya. Ah, ada-ada saja. Pian-pian yang seharusnya menaikkan harga diri. Tapi boleh juga dari pada bertameng demokrasi tapi sebenarnya bermental aristokrat. Boleh, boleh hehehe…”
Gusti Pusank nyelonong, “Wahai para gusti bersatulah. Kita dikalahkan dengan mudah oleh Walanda karena kita mudah diadu.”
Gt. Radial berkomentar, “Saya tak tertarik bersatu di bawah kepemimpinan pangeran palsu yang suka main culas untuk meraih tahta. Kalian akan dilupakannya begitu tahta itu dalam genggamannya.
Pangeran Facebook panas juga rupanya, tak bisa lagi berkata-kata dengan arif dan bijakasana sebagai pewaris tahta masa silam:
?@ Rad: Hei tukang ban bahapal. Badiam ja kalau kada paham urusannya. Jangan maabuti padapuran urang! Kena aku usir ikam ke negaramu di Jawa sana!
?@ Pusank: Ya, inilah persoalan kita: susah mendengar orang senang dan senang mendengar orang susah. Memang sedih juga menyandang gelar pangeran hanya berbekal surat wasiat. Tapi kukira lebih lucu lagi kalau gelar ini kusandang sebagai pemberian dari kalian para gusti dunia maya yang nggak jelas.?
Gusti Mat Jaim langsung bicara tepat di bawahnya, ?Pangeran yang mulia, maya dan nyata itu sangat tipis batasnya. Pangeran dan bukan pangeran juga sangat tipis batasnya. Seperti terhormat dan terhina sekarang kabur batasnya. Pangeran yang mulia, lebih luhur mana antara copet dan koruptor? Kita tahu bahwa kebudayaan tampak memperlakukan salah satunya lebih mulia dari yang lain. Pikirkan matang-matang ambisi pangeran sebelum segalanya terlambat.?
Pangeran, Status November 2010
“Inilah rancangan keraton kesultanan Banjar 2012.”
Gusti Mat Jaim menahan diri. Dia menghapus foto profilnya. Begitu pula dengan Gt. Man, Gt. Radial, dan Gusti Pusank. Semua beramai-ramai menghapus foto profil mereka. Kecuali Gusti Mat Jahil menjelang Oktober, mengomentari foto itu. ”
“Selamat ya Pangeran. Tapi tolong jangan dibangun dengan uang rakyat ya. Uang rakyat akan lebih bermakna untuk mengayomi budaya berobat murah, budaya pendidikan bermutu, budaya sungai dengan air sungai yang bersih dan sehat, budaya amanah, budaya adil dan beradab, budaya mendukung pemuda agar berdaya saing. Semoga Pangeran kian bijaksana.”
Cuma komentar itu yang tersisa. Pangeran mencoba menengok akun para kerabat gaibnya yang beberapa bulan ini secara sukarela berbagi gagasan. Mereka tak ditemukan dalam kotak pencarian. Pangeran merasa sendirian dan ditinggalkan. Perasaan itu tak menyurutkan tekadnya.
Karena ambisi politik yang tak bisa dikendalikan, pangeran tetap membangun impiannya dengan uang rakyat. Sejumlah LSM peduli antikorupsi melaporkannya ke KPK.
Gusti Mat Jaim menulis opininya di koran lokal tentang penangkapan pangeran. Di akhir tulisannya ia berkata: setiap kita pasti punya kenangan dan setiap kenangan harus tinggal bersama masanya. Ia indah dalam relung imajinasi kita. Ia tak sepenuhnya bisa dibangun kembali dengan kata atau bata. Ia abadi dalam wujudnya yang gaib. Ia untuk masa lalunya dan kita bergerak untuk masa kita yang berbeda.
Pada 2014, saat yang dinantikan pangeran tiba. Di tahanan badannya menggigil, kasusnya tak tuntas-tuntas karena melibatkan banyak pihak ketiga yang menyulitkan penuntasan delik-delik hukumnya. Ia ditahan oleh ketakpastian hukum yang dirancangnya sendiri. Apalagi ia berada di zaman hukum sebagai pecundang. Ambisinya kandas. Pikirannya berkecamuk.
Para koleganya tak satu pun peduli, karena hubungan yang mereka lakukan berbasis fulus. Keraton yang dibangunnya mangkrak, tinggal pilar-pilar dingin menjulang yang akan dilelang oleh Pemda kepada pihak yang berminat. Saat dilelang, ia dikalahkan oleh hotel Kencono Wungu. Tonggak-tonggak keraton itu tak laku-laku, dikepung ilalang dan lumut.
“Bagaimana perkembangannya, Pak?” tanya seseorang yang mengaku kerabatnya pada seorang sipir saat mengunjunginya di sel khusus Tipikor.
“Beginilah, sudah lumayan daripada kemarin. Dia selalu asyik memerankan Republik Mamanda sendirian di selnya. Meneriakkan kata-kata yang mengganggu penghuni sel lain. Tampaknya dia tak cocok lagi di sini. Dia secepatnya harus dipindahkan ke Sambang Lihum.”
?Apa yang diteriakkan, Pak??
?Akulah Pangeran! Akulah Pangeran!?
Bjm. 13.09.2010
Catatan: Paragraf pertama sebagian besar mengutip buku Helius Sjamsudin