Sides Sudyarto DS
infoanda.com/Republika
Novelis Pramudya Ananta Toer telah berlalu, meninggalkan kita untuk selamanya. Pram adalah satu-satunya pengarang kita yang pernah mendapatkan kesempatan menduduki nominasi untuk hadiah Nobel sastra. Konon panitia Nobel tidak punya tradisi memberikan penghargaan paling bergengsi itu kepada pengarang yang sudah meninggal dunia. Maka demikianlah, pupus sudah kemungkinan akan turunnya hadiah Nobel buat sastrawan Indonesia. Entah kapan lagi ada nominasi Nobel buat sastrawan kita. Sayangnya, setelah Pram berlalu, nominasi (saja pun) tampaknya tak akan terjadi lagi.
Mungkin inilah saatnya untuk kita bertanya-tanya, mengapa Pram hanya sampai pada tingkat nominasi dan tanpa ada kelanjutannya. Ada gunjingan, kegagalan Pram menerima Nobel karena dia itu kiri. Ini jelas omongan yang tidak perlu didengar. Masalahnya sudah banyak penulis kiri yang meraih Nobel, juga banyak sastrawan kanan yang menerima penghargaan Nobel.
Ada juga orang yang bilang dengan nada keluhan, kegagalan Pram mendapatkan Nobel, akibat tidak ada dukungan bagi dirinya. Maksudnya, tidak pernah ada kampanye yang berarti, agar sastrawan itu berhasil menggamit Nobel. Ini juga cetusan yang kurang bermutu. Belum pernah terjadi, Nobel diberikan atas tekanan propaganda.
Dari berbagai negara, banyak karya sastra yang ramai dibincang dan ditulis orang, walau tanpa itikad kampanye barang sedikit pun. Tetapi, ramainya karya pengarang tertentu dijadikan pembicaraan, juga bukan jaminan ia bakal meraih Nobel. Sebaliknya, kita tahu, ada pengarang dan karangannya yang sepi-sepi saja, tahu-tahu diumumkan sebagai pemenang Nobel. Kita tidak perlu kaget, bahwa penghargaan Nobel bisa saja diserahkan kepada orang yang pribadi dan karyanya tidak banyak kita kenal.
Maka mungkin sebaiknya kita berprasangka positif saja. Pertama, bahwa Panitia Nobel mempunyai ukuran tersendiri dalam menilai karya sastra yang bakal dihadiahi Nobel. Kedua, bahwa Panitia Nobel itu tidak bisa dipengaruhi oleh pihak luar dengan dengan atau tidak dengan kampanye. Ketiga, bahwa panitia Nobel itu tidak mempersoalkan kiri atau kanan. Kita catat, penulis Gulag Archipelago, tentu super kanan, sebab dia orang yang sangat melawan rezim sosialis Uni Soviet saat itu. Toh, ia menerima hadiah Nobel. Atau justru karena itu ia menerima Nobel? Di lain pihak Jean Paul Sartre itu kiri, toh ia mendapatkan Nobel, walau ia menolak untuk menerimanya.
Maka jika kita lacak melalui penciuman, sastrawan yang mendapatkan hadiah Nobel adalah mereka, para penulis yang mempunyai nilai plus dua. Plus satu, yang bersangkutan memiliki intensitas, termasuk militansi dalam membela nasib dan nilai-nilai kemanusiaan. Itu tampak misalnya pada Gao Xinjian, penulis Soul Montain (Gunung Jiwa), misalnya. Plus kedua, sang pujangga yang memiliki pemburuan dan pencapaian kreativitas yang luar biasa. Misalnya, Gabriel Garcia Marquez.
Kita pun sebenarnya bisa juga bergunjing, misalnya, tentang Milan Kundera dan Salman Rushdie. Ada orang bilang, bahwa Milan Kundera sudah menang sebelum memangkan hadiah Nobel. Tetapi ia tak kunjung menerima Nobel. Mungkinkah karena Milan Kundera senang sekali pada adegan porno sehingga mengurangi kadar sublimitas dan literernya? Ataukah pornografi itu melawan martabat kemanusiaan?
Di lain pihak Salman mempunyai daya kreativitas yang luar biasa sebagai seorang penulis. Perjuangan dan produktivitas Salman sebagai pengarang cukup luar biasa. Tetapi mengapa ia belum atau tidak meraih Nobel? Mungkinkah sikapnya yang menghina golongan agama tertentu melalui bukunya (Ayat Ayat Setan) menjadi sebabnya? Saya pikir demikian adanya. Jumlah umat Islam di dunia ini tidak sedikit. Padahal, menurut penganut filosofi humanistis, satu jiwa pun manusia tidak boleh diabaikan. Melukai perasan manusia yang begitu banyak, jelas berlawanan dengan spirit perdamaian Nobel.
Kembalilah kita pada masalah Pram. Dialah satu-satunya sastrawan kita yang sempat dinominasikan untuk Nobel. Pujangga lainnya? Belum kedengaran. Maklum pengarang Indonesia memang (hanya) menulis dalam bahasa Indonesia. Untuk terbaca oleh orang luar, juga Panitia Nobel, diperlukan penerjemah. Dan penerjemah ini juga satu masalah tersendiri. Terjemahan bisa mengangkat, bisa mencelakakan.
Jika demikian apakah bukan sudah saatnya buat penulis kita, sekarang dan selanjutnya, langsung menulis dalam bahasa asing seperti Inggris, Prancis, Spanol dan lainnya lagi? Seyogyanya. Mungkinkah zaman seperti itu masih akan lama menjelma? Mungkin demikian, sebab umumnya pengarang kita menjadikan sastra hanya sebagai kesibukan kedua atau ketiga, setelah profesinya yang sesungguhnya.
***