Miftah Fadhli
http://www.hariansumutpos.com/
Lihatlah Sukanti. Wajahnya keriput. Kematian telah luput menjamahinya. Di hari yang basah?dan selalu basah?ini, ia termenung di tepi kolam buatan Sugandi. Dulu, ketika masa muda masih mereka reguk, mereka kerap bermain cinta di sini. Melihat ikan-ikan koi yang hilir mudik menampakkan punggung mereka yang berwarna-warni. Sukanti dan Sugandi bisa saling bermain puisi sambil mengecipakkan air ke wajah masing-masing. Sungguh romantis!
Sekarang, perhatikanlah ia. Tidak ada Sugandi. Tidak ada ikan-ikan koi lagi di dalam kolam. Airnya telah kering. Dinding-dinding kolam dipenuhi lelumutan yang lebat. Bau basah bekas hujan membaur bersama bebarisan semut yang keluar dari retakan. Sukanti menatap kosong. Berharap dari retakan tersebut memancur air, dan ia bisa mengulang masa indahnya bersama Sugandi lagi.
Di rumahnya hanya ada Durtini yang menemani. Ia sudah berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri kepada keluarga Sukanti. Merawat Sukanti sejak lahir hingga dewasa. Bahkan Durtinilah yang konon mempertemukan Sukanti dengan Sugandi hingga akhirnya mereka bisa hidup dalam kebahagiaan selamanya. Kebahagiaan yang kadang semu, kadang absurd.
Telah berpuluh bulan dilewati Sukanti tanpa Sugandi. Wajahnya bertambah rapuh. Bibirnya berkerut. Ada semacam bilur kesedihan yang tak mau lepas, menetap di situ. Gincu berwarna merah muda pun tak mampu mengembalikan cita rasa mudanya.
Sukanti sudah terlanjur tua. Bahkan terlalu tua untuk hidup menyendiri. Bahkan sebenarnya sudah terlalu tua untuk bersikeras menjaga keperawanannya. Sampai akhir hayatnyapun, ia masih bersikeras menjaga keperawanannya. Demi Sugandi, katanya.
***
Durtini tak kuasa menahan tangis di antara kerumunan orang yang mengarak jenazah Sukanti menuju krematorium. Jalannya tertatih-tatih. Udara panas senantiasa membuatnya cepat lelah dan berpeluh keringat. Anak-anaknya membopongnya. Ia bersikeras ikut menemani Sukanti sampai ke kediaman terakhirnya.
Arak-arakan replika hewan menambah riuh acara kremasi. Durtini mencoba menembus kerumunan manusia berbaju putih-putih. Tak satupun dari kerumunan manusia itu terdapat sanak famili Sukanti atau Sugandi. Hanya beberapa anggota keluarga Durtini yang sedianya ikut mengangkut arak-arakan jenazah Sukanti.
Dari celetukan beberapa orang di belakangnya, Durtini sadar bahwa kehidupan cinta majikannya itu begitu memilukan. Pantas setelah kematian Sugandi ia selalu melamun sendiri di dekat kolam masa lalu itu. Sukanti kerap mengigau memanggil-manggil nama Sugandi dalam tidurnya. Entah apa yang ia impikan hingga bayang Sugandi pun tak bisa lepas dari tidurnya.
Di krematorium sudah didirikan kayu-kayu sebagai ranjang terakhir Sukanti. Kayu-kayu ditumpuk saling silang membentuk balok setinggi tiga meter. Replika hewan diletakkan berdampingan di atas tumpukan kayu yang lebih rendah. Sukanti terbaring bisu di atasnya. Wajahnya ditutupi kain berwarna putih.
Durtini memakaikan Sukanti baju pengantin miliknya ketika pernikahannya dengan Sugandi digelar beberapa tahun lalu. Baju kebaya putih-putih itu terlihat begitu pas di tubuh Sukanti yang kecil. Di beberapa bagian memang terkesan sesak tapi Sukanti masih terlihat cantik. Lekuk tubuhnya masih terlihat sempurna seperti ketika ia masih muda dulu. Hanya wajahnya yang kelihatan berbeda dengan keriput lebat menandakan ketuaan yang sangat pahit.
Sebelum acara kremasi dimulai Durtini diminta memberikan kalimat terakhir yang ditujukan pada jenazah Sukanti. Ia maju beberapa langkah sambil menyeka airmatanya dengan saputangan. Dengan didampingi kedua anaknya ia naik ke atas mimbar dan mulai bercerita.
Pertemuan Sukanti dengan Sugandi berawal dari kesengajaan Durtini yang pada waktu itu mengabdi untuk kakek-nenek Sukanti. Kedua orangtuanya telah meninggal akibat kecelakaan kapal ketika Sukanti berumur dua tahun.
Kakeknya sendiri adalah seorang tokoh masyarakat, sekaligus pemilik lahan tebu di desanya. Ibunya adalah pengrajin batik yang kliennya berasal dari kalangan pejabat. Otomatis, kehidupan Sukanti adalah kehidupan yang diidam-idamkan oleh semua perempuan.
Tapi Sukanti tak merasa demikian. Ia merasa dibelenggu oleh tembok-tembok maha tinggi. Setiap hari ia harus diantar-jemput oleh supir jika akan bepergian kemanapun. Tak sedetikpun kakek-neneknya membiarkan Sukanti berjalan sendirian. Bahkan untuk urusan pertemanan, mereka gemar memberikan sekat-sekat tak lazim yang harus dipatuhi Sukanti.
Kejengahan muncul ketika Sukanti beranjak dewasa. Kedewasaan membuatnya sadar bahwa aturan-aturan yang diciptakan kakek-neneknya adalah tak wajar. Ia mesti memberontak demi membinasakan sekat-sekat aturan tersebut.
Dan itu ia wujudkan dengan menerima ajakan Durtini bertemu dengan Sugandi yang pada waktu itu bekerja sebagai kuli di pabrik gula warisan buyutnya. Durtini secara diam-diam mengantarkan Sukanti bertemu dengan Sugandi. Begitu seterusnya hingga tumbuh perasaan berbeda dalam diri keduanya.
Sukanti dan Sugandi akhirnya mengerti bahwa sekat-sekat yang memisahkan mereka tak mampu membendung perasaan cinta yang mengalir deras di kedua hati masing-masing. Kini mereka bertekad untuk meruntuhkan sekat-sekat itu dan membina rumah tangga yang serius. Sukanti dan Sugandi menikah diam-diam.
Mulai dari jadwal acara hingga undangan, Durtini yang mengatur. Semua itu ia lakukan tanpa sepengetahuan kakek-nenek Sukanti.
?Nona yakin mau melakukan ini? Ini bukan hanya urusan cinta. Ini menyangkut keberadaan Nona di mata keluarga nantinya.? Ujar Durtini.
?Saya yakin, Bi. Biar kakek atau nenek berkata apa, aku hanya ingin membebaskan diriku dari penyiksaan yang selama ini meresahkan.? Jawab Sukanti mantap.
Sehari sebelum pernikahan Durtini telah menyiapkan pakaian pengantin untuk Sukanti. Sebuah kebaya putih-putih dengan motif bunga mawar terpajang di permukaannya. Dilekatkan manik-manik yang berkerlipan di sekujur kebaya menambah keindahan. Sukanti berbahagia. Bahkan ia sempat mencobanya berkali-kali di depan cermin.
Malam sebelum pernikahan dilangsungkan, ada sekelompok orang menyantroni rumah Sugandi. Orangtua Sugandi tewas dengan luka tebas di dada sementara Sugandi hilang tanpa jejak. Sukanti dan Durtini tak mengetahui hal ini. Barulah Sukanti sadar ada keanehan ketika keesokan harinya Sugandi yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Raut cemas terpasang di wajah Sukanti yang putih langsat itu.
?Non, Non, gawat. Sugandi?..? Durtini datang dengan wajah cemas sekaligus takut.
***
Durtini turun dari mimbar. Ia mengambil dupa yang mengepulkan asap wangi ke atas. Membumbung menghiasi isak tangisnya menuju pembaringan. Diletakkannya dupa itu di antara tangan Sukanti yang berdekap di perutnya. Langsing perutnya menambah kegetiran, menambah kesedihan.
Hari ini Sukanti kembali menjadi pengantin. Meski sudah berbeda dari yang dulu tapi ia masih Sukanti yang mencintai Sugandi. Ia masih pengantin yang berharap pelukan dan ciuman Sugandi, yang dulu tak sempat singgah untuk pertama kalinya. Sukanti tetap perawan yang mencintai kesedihan dan keganjilan aturan-aturan tak wajar. Meski ia kerap ingin lepas dari semua itu, ia tetap Sukanti cucu seorang pengusaha kaya raya yang skeptis terhadap orang-orang di bawahnya.
Api membumbung tinggi. Gemeretak tubuh Sukanti yang terbakar seperti mengiris. Durtini dengan mata basah menyaksikan pembaringan itu terbakar. Orang-orang mulai senyap. Bau kayu terbakar dan tubuh yang retak membuat Durtini tak kuasa berlari ke arah kobaran api. Dikeluarkannya secarik kertas sambil berteriak lirih, ?Non, maafkan saya?. Maafkan saya karena Sugandi tewas karena kesalahan saya? Maafkan saya!?
Bagaimanapun juga Sukanti telah pergi dengan tubuh perawan dan dupa berisi surat ancaman dari kakeknya. Surat ancaman yang dulu ditujukan kepada Durtini. ***