Julizar Kasiri, Ivan Haris, Leila S. Chudori
majalah.tempointeraktif.com
SEBUAH upaya memuliakan Quran terhenti di tengah jalan. H.B. Jassin, penulis terjemahan Quran berjudul Quran Bacaan Mulia, ingin menerbitkan Quran yang ditulis mirip susunan puisi. Ia pun sudah mempersiapkan judulnya, Al Quran Berwajah Puisi. Tapi baru 10 juz dikerjakan, muncul imbauan supaya kreasi itu tak dilanjutkan. Itu, ”mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya,” menurut ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, lembaga yang berwenang mengesahkan penerbitan Quran.
Di buku itu Jassin menyusun ayat-ayat Quran ke bawah secara simetris. Ini dikemukakan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali di depan anggota DPR, Kamis dua pekan lalu. Sebelumnya, pada pertengahan Desember tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan keberatannya.
Dalam suratnya antara lain disebutkan, naskah H.B. Jassin itu tak sesuai dengan mushaf Al Imam, mushaf (tulisan naskah Quran) yang menjadi standar di dunia Islam, termasuk Indonesia. Juga, susunan kalimat ayat yang dikerjakan oleh H.B. Jassin tak mengindahkan ketentuan qiroatnya, antara lain soal pemenggalan kalimat. Tapi ada pula yang mempersoalkan tulisan Jassin itu dari sisi lain.
Doktor Quraish Shihab, ahli tafsir di Indonesia, misalnya mempersoalkan cara Jassin menuliskan Quran ayat per ayat. Itu, kata Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bisa memberikan pengertian yang sesat. Sebab ada ayat-ayat yang belum sempurna jika tidak dikaitkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya.
Misalnya, Surat Al Maa’uun, Ayat 4: ”Celakalah orang-orang yang salat.” Kalau ayat itu dibaca tanpa membaca ayat berikutnya, Ayat 5, ”(yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,” bisa menyesatkan mereka yang baru belajar membaca Quran. Dan terakhir, Quraish Shihab keberatan pada judul yang diberikan Jassin pada bukunya itu. ”Quran bukanlah puisi, tapi firman Allah,” kata Quraish tentang judul Al Quran Berwajah Puisi.
Juga ada pertanyaan, bukankah ayat-ayat Quran itu sudah sangat puitis, untuk apa pula dituliskan lagi dalam bentuk mirip puisi. Tentu saja Jassin kecewa. Soalnya, jauh sebelum ada larangan itu Jassin sudah pernah menghubungi orang-orang seperti Hafizh Dasuki, Munawir Sjadzali, dan Hassan Basri.
Umumnya mereka itu, Hafizh Dasuki, misalnya, Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, mengatakan bagus dan senang melihat kreasi Jassin itu. Hafizh pun, menurut Jassin, tak menemukan larangan tentang penulisan seperti yang direncanakannya itu. Menteri Agama Munawir Sjadzali juga tak keberatan. Begitu pula Ketua Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri. Karena itu H.B. Jassin lalu melayangkan surat kepada Hafizh Dasuki, Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, dan K.H. Hasan Basri, ketua Majelis Ulama Indonesia.
Jassin mempertanyakan keberatan kedua lembaga tersebut. Misalnya, tentang apa saja mudarat dan manfaat kreasinya, tentang Quran yang beredar sekarang yang seragam dengan mushaf Al Imam yang asli. Juga tentang ketentuan-ketentuan mengenai qiraat yang paling asli. Semua itu memang tak dijelaskan dalam surat MUI dan Lajnah Pentashih itu.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Jassin dalam kreasinya? Coba lihat Surat Al Baqarah Ayat 169-173 sebagai salah satu contoh. Di situ, misalnya, ayat-ayat disusun oleh Jassin simetris ke bawah sebagai upaya memuisikan ayat itu. Sehingga terdapat banyak ruang kosong pada halaman mushaf. Nomor ayat tak diletakkan di sebelah kanan sebagaimana lazimnya, tapi diletakkan di sebelah kiri. Si pembaca disuruh membuka buku ini bila sudah menjadi buku mulai dari kanan ke kiri, bukan dari kiri ke kanan sebagaimana lazimnya Quran selama ini.
Dalam hal ini Jassin tampaknya tidak mengada-ada. Maksudnya, ia mempunyai perhitungan sendiri terhadap apa yang dilakukannya itu. Misalnya, tentang pilihan simetris yang dilakukannya, sehingga menimbulkan bagian-bagian kosong pada kiri-kanan penulisan. ”Bagian kosong itu adalah tempat bernapas,” kata Jassin, yang juga pernah menghebohkan dengan terjemahan Qurannya yang berjudul Quran Bacaan Mulia. Bila ditulis lurus begitu saja, kata Jassin, tidak puitis. Juga terhadap keberatan Quraish Shihab, tentang pemotongan ayat yang bisa menyesatkan itu, Jassin menjawab.
Menurut Jassin, bila orang membaca Surat Al Maa’uun Ayat 4 itu, misalnya, ia pasti tahu bahwa kalimat itu belum selesai. Soal nomor ayat, menurut Jassin, dulu Quran tidak memakai nomor ayat. Pemberian nomor ayat itu baru terjadi belakangan dengan tujuan mempermudah pembacanya. Adapun soal menuliskan ayat Quran itu seperti puisi, yang juga dipermasalahkan, Jassin mengatakan tidak ada masalah.
Diakui oleh Jassin, Quran pada Surat Asy Syu’araa (para penyair) Ayat 224, 225, dan 226 menyebutkan bahwa Tuhan tidak suka pada penyair karena mereka pengembara. Tapi, kata Jassin, harus ingat ayat itu ada sambungannya, yakni ”kecuali orang-orang yang takwa.” Jassin, dalam langkahnya ini, mendapat dukungan antara lain dari Ali Audah, seorang sastrawan yang menyusun buku Konkordansi Qur’an, Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, dan D. Sirojuddin A.R., seorang penulis kaligrafi Quran yang menuliskan puitisasinya Jassin itu.
Bagi Ali Audah, misalnya, apa yang dilakukan Jassin itu tidak menjadi masalah, asalkan betul tanda baca dan teknik penulisannya. Di sini Ali Audah berpegang pada pendapat Ibnu Khaldun, seorang guru besar ilmu hadis dan hukum Islam pada abad ke-14 Masehi. Dalam buku Mukaddimah-nya, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa Quran dapat ditulis dengan rasam (kebiasaan) yang bagaimana saja, tidak harus terikat pada rasam Usmani, mushaf Al Imam. Alasannya, masalah penulisan itu masalah ”pertukangan”.
Menurut Ibnu Khaldun, yang juga seorang sejarahwan, kalau orang berpegang pada rasam Usmani, hanyalah karena mau mengambil berkahnya. Sedangkan para ulama yang berpegang pada rasam Usmani mendasarkan keyakinannya itu pada sebuah hadis Nabi. Yakni hadis yang bunyinya, ”Hendaknya kalian mengikuti sunahku dan Khulafaur Rasyidin sesudahku.”
Profesor Bustami Gani, Rektor Institut Ilmu Quran Jakarta, misalnya, beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa penulisan mushaf dengan rasam Usmani adalah tauqifi, artinya tidak bisa diubah dan harus diikuti apa adanya. Sementara itu untuk kutipan pada buku-buku Islam, pengarang besar abad ini tidak menghiraukan rasam Usmani. Itu terlihat oleh D. Sirojuddin, penulis khat buku Al Quran Berwajah Puisi itu, pada buku-buku karangan Mahmud Syaltut, Al-Aqqad, dan Sayyid Qutb.
Para ulama penulis kitab itu umumnya mengutip ayat-ayat Quran dengan meninggalkan kode Usman pada buku-buku mereka. Sirojuddin lalu mempertanyakan, kalau yang sebagian boleh dituliskan menyimpang dari rasam Usmani, mengapa untuk penulisan Quran yang utuh itu dipersoalkan.
Sesungguhnya, menurut Quraish Shihab, masalah penulisan Quran versi Jassin itu bukanlah masalah hukum. ”Tapi,” kata Quraish selanjutnya, ”itu berkaitan dengan etika dan nilai-nilai yang dianut para ulama selama ini, dengan mempertimbangkan kondisi umat Islam sendiri.”
Itu pula yang dikatakan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO, tentang ketidaksetujuannya bila kreasi Jassin tersebut diterbitkan. Kata Munawir, ”Saya hanya menjaga keresahan umat.”