I Made Prabaswara
balipost.co.id
DI MANAKAH ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban yang dominan ditentukan manusia dewasa usia? Pertanyaan begini dipastikan tiada seberapa mengusik kalangan politisi negara maupun daerah yang kini berasyik-masyuk riuh-rendah dengan suksesi gubernur hingga pemilu, lanjut mengincar-incar kursi puncak kepresidenan buat peneguhan kuasa. Tak perlu heran bila Hari Anak Nasional 23 Juli nanti bakal lewat sepi-sepi saja, kalah gaung dengung tinimbang perdebatan egosentris kader–nonkader balon pemimpin tanpa standar kriteria jelas, kecuali kepentingan pribadi dan kelompok.
Tarik-ulur kepentingan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, ribut-ribut protes para orangtua siswa baru terkait hasil penyaringan masuk sekolah, kegiatan orientasi di sekolah-sekolah bagi siswa baru –sebentar lagi menyusul mahasiswa baru di perguruan-perguruan tinggi berbiaya mahal– sama sekali tidak dipahami sebagai masalah mendasar, karena pendidikan anak-anak tidak kunjung dipahami sebagai penentu keunggulan peradaban masa depan negeri. Di negeri “bertradisi” suksesi kepemimpinan berdendam kesumat berdarah-darah ini, pendidikan anak-anak negeri yang seharus-harusnya diletakkan di hulu justru dihanyut-hanyutkan menjadi nomor ke-sekian di hilir. Maka, di manakah ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban masa depan negeri yang belum usai dirajam konflik demi konflik ini? Meskipun tiada mewariskan lembaga sekolahan formal berijasah, namun tradisi Bali lampau memberi gambaran, konsep, dan pemahaman amat benderang: betapa mutlak posisi anak-anak dalam penentuan peradaban dan alam semesta masa depan. Justru karena sebagai penentu masa depan itu, maka anak-anak mesti direbut diselamatkan nun jauh ke hulu: bukan cuma sebatas masa batita (bawah tiga tahun) balita (bawah lima tahun) prasekolah, melainkan jauh ke sebelum masa lahir, terutama untuk pengaliran genetika perwatakan nan kuat dan berkecerdasan. Dalam visi ini menjadi jelas terang: hanya generasi manusia berperwatakan kukuh dan berkecerdasan andal menjaga merawat kelangsungan tatanan hukum alam semesta.
Tugas membentuk watak kuat dan kecerdasan tangguh anak ber-putra sasana, karena itu, bukan semata tugas kewajiban hidup para orangtua, tapi lebih daripada itu adalah tugas kesemestaan. Itu berarti, dapat menyumbangkan anak ber-putra sasana menjadi kebahagiaan utama hidup para orangtua, karena dengan begitu sejatinya si orangtua telah turut menyerahkan “saham” kemuliaan bagi sang Hidup dan alam semestaraya ini. Sebaliknya, andai sang orangtua lalai membentuk anak ber-putra sasana, maka itulah kegagalan dan kesalahan terbesarnya terhadap sang Hidup sekaligus alam semestaraya, karena anak lemah watak dan tiada berkecerdasan ini sangat potensial akan berlaku destruktif bagi sang Hidup maupun alam semestaraya seisinya.
Pada simpul itulah renungan filsof Kuan Tsu menemu relevansi dan urgensinya manakala dia mengingatkan, “Bila Anda hanya memprihatinkan keadaan setahun ke depan, cukuplah Anda taburkan benih. Jika Anda memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamlah sebatang pohon. Namun jika Anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat.”
Seratus tahun ke depan itulah panjang usia yang senantiasa dimohonkan para maharsi agung berpencerahan berkesadaran menyemesta dalam tradisi Veda, yang di Bali dibahasakan sebagai momentum siklus seabad: Ekadasa Rudra. Ini momentum tepat dan berkewajiban untuk dilakukan penataan ulang tatanan sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hingga tradisi berkeagamaan oleh anak-anak generasi zaman masa depan. Anak-anak, karena itu, adalah energi peradaban masa depan yang mesti disiapkan dengan matang justru agar si anak zaman ini dapat mengendalikan perubahan dan menentukan peradaban masa depan dengan benar gemilang, bukan justru malah dikoyak-moyakkan perubahan liar tiada terkendali karena tidak berakar kukuh.
Untuk pematangan dan pengukuhan akar itulah maka anak-anak direbut sejak dalam kandungan, prenatal, bukan cuma prasekolah, dengan pengkalbuan sastra-gending sebagai representasi nada-nada semestaraya. Tahapan proses pematangan dan kematangan itu dimulai nun di hulu sejak pemilihan pasangan calon ayah-ibu, lalu hari-hari perintiman suami-istri, magedong-gedongan setelah janin berindera lengkap sempurna dalam guagarba sang ibu, penciptaan suasana lingkungan nan tenang, tiada riuh berisik. Lalu berlanjut sampai bayi lahir dengan tradisi dapetan penyambutan penuh syukur dengan rangkaian penanda momentum-momentum peralihan usia perkembangan syaraf-syaraf motorik (dari usia tanggal tali pusar, 42 hari abulan pitung dina, 105 hari telu bulan, 210 satu oton/satu semester, 630 hari telung oton/tiga semester), kognitif-afektif-psikis maupun ragawi (menek kelih, menek bajang).
Pada tahapan bayi hingga kanak-kanak usia 10 tahun itulah menjadi titik paling peka penempaan watak dan kecerdasan si anak zaman masa depan, sehingga pengkalbuan kepekaan rasa hati lewat gending rare menjadi penting —belakangan ilmiah medis Barat membuktikan urgensi dan relevansi efek musik Mozart pada pematangan watak dan kecerdasan anak. Dalan visi dan persepsi domestik Bali, gending di situ justru dipersamakan dengan sekar, bunga, dalam metafora maknawi kesegaran, keharuman, kemekaran, dan semacamnya, sebagaimana dapat disusuri dari persamaan istilah gending rare dengan sekar rare.
Dalam metafora sekar itu, rare (kanak-kanak) jadinya, adalah kemekaran harapan masa depan, seperti juga Kahlil Gibran memetaforakan sang anak layaknya anak panah yang melesat cemerlang ke masa depan, menjadi milik sang Hidup, bukan milikmu orangtua. Dalam konvensi keberaksaraan dan kebersastraan Bali lampau, sekar, puspa, bunga, menjadi simbolik kesegaran, keharuman, kesejatian, ketulusan, kemuliaan, bahkan juga kesuci-murnian sekaligus denyut tiada henti Sang Mahahidup Nan Tak Pernah Layu (puspa tan alum). Dalam imaji itulah rare diberikan pemahaman pemaknaan yang sublim, dari fisikal-ragawi sampai abstraksi kesemestaan, sebagaimana dimaksudkan kanda pat rare yang bertransformasi tiada henti dari fisik-ragawi catursanak berwadag air ketuban (yeh nyom), ari-ari, talenta, dan darah berlanjut ke bajang papah, bajang colong, bajang regek, dan bajang pusuh, hingga abstraksi-konsepsional energi meruang-mewaktu anta, preta, kala, dan dengen, dan seterusnya.
Proses pertumbuhan pematangan anak, karena itu, bukanlah tugas parsial, sebagian-sebagian, sepotong-sepotong, melainkan total-utuh sebagai holistic human building (HHB) ragawi-mental-psikis-rohani terus-menerus, dengan tetap mengapresiasi keunikan masing-masing anak. Dalam formula kakawin Nitisastra: balita hingga 10 tahun itu layaknya dewa-raja, sehingga patut dituruti maunya dengan sabar, telaten, mengikuti proses menjadikan mereka sesuai potensi uniknya. Ini adalah masa anak menikmati dunia bermain dengan sungguh-sungguh, pemekaran kreativitas, sehingga anak sepatutnya dibiarkan menjelajah alternatif ke ranah-ranah ruang baru, layaknya Marcopollo berlayar menemu daratan benua baru.
Usia 10 tahun, menjelang remaja, barulah anak mulai diajari aksara, dalam arti menimbang-nimbang pengertian baik-buruk, benar-salah, sehingga sang anak mesti dikendalikan dengan benar. Usia 16 tahun saatnya sang anak dijadikan sahabat karib, dididik dengan keteladanan, nayeng gita, karena saat itu sang anak sudah mulai bisa bersikap. Tahapan pola ajar dan pola asuh versi Nitisastra ini jelas mengedepankan keholistikan sekaligus keunikan sang anak lewat pertimbangan matang sisi organ ragawi, kognisi, afeksi, psikologi, kapasitas otak dan hati.
Tapi, ketika kini peran orangtua sebagai guru pertama kerap digantikan, dicuri, atau malah sengaja direlakan diserahkan dengan mudah pada media-media massal berkeseragaman, seperti televisi, selain guru-guru taman bermain, sekolah taman kanak-kanak, kerap dengan pengingkaran terhadap naluri alamiah bermain sang anak, pematangan itu tidak terelakkan justru dipercepat, tanpa pematangan holistik-utuh sang catursanak. Di Bali, itu menjadi kian gamang rapuh manakala proses yang semula bertahap dalam lingkup keluarga dari tanah natah umah, ke sosialisasi meluas natar dan wantilan pura serta kalangan bale banjar secara tiba-tiba dipotong tajam membabi-buta: tanah umah tanpa natah, natar dan wantilan pura kian sibuk dijadikan arena tajen, dan kalangan bale banjar yang berkeramik mengkilap pun disewakan sebagai tempat parkir kendaraan, pusat perdagangan, dan semacamnya, bukan buat penempaan pengakaran dan pemekaran kecerdasan budi anak. Padahal, media-media dan ruang-ruang sosialisasi dan pemekaran pencerdasan baru budi anak belum lagi diciptakan holistik-utuh.
Di mana ruang-ruang anak Bali baru berkesempatan mengalih generasi dalam peradaban masa depan, manakala siklus ngenteg linggih sebagai simbolik alih generasi saban 30 tahun itu pun tiada lagi beraturan? Peluang otonomi daerah yang memberi ruang seluas-luasnya bagi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah, apa mau dikata, kini baru “sukses” meriuhkan protes orangtua siswa anak sekolah, bukan menuai Marcopollo-Marcopollo yang berani menjelajah ke ranah-ranah ruang baru, seperti diteladankan putra-putri tradisi utama generasi Lempad, Tjokot, Gede Manik, Ketut Maria, Pan Wandres, Kyang Gliduh. Di tengah perseteruan internal Bali akut sejak abad ke-17 dan kian kuatnya arus penyeragaman Bali di segala sisi dan dimensi seabad terakhir, betapa penting arti ruang jelajah alternatif kreatif itu, sesungguhnya.
Ruang-ruang alternatif itulah sangat dipelitkan di Bali kini, dengan mantra melenakan “ajeg Bali”. Padahal, realitas senyata-nyatanya yang terjadi justru adalah ajeng Bali, karena kebanyakan orang tidak jejeg, mengabaikan anak-anak sebagai pemilik sah peradaban masa depan.
***