http://www.lampungpost.com/
Makhluk Ular
“Saat malam tengah purnama kerap kudengar desis, mendekat-menjauh, seperti ajakan ke surga. Di manakah kau bersarang?”
Hitam-putih yang senantiasa sejahtera di kebun kepala, yang memberimu buah-buah ranum, serta tafsir-tafsir lain dari kerimbunan metafor lelarik puisi adalah wujud lain dari sehimpun dosa dan pahala, yang jika kau cermati itulah wujudku. Bersarang di segumpal benda lunak, beranak-pinak, melahirkan generasi-generasi yang belajar menyusup ke benak khusuk para pendoa dan pendosa. Melingkar-lingkar di pagar kebun kepala, membangun sarang lain, mengeluarkan bisa umpama buih-buih mata air dari balik puisi, dan puisi adalah percakapan sehari-hari para dewa, kelakar kaum lelaki yang terusir dari kota, dari meriah warna.
Di tubuhku, mengalir air suci para dewa. Pesona dari hangat dan dingin yang amat kau kenal. Di malam yang kau kira purnama itu kujulurkan lidah, seperti membentangkan jalan di sebuah kota. Lalu kau bermimpi berjalan di situ dan mendengar desisku, mahluk ular. Bangunlah! Aku kini berada di kedua bening matamu. Akan kutunjukkan padamu sebuah telaga yang tertimpa cahaya purnama, riaknya seperti sisik-sisikku yang berganti-ganti warna. Dan kau akan melihatku sebagai wujudmu sendiri.
Desember 2008
Musim Panen
batang-batang padi bergoyangan:
bila salah satu merunduk
gemetarlah pula yang lainnya
2010
Lelaki kepada Kekasihnya
cintaku padamu:
rumah perak di tengah belantara
tamannya adalah kata-kata yang kuambil dari hatimu.
2010
Melankolia Perjumpaan
aku ingin mengenangmu
“kenanglah,
kau hanya mengingat
sunyi sebuah puisi.”
20 tahun dadaku kemarau
dan di malam itu
kau datang menawarkan hujan
hingga langit menjadi hijau
dan aku merasa lega
melewati padang arafah
(dialah daratan yang muncul
dari kristal-kristal matahari)
di malam itu pula
kusuguhkan seloki anggur
yang belum pernah sampai kepadamu
maka reguklah, kekasih!
rasakan gelora itu singgah ke dadamu
sehingga nostalgia yang tersimpan
menjadi guguran daun yang ingin
mengabarkan kesementaraan
aku akan senantiasa mengenangmu
seperti ingatan sepasang ramaja
akan senja yang tergesa
seperti decak kagum para pengelana
ketika menatap cakrawala
kau mungkin terjaga sepanjang malam
sambil sesekali bergetar dalam suka cita
istirahatlah!
jiwa yang terpukau dalam pesona
zikirkan masa depan yang gemilang
aku akan menjadi kebun
yang telah mencintai kedatanganmu
dengan ribuan cuaca dan beragam bunga
Oktober 2009
——
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Mendapat penghargaan sebagai lima terbaik cipta puisi Radar Bali Literary Award 2009. Buku puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010).