Agus Sulton
/1/
Saat ini adalah era globalisasi, hampir atau bahkan tidak ada batas-batas norma, Negara, maupun sosial budaya. Mereka biasa menyebutnya sebagai Negara dunia pertama atau sebagai polisi dunia yang berhak mengatur atas lalu lintas perubahan dunia. Itu adalah kelompak masyarakat penguasa, yang telah memuja-muja dan menari-nari di atas penderitaan rakyat mayoritas dengan berkedok dibalik topeng-topeng badut kapitalisme. Akibat yang terjadi adalah proses pengkondisian, pembungkaman kesadaran rakyat akan hak-hak yang harus diperolehnya sebagai manusia yang merdeka. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dengan munculnya berbagai media yang bisa dinikmati terhadap apa yang telah disiapkan dan disodorkannya, seolah-olah kita butuh, padahal tidak apa-pun sebenarnya tidak masalah.
Yang menjadi perhatian kita adalah, hal tersebut akan membawa dampak psikis maupun politis terhadap bagsa dan Negara dunia ketiga (Indonesia) yang notabennya sangat jauh berbeda dalam hal apapun dengan mereka. Akibatnya kita hanyalah menjadi sarang empuk yang mudah dirusak dan dihirup udara segar kita untuk menghidupi mereka. Anehnya, hal ini didukung oleh elit politik dalam menyediakan lahan-lahan untuk mereka, dengan mengorbankan seluruh rakyat yang berhak atas kebutuhan secara adil dan layak. Masyarakat kita yang menjadi apatis dan apolitis adalah keinginan juga atas pengkondisian penguasa, sehingga yang terjadi adalah proses penindasan yang bersistem ?kapitalisme-birokratik? oleh bangsa sendiri yang dijalankan oleh kapitalisme global.
Dengan segala usaha melalui dominasi ataupun hegomoninya, rezim yang berkuasa selalu berupaya untuk membelenggu tingkat kesadaran rakyat. Sehingga rakyat yang masih tertindas menjadi semakin lemah posisinya karena tidak mampu menerjemahkan hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pada akhirnya rakyat tidak memahami ketertindasan yang terjadi pada dirinya dan malah dapat berbalik mendukung proses penindasan yang sedang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang sebenarnya diharapkan oleh rezim penindas, membuat rakyat tetap bodoh dan terbelakang agar kekuasaannya tetap langgeng (status quo). Oleh karena itu, wajib ain bagi pemuda, mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi, baik melalui medium sastra atau dari rakyat awam langsung bergerak menyuntikkan dan menarik kesadaran rakyat pada fase yang lebih tinggi lagi, yaitu menuju kesadaan kritis.
Dimanapun tempatnya berada dan berbagai macam bentuk penindasan yang ada, maka disitulah tempat perlawanan dan perjuangan dimulai dan terus digelorakan. Perlawanan adalah satu-satunya kata yang wajib terlontar oleh kaum tertindas. Tapi melawan penindasan sendiri adalah hal yang paling konyol untuk menuju kematian. Maka, seluruh orang yang anti penindasan haruslah bersatu dalam kesatuan yang utuh. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa persatuan orang-orang dengan semangat juang yang tinggi pun tidak akan pernah mampu menggulingkan struktur penindasan yang sudah menggurita jika tidak di pimpin oleh organisasi perlawanan yang revolusioner. Dari sini dengan jelas kita melihat peranan yang signifikan dari organisasi gerakan sebagai alat perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kita cita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang tanpa adanya penindasan dan penghisapan antar sesamanya.
/2/
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham Marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, dan agama pada setiap zaman merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus menerus. Seperti disinggung pada pendahuluan tadi, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju ke pada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas dan tanpa penindasan. Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antar kelas.
Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daeran atau borjuis-proletar. Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi sastra.
Dalam militansi ini seorang pengarang yang telah menguasai realitas, yang tidak terpenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas itu, dan dengan jalan kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan itu. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terus-menerus jadi revolusioner yang bersumberkan revolusi yang terus menerus di dalam jiwa, pengoreksian terus menerus atas realitas.
Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuangan kelas untuk melawan kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada dan senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis, yang dikenal dengan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era orde baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah, menyebabkan merobohkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang ini (era reformasi) konglomerat selalu menjadi bahan pengunjingan.
Hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas mesti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan jarak perbedaan atau strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Misalnya saja, dalam karya sastra yang representatif alias tidak humanis adalah cerpen berjudul Soeharto Dalam Cerpen, terbitan Bentang 2001. Cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkapkan melalui fiksi.
Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, dijernihkan, di saring dan di kristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehidupan, misalnya penciptaan tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru.
Misalnya kita ambil juga novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen, disitu menceritakan seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli pada rakyatnya dan berjuang bersama dalam pergerakan. Ia adalah seorang pemuda yang amat cerdas, anak seorang lurah yang terkenal bijaksana dan taat beribadah. Kebijaksanaan lurah menurun keanaknya. Sebagai pegawai negeri pada pemerintah Kolonial, Kadiroen mendapat kenaikan pangkat yang relatif cepat, karena selama dia bekerja benar-benar demi untuk kesejahteraan rakyat. Selama dia bekerja banyak hal yang menjadi kekecewaan dirinya, atas kekecewaan itulah dia selanjutnya bergabung dengan tokoh-tokoh Partai Komunis dan tertarik pada ajaran dan cita-cita terhadap tanah Hindia. Dalam waktu yang lama ia akhirnya berpihak pada Partai Komunis, menjadi penyokong, baik dari segi moril maupun materiil. Bantuan itu dilakukan secara rahasia. Pekerjaan Kadiroen akhirnya diketahui oleh atasannya. Akhirnya dia memilih meletakkan jabatannya karena dia berkeyakinan, bahwa dengan kegiatan politiklah nantinya dapat memperjuangkan cita-cita, yaitu kebahagiaan rakyat.
Sedikit cuplikan tersebut merupakan gambaran tokoh utama yang menginginkan sebuah keadilan dan kesejahteraan atau sebagai kritikan isi hati si narator untuk mengungkapkan idealisme yang terjadi pada saat itu. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sastra mempunyai peran yang singnifikan dalam proses pencerahan atau ekspresi diri dalam memberikan wacana kritis terhadap pembaca. Yang nantinya akan mencetak masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis atas struktur penindasan yang sedang terjadi pada dirinya.
Labih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas.