Membaca Puisi dan Budaya Tradisi Lisan
Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id
“Puisi-puisi di Prancis saat ini juga kontemporer,” ujar Isabelle Pincon, penyair Prancis kepada SH di acara “Sebua Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”. Acara itu digelar di Galeri Cemara 6 Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11 Menteng, Selasa (9/3) malam.
Itulah yang diungkapkan oleh Pincon terhadap karya-karya penyair Prancis. Ia juga menuturkan tentang ledakan masa surealisme dalam karya sastrawan Prancis sejak tahun 1940-an.
Karya para penyair Indonesia yang dimunculkan malam itu juga tak jauh berbeda, kata Pincon. Dengan kata lain, dia merasakan juga varian puisi di Indonesia yang kompleks. Dia mengatakan bahwa sebelumnya dia tak pernah berinteraksi dengan puisi-puisi para penyair Indonesia, namun telah membaca dan mendengarkannya dalam forum pembacaan malam ini. Hasilnya? “Saya suka, misalnya saja, puisi karya Goenawan Mohamad saya lebih sukai,” ujar Isabelle.
Begitulah, karya-karya para penyair Prancis dan penyair Indonesia itu sama-sama mengalir. Dua-tiga sajak mereka dibukukan, lalu diurutkan dan dibacakan.
Para penyair Indonesia yang dihadirkan termasuk Gunawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toeti Heraty Noerhadi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Eka Budianta, Ayatrohaedi, Ajip Rosidi, Ayatro Haedi, Putu Oka Sukanta, dan Rieke Dyah Pitaloka telah duduk di muka penonton yang hadir di galeri itu. Mereka siap membacakan bersama para penyair Prancis yang dihadirkan juga di malam itu: Oscar Riou dan Christian Dumet.
Pincon menyebutkan ciri dan karakter puisi para penyair Indonesia juga modern, terlihat dari penekanan pada kebaharuan dan juga pemilihan agar bahasa-bahasa itu tak biasa sehingga menjadi tawaran segar saat diciptakan dalam bentuk puisi.
Malam itu, para penyair, selain membaca puisinya sendiri, juga membacakan karya-karya penyair yang lain, termasuk yang kini sudah almarhum tetapi tetap merupakan tonggak sejarah dari bentuk dan karakter puisi. Toeti membaca karya Soebagio Sastrowardoyo, Dorothea membacakan karya puisi Chairil, Sitor Situmorang membaca puisi Toto Sudarto Bachtiar. Atau untuk para penyair dari Prancis Isabelle Pincon, setelah membaca puisi sendiri juga membaca karya penyair Arthur Rimbaude dan Verlaine. Atau Roland Reutenauer, yang membacakan sajak Charles Baudelaire.
Pembacaan yang dilakukan lebih pada mengeja secara khidmat teks itu, menurut Pincon tak berbeda jauh dengan pembacaan puisi di Prancis. Di forum yang terjadi atas kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta ini, memang pembacaannya teramat variatif, termasuk vokal, inner dan ekspresinya itu.
Pincon berkomentar bahwa di dalam teks, karya penyair Indonesia sangat kuat. Sama halnya seperti ia membuat sebuah puisi. Pincon mengatakan saat mencipta teks ia sudah membayangkan bagaimana teknik ngomong dan berbicaranya saat puisi itu harus juga dibacakan.
Interaksi dan Intensitas
Hal itu juga dilontarkan Toeti Heraty dalam kata pengantar buku yang sekaligus berfungsi sebagai “semikatalog” acara pembacaan puisi itu: Oleh karena itu, peristiwa “Poesie Musim Semi 2003” yang diulang tahun 2004 menjadi penting. Selain workshop antarpenyair yang bukanlah hal ikhwal terjemahan sajak dan sajaknya didiskusikan, tetapi hal-hal yang lebih umum seperti publikasi karya poesie, penyebaran poesie dan kedudukan poesie di dalam masyarakat.
Selain itu, momen ini dikemas lewat pertunjukan dengan patokan katalog dwibahasa: Indonesia dan Prancis, hingga memudahkan para penonton yang berbeda latar bahasa memahami karya yang dibacakan.
Pendapat Pascal Riou bahwa di Prancis tak ada lagi tradisi sastra lisan. Sementara itu, Sitor Situmorang berpendapat penyair yang baik bukan hanya pembaca yang baik dan akrab dengan tradisi lisan, dengan upacara ritual dan syair hapalan karena di Indonesia tradisi sangat kaya dan beragam begitu pula dengan puisi.
Hal ini menjawab tentang pembacaan Pincon dan Reutenauer yang lebih pada pembacaan biasa dan berbeda dengan Dorothea yang membacakan puisi dengan nada yang terkadang ekspresif dan nada lagu yang terkadang kental, atau bahkan pembacaan puisi Rieke yang sempat disajikan dalam bentuk lagu.
Wajar saja, para penyair itu ada juga yang berinteraksi dengan dunia luar negara Indonesia, termasuk bahasa Prancis.
Ada juga penyair Indonesia yang memperlihatkan dialog dengan negara Prancis lewat tema karyanya. Hal itu terlihat dari salah satu pembaca karya yaitu Ayatrohaedi yang berjudul Di Katedral Saint Andre, Bordeaux: Di Katedral Saint Andre//seorang pendeta tua//dengan khidmat bersimpuh//di depan patung Maryam.// Berdoa…
Selain itu, Isabelle mengungkapkan bahwa momen ini punya dampak di sisi lain yang sangat positif, diharapkan momen pembacaan juga dapat berguna untuk membuka jalinan interaksi di antara penyair kedua negara tersebut.
Acara ini, tambah Toeti, memberikan pemahaman tentang kata ke kata atau dari makna ke makna, penghayatan di luar cakrawala sehari-hari. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai penyelaman dan mereguk intensitas penghayatan yang berbeda, intensif tetapi tanpa risiko, sebagai pengalaman yang luar biasa.
***