Seratus Puisi untuk Seratus Tahun Budi Utomo

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Tumpah darah nusa India/Dalam hatiku selalu mulia/
Dijunjung tinggi atas kepala/Semenjak diri lahir ke bumi/
Sampai bercerai badan dan nyawa/
Karena kita sedarah sebangsa Bertanah air di Indonesia

Inilah “Indonesia Tumpah Darahku” karya Muhammad Yamin (1903-1962) yang tergabung dalam Antologi Seratus Puisi Bangkitlah Raga Negeriku! Bangkitlah Jiwa Bangsaku! yang diluncurkan di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan (20/5).

Seratus puisi disusun oleh Ibnu Wahyudi, Chavchay Syaifullah, Liyus Oktarina, Sukemi dan Viddy AD Daery. Buku yang disiapkan dalam tempo dua minggu diterbitkan oleh Depkominfo dalam rangka menyambut 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini akan disebarkan secara cuma-cuma kepada masyarakat luas sebagai bahan refleksi atas perjalanan 100 Tahun Budi Utomo.

Dalam buku itu, ada karya Sutomo (1888-1938), Mas Marco Kartodikromo (1890-1932), Roestam Effendi (1903-1979), Sanoesi Pane (1905-1968), Sanoesi Pane (1908-1970), Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) hingga penyair yang masih aktif antara lain Taufik Ismail (1937), Eka Budianta (1956), Afrizal Malna (1957), Saut Situmorang (1966), Gola Gong (1963), Joko Pinurbo (1962), Arie MP Tamba (1961), Mustafa Ismail (1971), Akhmad Sekhu (1973), DC Aryadi (1976), dan Firman Venayaksa (1980).

“Puisi di dalam antologi, ada manis dan pahitnya, semoga puisi ini bisa jadi jamu atau obat yang senantiasa menyembuhkan dalam Momen Kebangkitan Bangsa ini,” ujar Viddy. Menurut Chavchay, penyusunan puisi ini diharapkan menjadi sebuah pintu inspirasi nasionalisme di bangsa ini. Dengan begitu, keseratus puisi ini bisa mengantar setiap pembaca dan mendorongnya untuk semangat bersama sebagai pelaku sejarah ke-Indonesia-an secara beradab.

“Bagaimanapun, membaca terus sejarah kebangsaan secara beradab, adil dan terbuka sama saja ikut membangun negeri ini secara jujur dan ikhlas,” papar Chavchay. Di tengah suguhan teh dan kopi, sajian penganan dan makanan tampillah penyair Ibnu PS Megananda, Amin Kamil, Ahmadun Yosi Herfanda, Herdi Sahrasad, Asrizal Nur dan Irmansyah. Ada juga sajian lagu dari Teater Kecebong, termasuk kemasan musik dari Marjinal, yang riuh dan sempat membuat penonton meriah dengan jingkraknya.

Ada penyair Sutardji Calzoum Bachri yang sengaja membaca tanpa energi, dengan harapan pembacaan “tak berenergi” ini, penyair dan penonton dapat lebih menerjemahkan bagaimana kata bermuka-muka dengan sejarah Indonesia dan bangsa ini.

Menurut Tardji, kesadaran sejarah perlu lebih dulu dipahami, baru sikap berbangsa kita. Membaca sejarah akan mengobarkan perasaan kebangkitan nasional bangsa kita. “Selain itu, terasa juga bahwa kebangkitan derita lebih banyak daripada kebangkitan pencapaian. Karena itu saya akan membaca tanpa power,” paparnya.

Chavchay juga membawakan orasi budayanya. Menurutnya, 100 tahun lalu, 20 Mei 1908, terbentuk Budi Utomo yang didirikan Soetomo, satu kebudayaan yang menginspirasi tatanan sosial dan politik yang melahirkan perlawanan intelektual untuk satu visi dan misi terhadap kolonialisme.

“Seberapa banyak kaum kecil menghancurkan kaum besar, dengan izin Allah. Belanda yang kecil menghancurkan kelompok besar, 1908 adalah refleksi sejarah atas kemenangan wacana kebudayaan oleh gerakan budaya lewat moralitas dan hati nurani. Sekarang kita serukan petinggi kita untuk atasi krisis, kuat iman dan pengetahuan, sebagai bangsa yang besar,” katanya, berapi-api.

Menkominfo M Nuh, selain membacakan orasi, juga memotong tumpeng di tengah warung santai berteman teh, kopi, suguhan penganan dan makanan itu.

“Wacana kebangsaan satu nusa dan satu bangsa yang abstrak belum real, baru pada tahun 1945 dideklarasikan dan diproklamasikan barulah dibentuk Indonesia, apa dasar dan bagaimana Undang-Undang Dasarnya. Yang kita rasakan sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangan, 100 tahun yang lalu dan 100 tahun ke depan, kekuatan kawan budayawan dan seniman adalah menuangkan gagasan dan ide itu tapi dapat mendorong segala kegiatan kebangsaan,” tuturnya.

M Nuh juga mengatakan bahwa dia pada malam itu ingin membaca seperti Sutardji di mana kekuatan bukan pada pembacaan dan ekspresi, tapi pada puisinya. Jadi, ujarnya, kalau bacanya kurang bagus anggaplah sebagai aliran yang berbeda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *