Judul : Rahasia Perkawinan Sang Bintang
Penulis : Aliansyah Jumbawuya
Penerbit : Tahura Media
Tahun Terbit : 2010
Peresensi : Randu Alamsyah
http://www.radarbanjarmasin.co.id/
Jika tingkat bacaan bisa ditangga-tanggakan, maka para pembaca biasanya mempunyai fase pertama dalam mengakrabi cerpen: cerpen ringan yang biasanya klise dengan alur yang juga mudah dicerna dan biasanya tokohnya selalu menang di akhir kisah.
Tapi begitu membaca kumpulan cerpen ini, maka sesuatu paradoks menyoraki saya. Saya rupanya tertipu dengan setiap kalimat di dalamnya. Diam-diam, saya memuji kelihaian penulisnya menyajikan cerpen yang sangat biasa-nyata dan ada, menjadi betul-betul cerita pendek yang menghibur dan menggugah sekaligus dengan ending-ending yang bahkan orang yang suka menebak akhir film seperti saya dikelabui dengan mulus.
Gaya bercerita Aliansyah sangat realis dan humanis. Nilai-nilai kemanusiaan ditanamkannya bukan pada norma, tapi pada term yang lebih tinggi. Saya curiga Aliansyah menyadari relatifitas nilai tak akan menjawab serbuan budaya artifisial baru yang melanda dunia modern. Ia menjawabnya dengan nilai yang lebih sejati: agama.
Tapi, lagi-lagi hebatnya ia nilai-nilai agama diungkapkan Aliansyah bukan dalam sesuatu yang tak terbantahkan. Ali masih mengajak tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpennya untuk menemui keniscayaan mereka sendiri lewat tikungan peristiwa-peristiwa yang memang gampang terjadi. Dari sana ia baru menyampaikan pesan, tapi bukan untuk pemenang kepada yang kalah, tetapi lebih dari kepada kehidupan yang memberi kepada kehidupan, lembut seperti mentari pagi yang diam-diam menyingkirkan malam.
Lihat saja ketika ia menghadirkan Irsyad, seorang pemuda alim nan misterius yang digandrungi di kampus. Aliansyah hanya butuh beberapa kalimat akhir untuk membuat tersipu-sipu siapapun yang membaca kisah ini. Penulis melakukan sindiran dengan gaya yang tak lazim tapi tetap menyentuh ke kesadaran. Ini awal yang bagus bagi para pemuja otak kanan.
Kejahilan Aliansyah tidak berhenti, di cerpen kedua Cerita Cinta Sinta, Ali juga masih menggunakan ending yang semi meledak. Hanya bedanya, ia menyorot kerumitan cinta ketika didindingi oleh koridor agama.
Judul cerpen ketiga adalah judul pertama buku ini. Jika dalam album musik, cerpen ketiga ini adalah hits andalan dalam album Ali.
Dan memang cerpen itu bercerita tentang lagu-lagu dari penyanyi yang sedang diminati dan ditandai karena kepopulerannya. Yang akhirnya terjebak oleh kekonyolannya sendiri. Tapi, keinsyafan adalah sesuatu yang sangat absurd jika ditempelkan pada durasi cerita yang pendek.
Dengan kesadaran inilah, Aliansyah melahirkan cerpen Si Kembar. Hingga akhir kisah, ia enggan berkompromi dengan ending-ending klise yang longgar.
Kisah kelima adalah Izinkan Aku Untuk Kembali. Di sini ia menghadirkan jalinan panjang nan rumit tentang cinta dan keyakinan. Ketika selesai membaca cerita ini saya merasakan sensasi yang sama ketika baru merampungkan novel-novel Almarhum Motinggo Busye. Kesadaran di bagian akhir terasa sangat indah.
Kesadaran yang bahkan tidak bisa dialami oleh Sandra dalam cerita berikutnya, Pulanglah Sandra. Di cerita ini, saya menemukan teknik yang belum saya temui sebelumnya dalam mengeksplorasi psikologi ketokohan. Para pembaca akan di fait acomply untuk memilih dua kutub antara tokoh baik dan jahat. Sang tokoh baik adalah seseorang yang pernah terjerumus ke lembah yang hina, sementara si antagonis hanya dalam posisi baru akan menggejala untuk mengalaminya. Aku membiarkan kisah ini menggantung dan seakan-akan para pembacalah yang akan menunggu untuk membuktikan indikasi yang dibangun oleh cerita.
Berikutnya adalah kisah yang tidak asing bagi saya karena saya pernah membaca dituliskan sekilas dalam essainya. Konon cerita ini terinspirasi goyang ngebor Inul Daratista. Satu yang mengesankan saya, secara ringan, Ali menuliskan logika inti ceritanya justru melalui guyonan dokter “Bagaimana bisa jadi, kalau malam diisi benih dan siang langsung diobok-obok.” Ajaib karena meski tanda dasar ilmiah, sejauh ini hal itu memang benar karena Inul terkesan susah mengandung.
Predo de Costa adalah hits lain dari album ini. Saya tahu Ali memang pernah sekolah jurnalistik selama beberapa waktu di Jakarta. Kisah ini barangkali adalah memoar yang berkesan darinya selama masa itu. Bisa dilihat dari miskinnya benang merah yang menjalin cerita ini untuk sampai ke tema dan pesan utamanya. Saya menaruh syak, ini disertakan untuk romantika penulis sendiri.
Sepenggal Kisah Lama dan Korban Shabu-shabu adalah cerpen yang masih identik dengan gaya penulisan Ali merangkai alur dan ending. Saya memberi catatan untuk Korban Shabu-shabu, cerpen ini terasa lebih menyayat hati di akhir ceritanya.
Pada Jalan Berbeda, suasana yang dibangun Ali di awal cerita sangat deskriptik hingga terkesan filmis. Bagaimana ia melukiskan keintiman dua sahabat lewat insiden di warung adalah sesuatu yang malah terkesan mewah dan kurang berimbang dengan penggarapan endingnya yang terkesan dipaksakan sehingga nature si wanita malah terlihat palsu karena dipaksakan membuat perbedaan dalam cerita.
Dan akhirnya kisah seorang ibu yang rela melakukan hal yang tidak disukainya dalam cerita “Kasih Bunda Seluas Samudera” . Mak Sunah rela melakukan apapun demi anaknya yang ironisnya tidak mampu membaca pengorbanan ibunya. Di cerita penutup ini, Ali mengingatkan tentang kebenaran sebuah ujar-ujar yang mengatakan kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang masa.
Sebelumnya, Rahim Kerontang justru menampilkan kisah tentang seorang wanita yang tidak mampu menjadi ibu oleh karena zat-zat kimia dalam obat yang dikonsumsinya.
Pada kesemuanya, Aliansyah sejatinya sedang menelanjangi kebahagiaan nisbi masyarakat urban lewat setiap cerpen di buku ini. Meski ia mengatakan kisah-kisah di sini hanyalah cerpen-cerpen jenis pop yang linier dengan selera pasar, tetapi saya lebih menyukai sebutan cerpen religi dengan aransemen pop. Toh, semua hanya bagaimana caramu memandangnya. []