Cik Mai dan Klimin

TE. Priyono
http://www.kr.co.id/

SETIAP melihat wajah Klimin, Cik Mai selalu membuang muka. Ada rasa jijik campur muak, begitu melihat muka Klimin yang bopeng. Ingin rasanya dia sedapat mungkin menghindar jauh dari laki-laki bertubuh pendek dekil itu. Tapi apa boleh buat, Klimin telah begitu menyatu dengan keluarganya. Laki-laki menjijikkan itu, telah puluhan tahun menjadi bagian dari keluarga besarnya.

Kadang Cik Mai tidak habis pikir, mengapa mendiang engkongnya dulu begitu sayang pada Klimin, begitu juga Ong Oei Fai, mamahnya sangat menaruh hormat yang berlebihan pada laki-laki krempeng yang menjijikkan itu.

?Kau tidak boleh berpikiran seperti itu, Mai. Pak Klimin sudah banyak berjasa pada keluarga kita.?

?Tapi aku jijik Mah melihat tampangnya itu,? jawab Cik Mai singkat.

Ong Oe Fai cuma tersenyum, dia mafhum pada anak gadisnya itu. Seusia Cik Mai, memang masih sangat dangkal untuk memahami soal soal yang menyangkut perasaan, apa lagi hutang budi. Sebetulnya anak itu perlu tahu juga, kalau keberadaan Klimin dalam rumah itu berbeda dengan Parjo sopir pribadi Papahnya, atau seperti Wagiran, tukang kebun yang sering membantu Klimin membersihkan halaman. Keberadaan Klimin di tengah keluarga itu, bukan saja sekadar orang yang bekerja, seperti Binah pembantu yang sibuk menyiapkan keperluan Cik Mai.

Kalau keberadaan Klimin dalam keluarga itu diceritakan semua pada Cik Mai, belum tentu anak itu mau tahu. Sulit memang memberikan pengertian pada gadis cantik itu. Selain keras kepala, kemauannya sulit diajak kompromi. Dia begitu mengagungkan kemolekan wajah dan keindahan kulit tubuhnya yang putih bersih. Begitu pandainya Cik Mai merawat kecantikan dan penampilan dirinya, sehingga dia merasa jijik melihat wajah Klimin yang bopeng dan sekujur tubuhnya seperti bersisik, akibat penyakit buduk yang pernah diidapnya sewaktu kecil.

?Tolonglah Pah, kita cari bujang lain saja. Si Klimin itu kan sudah tua, dia tidak bisa diandalkan lagi. Kerjanya lamban, dan lagi itu lho, wajahnya menjijikkan. Sudah dekil, kulit kusam, bopengan lagi,? pinta Cik Mai suatu hari kepada Papahnya.

Menanggapi permintaan itu, Hok Leim cuma tertawa kecil. Papahnya tidak kasih jawaban, inilah yang semakin bikin keki Cik Mai. Mengapa orang seperti Klimin begitu berharga dalam keluarganya. Ini kekonyolan, begitu pikirnya. Apa untuk mengusir seorang Klimin dari dalam rumah itu, Cik Mai perlu lakukan aksi demo, mogok makan misalnya. Ah mana kuat Cik Mai melakukan itu. Baru kelaparan sedikit saja dia sudah melolong, minta Binah segera menyiapkan makan. Apa lagi harus mogok makan, itu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Lantas dengan cara apa untuk mengusir Klimin dari rumah itu. Apa perlu mengancam Papah dan Mamahnya, dengan memberikan opsi, pilih Cik Mai atau Klimin yang tetap tinggal di rumah ini?!

Seperti itu ide yang sangat masuk akal. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, kedua orangtuanya lebih memilih Klinin yang harus tetap tinggal di rumah itu, bisa mati konyol Cik Mai. Karena seperti pernah dikatakan Hok Leim, Klimin lebih berharga dari semua kekayaan yang dimilikinya. Klimin bukan saja telah berhasil menyelamatkan nyawa Yip Khan Se, engkong Cik Mai dari lalapan api, ketika rumah Yip Khan Se di Semarang, dibakar massa sewaktu terjadi kerusuhan etnis tahun 1983. Laki-laki menjijikkan itu, juga begitu banyak memberi bantuan pada saat saat kritis engkongnya. Pendek kata Yip Khan Se hutang nyawa. Begitulah kira kira tafsir bebasnya.

?Kalau tidak ada Pak Klimin, mungkin Engkongmu tidak memiliki umur lebih panjang. Ketika mendiang Engkongmu menjalani operasi pengangkatan tumor di tengkuk, kita bingung mencari donor darah. Untung saja Pak Klimin mempunyai golongan darah yang sama dengan Engkongmu. Dia tidak meminta apa apa untuk hutang nyawa itu. Tetapi Engkongmu, memaksanya supaya mau tinggal bersama kita, sampai Engkongmu wafat?, begitu kisah Hok Liem pada Cik Mai.

?Kau tahu apa permintaan Engkongmu terakhir kali??

?Apa itu Pak??

?Jaga dan pelihara Klimin sebagaimana kau merawat Papahmu, begitu pesan Engkongmu,? tandas Hok Liem. Cik Mai diam seribu bahasa.

?Dalam tradisi kita Mai, wasiat dari para leluhur itu harus dijunjung tinggi. Karena di sanalah rasa hormat dan balas budi seorang anak pada orangtua dapat terlaksana,? Cik Mai cuma mendesah panjang. Kekesalahan hatinya semakin bergemuruh.

Selama ini Klimin memang tidak pernah membuat kesalahan padanya. Sikap dan tingkahlakunya selalu sopan. Dia selalu mencoba ramah, tersenyum dan kadang kala menyapanya dengan nada suara serak namun sopan. Setiap kali Cik Mai pulang dari kuliah, Kliminlah yang paling setia membukakan pintu garasi mobil. Dia selalu tersenyum, dan selalu juga Cik Mai membuang muka, cih! Entahlah mengapa Cik Mai menaruh perasaan tidak suka. Ah bukan perasaan itu. Tetapi rasa jijik, yah rasa jijik pada tampang Klimin yang dekil dan amit amit seperti bersisik, budukan.

Sebetulahnya perasan Cik Mai yang demikian itu tidaklah beralasan, karena semasa kecilnya dulu, dia selalu terkekeh kekeh jika sedang duduk di punggung Klimin. Meskipun merasa payah, setiap kali melihat Cik Mai menangis Klimin dengan sigap membungkukkan badan, siap menjadi kuda-kudaan. Dan biasanya Cik Mai kecil dengan girang, menarik kedua kuping Klimin sebagai kendali. Meskipun sering mengundang gelak tawa, karena keriangan hati Cik Mai kecil yang lucu. Namun mendiang Yip Khan Se, acap kali mengingatkan agar Klimin tidak terlalu berlebihan memanjakan cucunya itu.

***

HASIL diagnosa yang dilakukan tim dokter merekomendasikan perlunya dilakukan operasi secepatnya. Ini bukan main-main, penyakit yang diderita Cik Mai betul betul gawat. Ada kebocoran ginjal. Dan ini harus segera dilakukan operasi, jika masih mengharapkan keselamatan gadis itu. Hok Liem dan Ong Oei Fai sempat shock mendengar kabar itu. Anak semata wayang, dan kepadanya harapan di hari tua kelak disandarkan, kini harus menderita, terkulai di pembaringan ruang VIP rumah sakit. Ini benar-benar merisaukan hati laki bini itu.

Hatinya lebih teriris lagi, begitu melihat anak gadisnya yang ceria, nakal dan terkadang menyebalkan itu kini harus terbaring dengan berbagai selang dan peralatan berada di sekitarnya. Bagi Hok Liem, tidak menjadi masalah kalau harus kehilangan semua harta miliknya, asalkan nyawa Cik Mai dapat diselamatkan. Karena anak itu, satu satunya yang tersisa dari tiga anaknya. Kim Fai Kakak Cik Mai meninggal ketika usia 10 tahun akibat kanker darah. Sedangkan Kho Cu adik Cik Mai yang menderita lemah mental, tewas tertabrak truk. Selagi lepas pengawasan, anak itu berlari mengejar ilusinya. Kini Cik Mai, anak keduanya yang telah menjelma menjadi gadis cantik, terkulai tak berdaya.

?Kita harus menyiapkan seseorang yang bersedia menjadi donor ginjal, untuk mengganti ginjal Cik Mai,? ucap Hok Liem tidak mampu menahan kesedihannya.

?Kemana kita mencari organ itu Pah, kalau ada yang menjual, berapapun harganya…? jawab Ong Oei Fai tidak kalah pedihnya.

?Aku pernah baca di koran, ada seseorang yang mau memberikan organ itu. Tapi setelah kulacak, sudah dipakai orang lain. Dan si pendonor sekarang sudah meninggal?, kata Hok Liem begitu berat dilontarkan.

Memang dalam keadaan terjepit, seseorang bisa saja nekad memberikan organ vitalnya kepada orang lain. Entah itu diartikan menjual, atau sekadar balas budi. Tetapi yang pasti imbalannya besar.

Meskipun kecanggihan teknologi kesehatan telah mampu mencangkok jantung manusia, menciptakan rekayasa genetika melalui cloning. Tetapi untuk membuat organ ginjal, akal manusia belum sampai ke sana.

?Penyakit Cik Mai kelihatannya gawat?!? ucap Klimin tanpa tahu kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Hok Liem dan Ong Oei Fai mengangguk hampir bersamaan.

?Cik Mai perlu donor ginjal, padahal organ seperti itu tidak ada yang jual. Itulah yang bikin kami pusing, Pak Klimin? Ucap Ong Oei Fai setengah mendesah menahan tangis.

?Kalau itu yang jadi masalah, kenapa tidak ambil ginjalku saja?!? kata-kata Klimin meluncur datar seperti tanpa beban. Hok Liem dan Ong Oei Fai terpana. Keduanya saling pandang, melontarkan keheranan masing masing.

?Donor ginjal itu berat, Pak Klimin. Selain golongan darah pendonor harus sama. Risiko lain, kehilangan satu ginjal artinya tidak sempurna lagi, tidak bisa hidup wajar lagi,? ucap Ong Oei Fai dengan nada sedih.

?Kalian tidak perlu khawatir, aku sudah siap menghadapi semua kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Ambillah ginjalku. Kalau golongan darahku sama dengan mendiang Yip Khan Se, besar kemungkinan Cik Mai pun punya golongan darah yang sama dengan golongan darahku,? tutur Klimin yakin.

?Risikonya berat , Pak Klim. Kalau tidak beruntung, nyawa taruhannya,? cegah Hok Liem tidak mampu menahan haru.

?Aku sudah pikirkan itu. Kalau apa yang aku punya bisa memberikan kehidupan bagi Cik Mai dan aku rela memberikannya, mengapa kalian tidak mau menerima?? bantah Klimin dengan logat mirip seperti mendiang Yip Khan Se ketika menasihati Hok Liem.

Hok Liem dan Ong Oei Fai hampir bersamaan memeluk laki-laki yang dibilang menjijikkan sama Cik Mai itu. keduanya bertangisan memeluk erat tubuh Klimin yang tetap setia membujang itu.

Hasil tes darah di luar dugaan Hok Liem maupun Ong Oei Fai, kedua laki bini itu hampir tidak percaya dengan kemurahan Tuhan. Benar yang dikatakan Klimin, golongan darahnya sama dengan golongan darah Cik Mai. Artinya juga sokongan Klimin untuk menyelamatkan nyawa Cik Mai terbuka. Laki-laki bertubuh kusam dengan bopeng dan bekas buduk di sekujur tubuh itu, benar-benar berhati malaikat.

***

KEMATIAN Klimin seminggu setelah pengangkatan ginjalnya, menyisakan rasa duka yang sangat dalam di hati Hok Liem dan Ong Oei Fai. Mereka betul betul telah kehilangan orang yang dengan setia memberikan segalanya bagi keluarga itu. Seringkali keduanya merasakan betapa egois mereka. Untuk menyelamatkan anak, darah daging sendiri saja tidak berani mengorbankan nyawa. Dimana namanya kasih sayang orangtua yang mulia itu, kalau untuk menyelamatkan nyawa anak harus mengorbankan orang lain.

Cik Mai belum tahu, kalau Klimin telah mati demi keselamatan nyawanya. Gadis cantik itu tampak girang, ketika memasuki pagar rumah tidak dijumpainya laki-laki menjijikkan yang biasa membuka pintu garasi mobil. Cik Mai berpikir inilah hadiah baginya, kejutan yang sengaja diberikan Papah dan Mamahnya ketika sampai di rumah.

Kepada Hok Liem dan Ong Oei Fai, Klimin berpesan agar tidak membocorkan rahasia, dari mana ginjal yang telah menyelamatkan nyawa Cik Mai di dapat. Itu disampaikan di saat saat kritisnya. Wasiat itu begitu berat, Hok Liem tidak mau Cik Mai menjadi orang yang tidak tahu budi. Kalau hal itu ditanyakan Cik Mai, pasti kebenaran itu akan disampaikannya!

Jogjakarta, Juni 2004.

Leave a Reply

Bahasa ยป