Indra Tranggono
sinarharapan.co.id
ANGIN terasa mati, ketika perahu yang ditumpangi Sureng membelah hamparan air danau. Gerak dayung dua pengemudi perahu mengirim bunyi kecipak ke gendang telinga laki-laki berbadan kurus, berambut lurus dan berwajah tirus itu. Sureng, sambil menyulut rokoknya, menoleh ke belakang, menatap dermaga yang semakin mengecil. Lampu-lampu tampak menggigil. Aroma tembakau beredar di udara sekitar. Dalam keremangan cahaya bulan, seorang wanita, yang sejak perahu itu meninggalkan dermaga duduk terdiam, tampak menutup hidungnya.
“Maaf,” Sureng mematikan rokoknya.
Wanita acuh tak acuh. Pandangannya menatap bunga-bunga air.
“Anda juga mau ziarah?” Sureng membuka percakapan.
Wanita itu tetap menunduk, namun kepalanya mengangguk. Sureng mencuri pandang, menatap wajah wanita itu. Kecantikan terlintas sesaat. Sureng ingin melanjutkan percakapan, namun tenggorokannya terasa tercekat.
“Mas-nya ini sudah sering ke sana?” mendadak wanita itu bersuara. Sureng terhenyak.
“Tidak pernah, dan baru akan ke sana sekarang. Anda sendiri sering ke sana?”
Wanita itu mengangguk.
Perahu terus melaju. Dua dayung terus menghajar air. Terdengar bunyi kecipak beranak-pinak. Perahu merapat di dermaga. Sureng dan wanita itu turun dan langsung diserbu penjaja bunga. Mereka ditelan kerumunan orang. Ketika Sureng menoleh, wanita itu telah menghilang.
“Bunganya, Mas,” seorang penjaja menodongkan keranjang berisi bunga. Sureng mengambil dan membayarnya.
“Saya doakan permohonan Mas bisa terkabul,” Penjaja itu memasukkan uang ke kantongnya.
“Bapak tahu, siapa yang bersemayam di kuburan ini?”
“Lho, Mas ini baru sekali ke sini ya? Eee? yang bersemayam di sini ini Pangeran Jalu Ningrat dan Nyi Mas Ayu Gendari. Mereka masih keturunan raja-raja Mataram. Tapi begini Mas. Kalau ingin permohonannya terkabul, setiap peziarah harus punya pasangan.”
Sureng terhenyak, “Maksud Bapak?”
“Lho, itu syarat pokoknya. Dan yang utama pasangan itu harus bercinta sesudah memanjatkan doa dan permintaan.”
Sureng kembali terhenyak. Mendadak ia menyulut rokoknya. “Lha, kalau tidak?”
“Wah ya nggak bisa. Eeee, tapi cari pasangan di sini gampang kok Mas.” Penjaja bunga terus berlalu.
Sureng disergap kebimbangan. Ia ingin mengurungkan niatnya, namun rasa penasaran terus mendorong langkahnya. Bahkan tanpa diperintah, kakinya bergerak sendiri. Serasa ada kekuatan yang datang entah dari mana yang terus mendorongnya memasuki jagat asing itu. Sureng ingin melawannya. Tapi sia-sia. Kakinya terus bergerak menyusuri jalan menuju perbukitan.
Tubuhnya mendadak gemetar, ketika ia memasuki tanah luas yang terhampar di luar tembok makam. Beberapa pasangan, mungkin puluhan, bercinta dalam gelap. Cahaya bulan yang diselimuti kabut terasa menebarkan gairah. Sureng terperangah, namun kakinya terus melangkah. Sedepa demi sedepa. Ia hampir saja menginjak pasangan yang asyik bercinta, jika ia tak mendengar suara lenguh beraroma peluh. Mendadak dadanya terasa sesak. Namun, kakinya terus melangkah, merangsak. Sureng terkepung dalam bunyi lenguh serupa sapi-sapi jantan yang dikuasai berahi. Lenguhan itu disibaknya, bersama degup jantungnya yang makin cepat.
Sampai di kompleks makam, ia disergap aroma bunga dan kemenyan. Puluhan pasangan tampak memanjatkan doa. Dengan wajah pucat, Sureng termangu di depan gerbang.
“Mas?” mendadak terdengar suara seorang wanita. Sureng menoleh. Seorang wanita yang dijumpai di perahu tadi, menebar senyum. Sureng tergeragap. Namun, wanita itu secepat kilat meraih tangannya dan membimbingnya ke dalam.
“Tak usah sungkan,” tangan wanita itu terus menariknya. Sureng tak berdaya. Sureng disergap perasaan aneh. Tak paham. Wanita yang begitu santun dan pendiam selama perjalanan itu, ternyata berbalik sangat ramah dan berani. Namun, keanehan itu menjadi sia-sia dipertanyakan, ketika ia melihat pemandangan yang jauh lebih aneh menyergap dirinya: orang-orang bercinta dalam gelap dengan tanpa beban, yang baru saja dilihatnya tadi.
“Sejak tadi saya menunggu pasangan. Namun ternyata tidak datang,” perempuan itu terus menggamit tangannya.
“Siapa?”
“Seorang pedagang dari Kudus. Kami sudah berjumpa dua kali di sini. Padahal syaratnya harus tiga kali. Kalau sekarang gagal, berarti saya harus memulainya dari awal. Sampai tiga kali ke sini. Begitu persyaratannya. Mas mau nemani saya kan?”
Sureng merasa tak paham, ketika mendadak tanpa sadar, kepalanya mengangguk.
“Yang itu nisannya siapa?” Sureng mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kanjeng Pengeran Jalu Ningrat. Yang sebelahnya, Nyi Mas Ayu Gendari. Mereka dulu pasangan yang dibunuh Raja, karena tertangkap berselingkuh. Nyi Mas Gendari itu sebenarnya selir Raja. Tapi rupanya ia jatuh cinta pada Pangeran Jalu Ningrat yang kebetulan putra Raja?”
“Rajanya itu siapa?”
“Ah, saya lupa. Tapi itu nggak penting kok.”
Di depan dua nisan yang dibungkus kelambu putih, Sureng dan wanita itu siap memanjatkan doa. Namun kata-kata tak keluar dari mulut Sureng. Perasaan tegang masih merajamnya. Sureng menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Di sebelahnya, perempuan itu mengucap mantera. Kata-kata itu serupa rentetan bunyi. Terdengar begitu asing bagi Sureng. Ia merasa terdampar di sebuah dunia yang ganjil, yang membuat jiwanya menggigil.
Angannya mengembara. Sureng teringat isteri dan dua anaknya. Kata-kata isterinya sebelum ia berangkat masih terngiang.
“Ya, siapa tahu hidup kita jadi lebih baik, Mas. Banyak lho yang sudah hidup enak setelah rajin ke makam itu?”
“Tapi aku sendiri tak begitu yakin,” Sureng menawar harapan isterinya.
“Walaaahhh. Yang penting kamu berdoa di sana. Minta ini dan minta itu.”
Sureng ingin membantah isterinya, tapi diurungkan. Ia tak ingin melukai perasaannya. Sedikit membahagiakan isteri toh tak apa, pikirnya. Itu tak sebanding dengan penderitaan yang dialaminya selama ini. Sejak Sureng kena PHK, praktis yang bekerja hanya isterinya. Dengan modal yang mepet, ia jualan nasi di depan rumahnya. Sureng sendiri terus pontang-panting mencari peluang kerja.
“Ya, siapa tahu, kamu terus dapat kerjaan nanti,” suara isterinya kembali terngiang. “Dan jangan lupa, doakan juga semoga daganganku laris.”
Sureng ingin mengucapkan permintaan itu, tapi tenggorokannya tercekat. Otaknya terasa macet. Aura nisan hitam dengan kelampu putih bersepuh aroma bunga dan kemenyan itu menyergap. Membuat ia mendadak gagap.
“Sudah?” wanita itu berbisik.
Sureng mengangguk. Keduanya beringsut turun dan keluar dari cungkup, bangunan makam.
“Mas sudah tahu kesepakatan di sini?” wanita itu membuka percakapan, ketika mereka sampai di hamparan tanah luas, di luar tembok makam.
Sureng mengangguk. Tapi anggukan itu terasa berat.
“Jadi Mas sudah tahu, kalau siapa pun di antara kita harus rela jika ada salah satu dari kita yang berhasil.”
“Maksud Anda?”
“Ah jangan memanggil begitu. Namaku Asih. Ya, Asih Purwati.”
“Ya..ya..yaa? Terus?”
“Ya? anu? kalau aku permintaanku yang dikabulkan, maka seluruh rejeki Mas akan menjadi milikku. Begitu juga sebaliknya.”
Sureng mengangguk-angguk. Pura-pura paham. Meskipun dalam hatinya ia tertawa. Bagaimana mungkin rezeki orang bisa dibagi atau dirampas orang lain. Rezeki itu kan yang mengatur Tuhan, pikirnya.
Mereka terus menuruni bukit. Sampai di sebuah gundukan tanah dekat pohon Randu Alas, Asih berhenti. Tangan Sureng ditariknya. Sureng menatap wajah perempuan itu. Asih itu juga menatapnya. Cahaya bulan memompa gairah Asih. Napasnya naik-turun. Tangan Asih meraih wajah Sureng. Mengelus-elusnya serupa mengelus kepala bayi. Bibir Asih mendekat. Tinggal beberapa inci dari bibir Sureng. Mendadak Sureng menghempas diri.
“Aku nggak bisa. Maaf? nggak bisa?”
“Kenapa? Bukankah kita wajib mekakukannya?”
“Melakukan apa” Pokoknya nggak bisa- Aku punya isteri.”
“Aku juga punya suami?” Asih mencoba meraih tubuh Sureng. Namun, Sureng melepaskan pelukan Asih.
“Ini sudah ketentuan, Mas.”
“Siapa yang menentukan?”
“Lho aturannya memang begitu.”
“Aturan siapa? Sudah? kita pulang saja. Perkara rezeki, ambil saja rezeki saya.”
“Wah, ya jangan terus begitu.” Asih memeluk Sureng. Sureng memberontak. Namun Asih tak menyerah. Satu demi satu kancing baju dia lepaskan. Dari baliknya menyembul gundukan pualam. Sureng yang semula meronta, pelan-pelan terkesima. Tersepuh cahaya perak bulan, dua gundukan pualam itu terasa menariknya ke dalam pelukan Asih. Darah Sureng tersirap. Napasnya naik-turun. Sureng tak kuasa mengenyahkan gairah yang mendadak menggelegak. Keheningan menjelma dinding-dinding yang menerbitkan rasa aman dan nyaman. Napas mereka saling berpacu. Mereka menjelma sepasang kuda liar yang berlari menebah rumput-rumput padang sabana. Tarikan napas mereka terus memacu untuk berlari, hingga mencapai awan-gemawan dan bintang gemintang. Di ketinggian tak terkira itu mereka memahat sorga.
Namun, ketika pahatan sorga itu lenyap, yang terjelma hanyalah kesunyian, dan angin yang berdesau menyapu peluh mereka. Sureng tergeragap disergap bayangan wajah isterinya. Rumiyati, yang selama ini sangat setia mendampingi kesunyian hidupnya itu, menatap Sureng. Tak biasanya mata isterinya itu terbelalak. Sureng gemetar. Bayangan Rumi mendadak menyerangnya. Tangannya mengayun-ayunkan pisau dapur karatan. Sureng mencoba menghindar. Namun beberapa langkah kemudian, ia terpojok. Dan pisau karatan itu menghujam di lambungnya. Sureng terhenyak. Gerapan. Sontak ia meraih baju dan celananya. Lalu bangkit dan menyerit. Tikaman pisau isterinya terus membadai dalam rongga dadanya. Asih yang terbaring dengan tubuh pualam, ikut terbangkit.
“Kenapa Mas,” suara lembut Asih mencoba meredam kegalauan di dada Sureng.
Sureng menatap lekat-lekat wajah Asih. Wajah yang cantik itu berubah wajah monster.
“Aku teringat isteriku.”
“Ah. Itu kan cuma bayangan Mas sendiri. Mas merasa bersalah ya? Tidak apa-apa. Dulu aku juga. Tapi akhirnya jadi biasa,” Asih menghibur Sureng.
“Kita tak bisa meneruskan. Ini yang pertama sekaligus terakhir,” desis Sureng.
“Tapi kita masih harus melakukan dua kali lagi. Baru permintaan kita terkabul,” tangan Asih mengusap keringat yang membanjir di kening Sureng.
“Aku tak bisa. Tak bisa. Lakukan saja dengan lelaki lain.”
“Kita bisa dikutuk, Mas?”
“Dikutuk?” Sureng tertawa.
“Mas, jangan main-main.”
Sureng tersenyum. Masam.
“Jumat Kliwon mendatang Mas saya tunggu di gerbang makam,” Asih mengenakan baju dan celana jeans-nya dan beranjak berdiri. Sureng tak menjawab. Ia melangkah gontai meninggalkan Asih.
***
SEPANJANG perjalanan, Sureng dikepung kecemasan. Ia tak bisa memahami semua yang telah ia lakukan. Ia merasa berada di ambang antara gelap dan terang. Ia sendiri merasa sangsi, apakah Asih itu benar-benar manusia atau serupa jin atau iblis. Namun kebimbangan itu mendadak surut, ketika ia masih merasakan kehangatan daging yang masih melekat di tubuhnya. Sureng juga masih merasakan aliran darah dan detak jantung Asih yang lekat terpahat di sekujur tubuhnya. Tubuh itu begitu hangat, begitu indah. Kenangan yang indah sekaligus mengerikan itu (setidaknya pada awalnya) tak mampu dibunuhnya. Bayangan Asih terasa melekat di pelupuknya. Pesona perempuan itulah yang mendorongnya untuk kembali berziarah di makam Pangeran Jalu Ningrat.
Setelah ziarah yang ketiga kalinya, hidup Sureng bukannya membaik, malah memburuk. Usaha isterinya terancam bangkrut, karena muncul banyak saingan. Ia sendiri selalu gagal mendapatkan pekerjaan. Sureng tergeragap ketika bayangan Asih muncul dalam benaknya. Jangan-jangan Asih telah menyerap rezekinya, pikirnya. Sureng mengutuk wanita yang mendadak baginya menyimpan kebengisan monster.
Sudah hampir dua jam Sureng berdiri di makam itu. Belasan batang rokok telah mengabu. Tapi kegelisahan Sureng tak juga padam. Ketika ia hampir putus asa, mendadak ia melihat Asih memasuki kompleks makam. Sendirian. Sureng menyelinap di balik tembok. Berdiri menunggu. Beberapa saat kemudian, Asih keluar dari makam. Sureng membuntuti dari belakang. Sampai di kelokan perbukitan, mendadak Sureng menerjang Asih. Asih meronta, menjerit namun secepat kilat tangan Sureng membekap mulut perempuan itu.
Asih mencoba melawan. Mereka bergumul dalam kegelapan. Mendadak tangan Sureng berkelebat menghujam pisau karatan ke lambung Asih. Asih menjerit, namun Sureng tak surut menikamkan pisau itu bertubi-tubi. Darah muncrat. Rerumputan, tempat dulu mereka pernah bercinta penuh gairah, basah. Bau anyir menguasai udara sekitar.
Dengan perasaan lega, Sureng menatap tubuh Asih yang bersimbah darah. Bulan di angkasa mengerjap. Angin mati. Langkah Sureng menerjang kegelapan malam. Sureng berjalan menyusuri perbukitan, tak peduli pada kegelapan yang terus meringkusnya.
Yogya, Januari 2003