Rukardi
suaramerdeka.com
DI tengah-tengah modernitas seperti sekarang, masihkah jangka dijadikan sebagai pedoman manusia dalam beraktivitas? Seberapa jauhkah akurasi yang mampu dia jangkau? Bagaimana metodenya? Apakah bisa dipertanggungjawabkan dengan pendekatan logika?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang mengemuka dalam Sarasehan Rebo Legen Sanggar Seni Paramesthi bertajuk ”Tengara Jaman: Saka Jayabaya, Darmogandhul, Ranggawarsita, Nostradamus, tekan Naisbitt” di joglo Unnes Jl Kelud Utara III Semarang, Rabu (14/12) malam.
Adalah Prajitno, peminat jangka yang meyakini benar-benar akurasi ramalan berdasarkan teks-teks Jawa, seperti ditemukan pada karya Ranggawarsita, Sabdopalon, dan Yasadipura. Sebagai pembicara acara tersebut, dia bahkan menganggap jangka sebagai pemberi wacana alternatif dalam memahami persoalan kekinian, baik dalam dimensi politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Lelaki yang bermukim di Jl Jenderal Sudirman 241, Karangayu Semarang itu menerakan realitas politik saat ini yang bersesuaian dengan jangka Jayabaya. Dalam jangka itu disebutkan kisah mengenai Prabu Asmarakingkin yang akan memerintah selama 50 tahun, yang oleh Prajitno ditafsirkan sebagai dinasti Orde Baru (Orba).
Lalu pada masa Prabu Asmarakingkin III, sang penguasa harus hijrah ke Madura karena berselisih dengan tiga raja. Raja tersebut ditafsirkan sebagai Abdurrahman Wahid (Gus Dur); tiga raja yang jadi lawannya ditafsir sebagai Megawati, Amien Rais, dan Akbar Tandjung. Serupa dengan Prajitno, Bambang Kusno, pembicara kedua, menyatakan jangka sebagai barometer untuk melihat tanda-tanda zaman. Namun dia melihat teks-teks tersebut sebagai sanepa dengan pemaknaan leksikal. Sepenuhnya tidak dapat dipastikan, tapi setidaknya dapat dijadikan sebagai pedoman.
”Ungkapan kali ilang kedunge, pasar ilang kumandhange dan seterusnya itu tengara yang jelas bahwa saat ini kita tengah berada di zaman kalabendu. Itu masa rawan karena kita berada di titik nadir siklus kehidupan,” ujar Bambang.
Lelaki yang sehari-hari menjadi Sales and Marketing Manager Hotel Grand Candi Semarang itu acap memakai jangka sebagai pedoman untuk mengambil suatu keputusan. Paling tidak secara personal ia membuktikan bahwa persentuhannya dengan realitas modern tak mengaliskan kepercayaannya pada sesuatu yang tradisional.
Menolak
Sebagian peserta sarasehan dengan tegas menolak teks-teks Jayabaya, Sabdopalon, dan lainnya itu sebagai prediksi. Gunawan Budi Susanto, misalnya, menganggap jangka itu sekadar tafsif pascakejadian. Tak ada kejelasan metodologis yang mampu menerangkan suatu peristiwa sebelum kejadian. Kalau toh ada, itu semata metode othak-athik gathuk.
Sementara Timur Sinar Suprabana dengan keras menyebut jangka tak lebih sebagai omong kosong. Para pujangga tak menempatkan teks-teks karyanya sebagai bahan ramalan, melainkan murni karya susastra. ”Teks seharusnya posisikan sebagai pitutur atau bahan pengajaran budi pekerti,” ujarnya arif.
***