Nyanyian Penggali Kubur

Gunawan Budi Susanto
suaramerdeka.com

PENGGALI Kubur! Itu pekerjaannya dan itu pula yang kemudian menjadi namanya. Sudah 44 tahun dia bekerja. Setiap hari, setidaknya dia menggali satu liang kubur. Jadi selama 44 tahun, total jenderal dia sudah menggali 16.060 liang kubur.

Dia menggali kubur setiap hari sejak berusia 15 tahun. Dia menggali di setiap pekuburan di kota kami. Tak cuma menggali, dia juga terlibat penguburan. Dalam beberapa kasus, dia sendirian mengubur si mati. Itulah mayat orang yang semula dikenal sebagai orang gila. (Mengherankan, orang-orang gila seperti tak habis-habis berdatangan ke kota kami. Satu mati, tumbuh seribu. Satu hilang, seribu terbilang. Mereka muncul, silih berganti, entah dari mana. Konon, sesekali ada truk menurunkan mereka di tengah hutan jati di perbatasan kota).

Kau mungkin berpikir, jika setiap hari dia menggali satu liang kubur, boleh jadi lantaran serakah, ingin memperoleh upah dari setiap galian. Jangan salah. Tidak setiap kali menggali kubur dia beroleh upah. Acap kali dia cuma beroleh sebungkus nasi, sekantong plastik minuman, dan ucapan terima kasih. Bahkan beberapa kali sekadar ucapan terima kasih pun tidak.

Namun apa pula yang bisa dilakukan Penggali Kubur jika bukan menggali kubur? Jadi, ada upah atau tidak, ada ucapan terima kasih atau tidak, setiap hari selama 44 tahun dia terus menggali kubur. Siapa pun yang mati, di mana pun mereka mati, tak peduli kematian macam apa yang menjemput mereka, dia tetap dan terus menggali kubur.

Dan, dengarlah. Seraya mengayunkan cangkul, dia selalu menembangkan lagu. Lagu yang itu-itu juga.

Ilir-ilir lir-ilir
tandure wus sumilir
tak-ijo royo-royo
taksengguh penganten anyar

Cah angon, cah angon
penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekna
kanggo mbasuh dodotira

Dodotira, dodotira
kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jlumatana
kanggo seba mengko sore

Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
yo suraka
surak hore. 1)

Ah, sebenarnya tak tepat menyebut dia menembang. Bahkan sekadar rengeng-rengeng sekalipun tidak. Lebih pas: dia menggumamkan lagu. Ya, dia selalu menggumamkan lagu, yang konon ciptaan Sunan Kalijaga, itu. Tanpa cengkok, tanpa irama. Nyaris datar dan monoton, seperti merapal mantra. Berulang-ulang sampai penggalian lubang kubur usai, sampai penguburan selesai. Lalu, dia bergegas pergi setelah gumpalan tanah terakhir dilemparkan pentakziah, sebelum berkeranjang-keranjang kembang ditaburkan ke atas gundukan tanah.

Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tak ada yang peduli. Kata orang, dia pergi mengikuti kesiur angin yang tersibak sayap-sayap malaikat pencabut nyawa. Dia pergi menjemba kabar kematian.

Banyak orang percaya, dia tahu belaka siapa bakal mati hari ini. Terbukti, kapan pun, di mana pun, dan siapa pun yang mati -bahkan sebelum kabar kematian seseorang menyebar, dia sudah datang dan menggali kubur sembari menggumamkan tembang. Nyaris datar, monoton, tanpa cengkok, tanpa irama. Berulang-ulang. Ilir-ilir, ilir-ilir… Empat puluh empat tahun sudah, 16.060 liang kubur.
***

NAMUN, pagi ini, di pekuburan kampung kami, orang-orang geger. “Ada yang aneh,” ujar seseorang.
Kini, tak seperti biasa, sembari menggali kubur dia bernyanyi. Ya, dia bernyanyi sesungguh benar bernyanyi. Tak keras, tetapi hampir setiap pentakziah mendengar belaka: dia bernyanyi! Bukan lagi menggumamkan tembang Ilir-ilir tandure wus sumilir!

Dan, dengarlah, dia menyanyikan lagu lain. Suaranya terdengar sendu, terdengar pilu.

Di mana akan kucari
aku menangis seorang diri
hatiku slalu ingin bertemu
untukmu aku bernyanyi

Untuk Ayah tercinta
aku ingin bernyanyi
walau air mata di pipiku

Ayah, dengarlah
aku ingin berjumpa
walau hanya dalam mimpi

Lihatlah, hari berganti
namun tiada seindah dulu
datanglah, aku ingin bertemu
untukmu aku bernyanyi. 2)

Orang-orang menggeremang. Berdebat dengan suara tertahan. Apalagi ketika dia tak cuma menyanyikan lagu yang dipopulerkan Charles Hutagalung itu. Dengar, dengarlah, kini dia menyanyikan balada Ebiet G Ade pula.

Dari pintu ke pintu
kucoba tawarkan nama
demi terhenti tangis anakku
dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
memandangku curiga
seperti hendak telanjangi
dan kuliti jiwaku

Apakah buku diri ini
harus selalu hitam pekat
apakah dalam sejarah
orang mesti jadi pahlawan
sedang Tuhan di atas sana
tak pernah menghukum
dengan sinar matanya yang lebih tajam
dari matahari

Ke manakah sirnanya
nurani embun pagi
yang biasanya ramah
kini membakar hati
apakah bila terlanjur salah
akan tetap dianggap salah
tak ada waktu lagi benahi diri
tak ada tempat lagi untuk kembali

Kembali dari keterasingan
ke bumi beradab
ternyata lebih menyakitkan
dari derita panjang
Tuhan bimbinglah batin ini
agar tak gelap mata
dan sampaikanlah rasa inginku
kembali bersatu. 3)

Bisik-bisik mengeras menjelang akhir penguburan. Orang-orang tak tahan. Sebelum lemparan tanah terakhir dan kembang tertabur di gundukan tanah, seseorang menghalangi langkah Penggali Kubur, yang seperti biasa bersigegas pergi.

“Tunggu! Aku cuma mau bertanya,” kata orang itu. “Kenapa kau bernyanyi? Kenapa bukan Ilir-ilir lagi? Ada apa? Mengapa?”

Penggali Kubur membisu. Dia menyimpang jalan, terus melangkah. Orang-orang adu argumentasi. Berdebat. Ramai. Tanpa simpulan yang bisa mereka percayai sebagai kebenaran.

Diam-diam aku memisahkan diri dari para pentakziah. Dari jarak yang kuanggap aman, aku menguntit Penggali Kubur. Dia terus melangkah tanpa menengok atau menoleh kiri-kanan. Langkah kakinya tetap, tak berkesan terburu-buru. Juga tak seperti orang sedang berjalan-jalan mencuci mata.

Dari kejauhan kulihat dia berbelok, menuruni jalan setapak menuju ke sungai. Tak mungkin terus menguntit dia tanpa ketahuan. Itu satu-satunya jalan yang harus kulalui, kecuali ingin kembali. Kepalang basah. Aku pun bergegas menyusul.

“Duduklah,” ujar Penggali Kubur. Dia duduk di atas batu, mencangkung membelakangi arah kedatanganku, memandangi air sungai.

Dengan menekan ewuh, sungkan, karena ketahuan menguntit, aku pun duduk di atas batu lebih rendah. “Maaf,” kataku seraya menekan debar di dada.

Sembari tetap mencangkung, menekuri permukaan air sungai, dia mengucap. Pelan, tetapi terasa mendengking di kuping.

“Di sungai inilah, dulu, 44 tahun lalu, kulihat mayat Bapak terhanyut entah ke mana. Dia terselip di antara puluhan mayat lain. Namun aku yakin, itulah mayat Bapak. Mereka membunuh dan membuang jasadnya ke sungai ini,” kata dia.

Aku terdiam.
“Tak ada orang berani menepikan mayat-mayat itu agar bisa dikubur secara layak. Tak seorang pun. Puluhan mayat, berpuluh-puluh mayat, sehingga air sungai ini memerah, berlumpur darah.”

Aku tergugu.
“Kau tahu, sepeninggal Bapak, Ibu kehilangan kewarasan. Dia menyusuri jalanan kota, siang-malam. ‘Mencari bapakmu,’ katanya. Dia makan dengan mengais-ngais setiap timbunan sampah, di bawah terik matahari, di bawah guyuran hujan. Suatu saat, Ibu ditemukan tergeletak di tepian sungai ini. Mati. Aku pun mengubur dia, sendirian. Sejak saat itulah aku memutuskan jadi penggali kubur.”

“Kenapa?” tanyaku, memberanikan diri.
“Aku tak ingin orang-orang itu tak terkuburkan secara layak seperti Bapak. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk membiarkan orang mati tanpa dikubur secara semestinya. Apa pun agama mereka, apa pun keyakinan mereka. Tapi kau malah ikut-ikutan orang lain meributkan kenapa aku cuma menggumamkan lagu bertahun-tahun, lalu tiba-tiba kini bernyanyi. Apa tak ada urusan lebih penting, selain mengurusi pedalaman orang lain?” ucap dia.

Sekilas aku melihat kilatan mata setajam silet. Aku tertunduk. “Maaf, aku tak bermaksud….”

“Ya, bahkan kau dan seluruh keluargamu sudah menganggap aku gila. Siapa lebih gila? Aku atau bapak dan ibumu serta kalian semua, anak-anak mereka? Bahkan nasib kakekmu yang mati dibunuh dan dibuang di sungai ini, juga nenekmu yang bunuh diri di tepian sungai ini, tak pernah masuk hitunganmu, tak pernah jadi keprihatinan keluargamu. Sekarang, apa pula yang hendak kauminta dariku?” ucap dia, menetak gendang telingaku.

Aku terdiam, mengeriut.
“Pulanglah. Tak perlu kaupedulikan aku. Tak penting pula aku bernyanyi atau tidak. Toh itu tak mengubah apa pun. Aku cuma penggali kubur dan tetap jadi penggali kubur. Sampai kapan pun,” ujar dia seraya bangkit, melangkah, tanpa menoleh.

Aku masih terdiam, menjublak di tepian sungai. Aku memandangi permukaan air, yang makin lama kian merah. Seperti darah. Darah yang membarah.

Catatan:
1) Terima kasih pada Sunan Kalijaga, yang konon telah menciptakan tembang “Ilir-ilir”.
2) Terima kasih pada Charles Hutagalung yang menyanyikan lagu “Ayah”.
3) Terima kasih pada Ebiet G. Ade yang menciptakan dan menyanyikan tembang “Kalian Dengarlah Keluhanku”.

Patemon, 26 September 2010.

Bahasa ยป