Mila Novita
sinarharapan.co.id
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Begitu Pramoedya Ananta Toer (atau akrab disapa Pram) berpesan dalam Rumah Kaca, salah satu buku dari tetralogi roman Pulau Buru yang diwariskannya untuk Indonesia.
Tulisan Pram memang membuat ia tidak hilang dari sejarah, meskipun pada 30 April tiga tahun lalu jasadnya dimakamkan di pemakaman Karet Bivak, Jakarta. Ia sastrawan terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Ia juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang berulang kali dinominasikan sebagai peraih penghargaan Nobel, meski tidak pernah “sukses” membawa penghargaan itu pulang ke negerinya.
Karakter-karakter ciptaan Pram, yang merefleksikan sejarah bangsa, dikenal luas sampai ke mancanegara. Tapi, seperti apa keseharian Pram sebagai manusia biasa? Juga ketika ia berada di penjara-penjara, tempat ia melahirkan karya-karya terbaiknya? Koesalah Soebagyo Toer dan Susilo Toer, dua adik Pram, menceritakannya dalam buku Bersama Mas Pram yang diluncurkan untuk mengenang tiga tahun kepergian Pram di Goethe Haus, Jakarta, Jumat (24/4). Teman-teman Pram, Djoko Sri Moeljono, dr Manto, dan Juwito juga ikut mengisahkan keseharian Pram selama di penjara, usai peluncuran buku itu.
Bersama Mas Pram ini berbeda dengan buku Koesalah sebelumnya, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer. Nirwan A Arsuka, Redaktur Tamu “Lembar Kebudayaan Bentara” Kompas, yang bersama Yulianti Parani membedah buku ini, mengatakan bahwa dalam beberapa sisi buku ini lebih menarik daripada Tetralogi Pram.
“Ini tentang keluarga besar yang melalui berbagai jenjang dalam sejarah, tercerai-berai, menghadapi revolusi, diperlakukan sewenang-wenang, kemudian (mereka) merespons dengan caranya masing-masing. Pram hanya salah satu unsur dalam buku ini,” kata Nirwan. Nirwan melanjutkan, ketika memasuki buku ini lebih dalam barulah bisa “menemui” Pram. “Sekitar 100 halaman barulah Pram muncul, sebelumnya sebagai latar belakang saja.”
Di Balik Penjara
Banyak yang percaya bahwa karya-karya terbesar Pram dilahirkan ketika ia berada di penjara, 18 tahun dari 81 tahun usianya dihabiskan di penjara. Tetralogi roman yang membuat ia keluar-masuk nominasi Nobel, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, dilahirkan ketika ia diasingkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru.
“Mungkin naskahnya sudah ada di kepala, tapi baru ditulis di sana. Kondisi di Pulau Buru membantu juga. Seandainya itu ditulis setelah ia bebas, mungkin kata-kata yang keluar akan berbeda,” kata Djoko Sri Moeljono, rekan Pram sesama di unit XV, unit yang berisi tahanan politik (tapol) berkepala batu, selama di Pulau Buru. Menurut Djoko, kekerasan selalu ada di sana, dari sumpah serapah, tendangan, tempelengan, sampai dengan pukulan popor senjata menjadi makanan mereka sehari-hari. “Hal-hal semacam itu yang pasti dirasakan Pram, itu akan mengubah penulisan dia,” kata Djoko.
Pram menjadi angkatan pertama di Pulau Buru bersama dengan 2.500 tapol lainnya. Ketika tahun 1974 tahanan menjadi 10.000, terjadi perombakan unit. Pram dimasukkan ke unit XV yang berisi tapol-tapol keras kepala. Di Unit XV, Pram ditempatkan di Mako (Markas Komando, berisi orang-orang pemerintah yang ditugaskan mengatur tapol) karena dianggap sebagai “tahanan pusat”. Para tahanan di Mako ini memiliki tugas yang berbeda dengan di barak-barak biasa, sesuai dengan keahlian masing-masing. Dr Manto, salah satu rekan Pram di Pulau Buru yang seorang dokter, bercerita bahwa di situlah ia bertemu dengan Pram. “Saya sering mengetes kesehatannya karena dia menderita kencing manis,” katanya.
Jika dr Manto bekerja sebagai dokter seusai keahliannya, Pram yang keahliannya menulis pun hanya duduk dan mengetik setiap harinya. “Di situlah Pram menulis tetralogi Pulau Buru dengan mesin tik. Lalu jika sudah jadi 200 lembar, ketikan itu disebar ke unit-unit, masing-masing 20 lembar supaya cepat. Pram terbuka terhadap kritikan,” kata Djoko.
Usai membaca karya itu, Djoko pernah bertanya pada Pram, sejarah atau fiksikah itu? Pram menjawab bahwa ia inginnya tetralogi itu menjadi sejarah, tapi karena bukti-bukti (sejarah) yang ia pinjam dari museum dibakar pada tahun 1965, karyanya itu pun menjadi fiksi.
Ada pula momen-momen manusiawi seperti ketika merayakan ulang tahun ke-53 (Pram dilahirkan di Blora, 6 Februari 1925). Ia “pulang kampung”, dari Mako ke unit XV. Tapol-tapol di unit itu memberinya kado berupa lima butir telur dan tiga gelondong gula jawa, dua barang yang ketika itu menjadi kemewahan bagi tapol.
Lain lagi cerita Juwito, rekan Pram di penjara Salemba, Jakarta. Juwito bersama Pram ditempatkan di blok Q dengan 25 sel kecil berukuran 1,5 m x 2 m, yang masing-masing sel ditempati tiga orang. Blok ini dikenal sebagai blok intelektual karena isinya kebanyakan orang-orang partai, wartawan, dan mahasiswa. Juwito yang bersama Pram selama tiga tahun mengatakan bahwa Pram diberi label sebagai tahanan “individualis” oleh tahanan lain. Alasannya, waktu Pram dihabiskan untuk membaca buku-buku yang umumnya berbahasa asing sampai waktunya makan, setelah makan ia melanjutkan membaca. Pram lebih banyak diam sehingga sepintas terlihat seperti angkuh.
“Hanya buka mulut kalau ditegur, itu pun seperlunya. Bahkan kalau tidak suka, ia menjawabnya dengan ketus,” ujar Juwito.
Sesekali di waktu luangnya, Pram juga bermain catur, melawan pamannya, Mudigdo, yang wartawan Antara. Pram biasanya kalah. Ia penasaran dan terus bermain sampai menang. “Ketika akhirnya menang, Pram tertawa. Di situlah kami baru melihat Pram tertawa.”
Pram memang masih bisa tertawa di tengah-tengah keseriusannya berpikir. Dia juga manusia biasa.
***