Zaki Zubaidi
http://www.sinarharapan.co.id/
Wajah Pak Yus tampak bersungut-sungut, menahan emosi yang kapan saja bisa meledak. Sepeda motor baru itu dituntunnya dengan tergopoh-gopoh. Diletakkan di teras, tepat di bawah sangkar burung beo kesayangannya. Sementara Ribut diam saja melihat ulah bapaknya. Ribut tahu benar, Pak Yus, BapakNya itu kalau sedang marah benar-benar tak bisa diganggu, semua orang bisa kena amarahnya.
?But, mau jadi apa kamu? Kerjanya cuma duduk saja!?
Dasar nasib sedang sial, meski sudah diam Ribut masih terkena omelannya. Ribut hanya mengernyitkan alis, diam itulah jalan terbaik, sebab jika sedikit saja membantah Bapak bisa nyrocos tak henti-henti. Ribut hanya bisa menyaksikan Bapaknya berjalan ke garasi. Dengan agak keras Pak Yus membuka pintu.
Ia sedang mencari-cari sesuatu.Ribut mengikutinya dari belakang. Mata Bapak masih mencari-cari, berjalan ke pojok, di baliknya kursi tua itu, debu berhamburan ke mana-mana. Cepat-cepat Ribut menutup hidung, tapi Pak Yus seakan tidak peduli. Tanpa mempedulikan kehadiran Ribut, Pak Yus menuju tumpukan buku yang tingginya hampir seukuran pundaknya. Dirobohkannya tumpukan itu, tak ada apa-apa.
Pak Yus mulai mulai gusar. Dibetulkannya letak kaca mata, matanya menembus setiap sudut yang dicurigai sebagai tempat persembunyian barang yang dicarinya. Pak Yus mulai agak putus asa, hal itu membuat emosi semakin naik.
?Pasti kau sudah menjualnya !? Ribut jadi sasaran.
?Jual? Apa yang dijual??
?Sepeda !??
?Ooo..sepeda. Itu di atas Bapak?, Ribut menunjuk sepeda tua yang tergantung tepat di atas kepala bapaknya.
Pak Yus mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian, ia tersenyum gembira. Sepeda itu penuh kenangan bagi Pak Yus. Dengan sepeda itulah ?dulu? ia berangkat sekolah, berangkat kerja bersama temannya Umar.
***
Suatu hari yang agak mendung, Pak Yus harus berangkat kerja. Surat-surat yang harus diantarkan cukup banyak hari ini. Tugas tetap harus dijalankan meski hujan turun dengan lebat. Hujan akhirnya memang turun dengan deras. Pak Yus mengayuh sepedanya penuh semangat, ia mengantarkan wesel ke rumah Wawan.
?Pos !?, teriak Pak Yus.
Seorang laki-laki muda dengan wajah agak kumal berlari kelua, ?Wesel ya Pak??
?Kalau begini, kau bisa cepat kaya Wan?
?Terima kasih, Bos!?
Begitulah Wawan, sastrawan muda, yang weselnya sering diantarkan oleh Pak Yus. Dulu Pak Yus mengira wesel itu dari orang tua Wawan, sebab hanya sebulan sekali ia mengantarkannya. Tapi lama-kelamaan, Pak Yus jadi sering ke rumah Wawan. Akhirnya Pak Yus tahu ?setelah membaca wesel itu? kalau itu adalah honor dari tulisan Wawan.
Pak Yus sangat bangga dengan pekerjaannya. Pak Yus selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Tiap orang pasti gembira jika surat apalagi weselnya diantar oleh Pak Yus. Dan Pak Yus sangat senang bisa membuat orang lain bahagia. Namun, tidak semua orang merasa gembira jika Pak Yus datang. Salah satunya adalah Sutar, anak muda pemabuk, yang rumahnya di ujung gang botol.
Agak jauh, kira-kira tiga gang lagi, Pak Yus harus mengantarkan surat ke rumah Sutar. Pak Yus tahu surat yang diantarkannya adalah surat pengembalian tulisan. Wawan dan Sutar sama-sama satu kampus, sama-sama suka mengirim tulisan. Hanya saja nasib Sutar tidak sebaik Wawan, atau mungkin juga kecerdasan otak mereka berbeda.
?Pos!?
?Surat atau wesel?!?, belum-belum Sutar sudah bisa menebak.
?Surat!?
?Buang saja Pak!?, begitulah teriakan dari dalam.
Pak Yus melihat surat yang ada di tangannya. Ia tidak tega jika harus membuangnya. Maka surat itu dibawanya lagi. Sudah banyak surat Sutar yang dibawa pulang. Oleh Pak Yus surat itu dikumpulkan dengan rapi. Jika ada waktu, Pak Yus membuka surat itu, surat yang berisi tulisan yang sama; maaf kami belum bisa memuat tulisan Anda karena keterbatasan ruang, meski puisi yang terkirim selalu berbeda. Namun surat Sutar harus terbuang ke tempat sampah, karena istri Pak Yus risih bila melihat tumpukan barang yang tidak berguna.
***
Bagitulah Pak Yus, tukang pos keliling yang setia pada pekerjaannya. Pekerjaan yang membuat dirinya bisa menyekolahkan anak satu-satunya, Ribut, sampai ke perguruan tinggi.
Ribut berjalan keluar garasi. Ia biarkan saja bapaknya tersenyum-senyum sendiri dari tadi. Ada tugas kuliah yang harus diselesaikannya. Belum sampai Ribut berjalan keluar garasi, Pak Yus memanggilnya.
?But, turunkan sepeda itu?
Ribut agak sedikit bingung dengan maksud bapaknya. ?Untuk apa Pak ??
?Ya dipakai. Masa mau dimakan. Cepat turunkan nggak usah banyak tanya?
?Tapi Bapak ?kan baru beli sepeda motor??
?Nggak usah banyak tanya! Cepat, turunkan!?
Dengan sedikit terpaksa, Ribut menurunkannya. Ribut mengambil meja di dekat tumpukan buku. Ia naik ke atas meja itu dan mulai melepas tali yang mengikat sepeda tua Bapaknya. Ribut masih penasaran dengan kemauan bapaknya.
?Buat apa sih, Pak?, Ribut coba mencari tahu.
Pak Yus tidak menghiraukan Ribut, ia keluar dari garasi. Ribut tinggal seorang diri melepas sepeda tua yang berdebu itu. Pak Yus masuk ke dalam rumah, diambilnya koran sore. Baru membuka halaman pertama, ekspresi wajah Pak Yus sudah berubah. Beberapa detik kemudian, koran itu dibantingnya ke atas meja.
?Kenapa, Pak?? tanya istri Pak Yus tiba-tiba.
?Mau jadi apa kita ini??
?Sudahlah, Pak. Dari dulu memang sudah begitu, tetap sama?
Di teras, Ribut telah berhasil menurunkan sepeda tua itu, ?Pak, ini sepedanya?
?Sepeda ??, istri Pak Yus menyahut.
?Iya, bapak mau pakai lagi sepeda itu?, jelas Pak Yus.
Tanpa bertanya lagi istri Pak Yus langsung masuk lagi ke ruang tengah. Pak Yus hanya melihat tubuh istrinya berbalik, tanpa tidak mempedulikannya lagi ia segera menuju teras, dipandanginya sepeda tua itu. Ingatannya kembali bergulung-gulung.
Yus muda, begitu gagah menaiki sepeda itu. Ketika masa-masa sekolah, dialah satu-satunya yang memiliki sepeda. Yus muda adalah idola gadis-gadis sekolah. Setiap pulang sekolah, Yus muda selalu berboncengan dengan Utami, kembang sekolah yang telah jatuh hati pada Yus muda.
Dengan sepeda itulah Yus muda mengayuh seluruh kisah cintanya. Namun ?seperti jejak roda? kisah itu hilang tertiup angin, sebab Utami harus menuruti kemauan orang tuanya, dikawinkan dengan juragan Darno. Yus muda tak mampu berbuat apa-apa. Sepeda tualah yang setia menemaninya pergi meninggalkan bayang-bayang Utami. Sampai akhirnya sepeda itu menabrak perempuan berambut panjang yang baru pulang dari pasar. Rini begitulah nama gadis itu, yang akhirnya menjadi ibu dari Ribut.
Hari menjelang malam, Ribut meninggalkan bapaknya sendirian membersihkan sepeda tua itu. Besok pagi ia tidak akan naik angkutan lagi, begitulah pikir Ribut. Ia akan berangkat kuliah naik sepeda motor. Dikumpulkannya seluruh niat baik, ia bisa mengantarkan Sadyanti pulang. Dan bila mungkin ia bisa mengantarkan gadis-gadis lainnya.
Pagi yang cerah, hati yang gembira. Pak Yus sangat ceria pagi itu, begitu juga Ribut, tapi tidak dengan istri Pak Yus. Ribut membersihkan sepeda motor dengan bersiul-siul, sedangkan Pak Yus membersihkan lagi sepeda yang kemarin sudah dibersihkannya, istri Pak Yus di dapur menyiapkan sarapan pagi dengan wajah cemberut.
?Pak, Ribut berangkat dulu?, ucap Ribut setelah mandi pagi dan sarapan, ia akan menuntun sepeda motor itu keluar dari teras.
?Heh ! Mau kau bawa ke mana sepeda motor itu!?
?Kuliah?, jawab Ribut lirih, ia tahu itu tanda buruk baginya.
?Kamu itu apa tidak punya otak. Bapak saja naik sepeda kok kamu mau naik motor !?
?Tapi, daripada nganggur…?
?Kamu tahu harga bensin sekarang berapa?!? potong Pak Yus
Ribut segera angkat kaki, sebab bila tidak segera pergi, ceramah bapaknya bisa lebih panjang lagi. Dasar nasib, niat baik tidak semuanya bisa kesampaian. Sadyanti harus pulang sendiri lagi, atau bahkan bisa-bisa diantar mobil pesaing Ribut. Pulang kuliah naik angkutan lagi, macet pasti terjadi gara-gara demo semakin sering.
Istri Pak Yus masih cemberut. Di meja makan duduk dua orang tua yang masing-masing tak mau bicara. Hanya bunyi sendok bertemu dengan piring.
?Sudah tua, masih suka naik sepeda,? nada dongkol tiba-tiba memecahkan keheningan.
?Hidup sekarang tambah susah. Harga-harga naik, daripada buat beli bensin lebih baik buat makan?
?Alasan,? Istri Pak Yus makin sewot.
?Alasan bagaimana?!? Pak Yus sedikit emosi
Istri Pak Yus tak segera menjawab. Ia segera menyelesaikan makannya. ?Sudah tua kok masih neko-neko. Nanti kalau sakit gara-gara naik sepeda siapa juga yang susah,? ucap istri Pak Yus sambil membereskan piring. Paling-paling masih ingat sama si Utami, begitulah pikir istri Pak Yus sebenarnya.
Pak Yus tak mendengarkan lagi kata-kata istrinya. Meski dengan hati yang dongkol, ia berangkat kerja. Ia bersepeda hanya sampai kantor pos, Pak Yus tidak lagi mengantarkan surat. Jadi meski tua ia merasa tenaga yang dikeluarkan tidak sebesar dulu, saat bertugas menjadi tukang pos keliling.
Dikayuhnya sepeda tua itu penuh semangat. Ingatannya kembali bergulung-gulung ketika melewati bekas sekolahnya dulu. Begitu gagah Yus muda memboncengkan Utami, tanpa sedikit pun rasa lelah, bahkan ia sanggup keliling kota seharian bersama gadis pujaannya itu. Tapi waktu telah menggerogoti staminanya, baru separuh perjalanan napas Pak Yus sudah ngos-ngosan. Tidak seperti dulu ia mampu mengayuh sepeda dengan cepat apalagi saat perasaannya dongkol, hingga harus menabrak Rini yang baru pulang dari pasar. Yus muda akhirnya harus mengantarkan Rini pulang ke rumah karena kakinya sakit akibat tertabrak roda depan.
Dengan sepeda itu pula, Yus muda yang bertanggung jawab jadi sering ke rumah Rini.
?Kerja di mana?? suatu ketika bapak Rini bertanya pada Yus muda.
Yus muda?yang saat itu belum kerja?agak bingung menjawabnya. Matanya bergerak-gerak mencari jawaban dan berhenti pada sepeda kesayangannya, ?Tukang pos, Pak.? Dan jawaban itulah yang membuat ia berhasil memperistri Rini.
Pandangan mata Pak Yus tiba-tiba kabur. Tenaga tuanya banyak terkuras, Pak Yus tak kuat lagi mengayuh, tangannya tak mampu mengendalikan stir sepeda tua itu, napasnya tidak teratur. Pak Yus dan sepeda tua itu oleng, rem sepeda tua itu sudah blong, namun Pak Yus masih untung tidak tertabrak kendaraan lain, hanya menabrak kios bensin eceran di pinggir jalan tepat satu meter sebelum kantor pos. Seluruh botol berisi bensin pecah. Pak Yus tak sadarkan diri.
Surabaya, Januari 2003