Teguh Winarsho AS *
suarakarya-online.com
DUDUK menyendiri di pojok serambi masjid usai shalat tarawih, Darbi menahan lapar. Wajahnya pucat. Tubuhnya berkeringat. Perutnya terus melilit-lilit perih, seperti disengat kalajengking. Wajar, sewaktu buka puasa sore tadi perutnya hanya terganjal dua potong pisang goreng dan segelas air putih.
Darbi tak tega menyantap nasi dan lauk sekadarnya saat melihat dua anaknya yang baru kelas empat dan tiga SD menjalani puasa pertama mereka. Meski menahan lapar, tapi terselip rasa bangga di dada Darbi melihat dua anaknya yang masih kecil sanggup puasa sehari penuh. Anak-anak lain jarang yang sanggup melakukannya.
Riuh rendah suara orang ngobrol dan tertawa di serambi masjid sedikit pun tidak menerbitkan minat Darbi untuk bergabung. Darbi memilih duduk menyendiri di pojok. Perutnya semakin sering berkerucuk, melilit perih. Berkali-kali dilihatnya Haji Barkah di serambi masjid, mengenakan surban dan kopiah putih dikelilingi beberapa anak muda. Tapi Haji Barkah seperti tak melihat keberadaan Darbi. Haji Barkah terus ngobrol dan tertawa bersama anak-anak muda. Terlihat cerah wajah Haji Barkah. Terlihat bersemangat laki-laki tua itu saat menceritakan kejadian-kejadian lucu. Kadang terbesit keinginan di hati Darbi mendatangi Haji Barkah. Menyibak kerumunan anak-anak muda itu lalu membisikkan sesuatu di telinga Haji Barkah. Darbi tahu Haji Barkah pasti tak keberatan. Uang sepuluh ribu bagi Haji Barkah yang memiliki puluhan hektar sawah dan dua toko kelontong di pasar, tentu tidak seberapa. Semua orang kampung tahu Haji Barkah kaya raya. Tapi Darbi selalu ragu, gamang. Anak-anak muda itu pasti akan bertanya-tanya dan menatap heran. Ah, Darbi tak ingin dirinya tampak begitu hina di hadapan anak-anak muda itu. Darbi tak mau keinginannya pinjam uang pada Haji Barkah menimbulkan rasa belas kasihan dari anak-anak muda itu. Cukuplah dirinya yang menanggung semuanya.
Dalam diam Darbi merutuki nasibnya yang kurang mujur. Mestinya usai buka puasa sore tadi ia langsung mendatangi rumah Haji Barkah, pinjam uang. Tentu tak ada orang lain yang tahu kecuali keluarga Haji Barkah. Tentu Haji Barkah juga akan langsung meminjaminya uang. Uang sepuluh ribu rupiah bagi orang seperti Haji Barkah, tentu tak seberapa. Tapi, ya, ya, Darbi ingat, ia memang sengaja tak datang ke rumah Haji Barkah karena tahu istri Haji Barkah terkenal pelit. Tak habis pikir Darbi jika datang ke rumah Haji Barkah, tapi yang menemui istrinya.
Malam kian larut. Suara orang mengaji terdengar kian sayup dan redup. Darbi terus menunggu. Menunggu anak-anak muda itu pulang sehingga ia punya banyak kesempatan untuk bicara empat mata dengan Haji Barkah. Tapi anak-anak muda itu justru semakin betah mendengar cerita-cerita lucu Haji Barkah. Bahkan beberapa anak muda yang baru selesai tadarus, ikut bergabung di situ. Darbi merasa ada sesuatu yang mulai menusuk-nusuk perutnya, tajam.
Tiba-tiba Darbi ingat dua anaknya di rumah. Lima jam lagi mereka harus makan sahur. Tapi sudah tak ada beras tersisa di dapur. Satu-satunya harapan hanya pada Haji Barkah. Sepuluh ribu rupiah.
***
TAMPAK dua anak muda keluar dari dalam masjid membawa kotak infak. Pada bulan ramadan perolehan infak jauh lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya. Diedarkan pada jamaah shalat subuh dan tarawih. Dua anak muda itu membawa kotak infak ke tengah kerumunan di serambi masjid, di hadapan Haji Barkah. Seperti biasa kotak infak itu akan dibuka dan dihitung bersama-sama lalu dicatat di papan tulis digabung dengan saldo hari kemarin.
Hati-hati dua anak muda itu membuka kotak infak dan menuang isinya. Tampak pecahan uang logam dan kertas berhamburan di lantai, beberapa berdenting menggelinding. Takjub mata Darbi menatap lembaran-lembaran uang itu. Kantuknya berangsur lenyap. Darbi tahu di mana uang itu nanti akan disimpan.
“Jumlah semuanya enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah! Semoga barokah!” Berkata Haji Barkah penuh semangat sambil menggenggam uang infak ditunjukkan pada anak-anak muda di sekelilingnya yang tanpa dikomando segera mengangguk-angguk takzim, mengamini.
“Tapi biar kas masjid kita ini jumlahnya cepat banyak, akan kutambah lagi.” Berkata demikian Haji Barkah mengeluarkan satu lembar uang dua puluh ribu dari saku baju. Kembali Haji Barkah mempertontonkan uang itu pada anak-anak muda yang kembali mengangguk-angguk takzim.
Untuk kedua kalinya malam ini Darbi merasa ada sesuatu yang menusuk-nusuk perutnya, tajam.
***
MALAM dingin. Satu-persatu anak-anak muda itu pulang. Lalu Haji Barkah yang terakhir. Tak ingin kesempatannya hilang, Darbi cepat-cepat bangkit dari pojok serambi masjid menghampiri Haji Barkah. Pulang bersama melewati jalan kampung remang. Kabut mulai turun menyelimuti lampu-lampu di pinggir jalan. Tapi entah kenapa Darbi masih dicekam ragu, gamang, mengutarakan niatnya pinjam uang.
“Kudengar kedua anakmu sudah mulai puasa penuh,” ucap Haji Barkah di tengah jalan.
“Alhamdulillah, Pak Haji.” Darbi menjawab dengan bibir pucat gemetar menahan lapar.
“Bagus, bagus. Pendidikan agama memang harus ditanamkan sejak dini. Mudah-mudahan mereka tidak mengikuti jejak Ibunya.”
Semula Darbi tidak sadar dengan apa yang dikatakan Haji Barkah. Tapi ketika kemudian sadar, Darbi tersentak menunduk, merah padam mukanya. Teringat Darbi, mantan istrinya yang sudah pisah dua tahun lalu, kini memang suka dibawa pergi laki-laki. Semua orang kampung tahu. Sebenarnya sudah lama Darbi ingin membunuh ingatannya pada perempuan itu, tapi orang lain entah disengaja atau tidak justru sering mengingatkannya.
Darbi dan Haji Barkah terus berjalan beriringan. Rumah Haji Barkah semakin dekat. Membuat Darbi kian dicekam gelisah. Kesempatan untuk pinjam uang tinggal sebentar lagi. Darbi menghirup nafas panjang mencoba memberanikan diri. “Hmm, maaf, Pak Haji, saya mau merepotkan Pak Haji.” Terputus sejenak suara Darbi menahan sungkan. “Saya mau pinjam uang sepuluh ribu. Insya Allah lusa saya kembalikan.”
Haji Barkah menoleh menatap Darbi lalu buru-buru merogoh saku bajunya. Masih ada selembar sepuluh ribu kusam. “Aduh. Darbi, Darbi, kenapa kamu nggak bilang waktu di masjid tadi? Uangku tinggal sepuluh ribu. Kamu tahu sendiri, uang ini jatah untuk infak subuh besok. Aku harus memberi contoh pada orang-orang kampung bagaimana cara memakmurkan masjid. Besok pagi saja kalau istriku sudah berangkat ke pasar, kamu datang ke rumah” Haji Barkah menepuk-nepuk pundak Darbi.
“Tapi.” Belum selesai Darbi bersuara, Haji Barkah lebih cepat menukas.
“Sudahlah, besok pagi saja. Kamu tidak perlu pinjam, tapi kukasih. Cuma sepuluh ribu kan? Jangan kawatir.” Berkata demikian Haji Barkah belok menuju rumahnya. Langkahnya gegas, tergesa.
Darbi seperti masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi lidahnya benar-benar kelu.
***
PEDIH dan teriris-iris hati Darbi melihat dua anaknya tidur beralas tikar. Tiga jam lagi ia harus membangunkan kedua bocah kecil itu untuk makan sahur. Tapi hingga saat ini Darbi tak pegang uang sepeser pun. Haji Barkah, satu-satunya harapannya baru menjanjikan besok pagi setelah istrinya berangkat ke pasar. Tiba-tiba berkelebat dalam benak Darbi lembaran-lembaran uang infak yang tadi ia lihat di masjid. Beberapa lembar uang itu tampak masih baru dan licin. Darbi tahu di mana tempat menyimpannya.
Niat Darbi sudah bulat. Darbi kembali keluar rumah berjalan mengendap-endap menghampiri masjid. Menyelinap masuk ke dalam masjid ketika situasi benar-benar sudah aman. Di dalam masjid Darbi melihat dua anak muda tidur pulas di dekat mimbar. Sejenak Darbi menghentikan langkah, tiba-tiba ragu dengan niatnya. Tapi bayangan kedua anaknya yang besok harus puasa terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Darbi segera menghampiri salah satu ruangan tempat menyimpan uang infak. Darbi bersyukur, pintu ruangan itu tidak dikunci. Hati-hati Darbi membuka kotak infak lalu mengambil uang sepuluh ribu rupiah dari situ. Pulang.
***
SESAK dan sengal nafas Darbi duduk di kursi menghadap meja makan. Wajahnya tampak letih, pucat, berkeringat. Perutnya semakin terasa perih, melilit-lilit. Matanya mulai berkunang-kunang. Sepanjang hidup baru kali ini ia mencuri. Ia tahu hukuman apa bagi seorang pencuri. Tapi sebentar lagi ia dan kedua anaknya perlu makan sahur untuk menjalankan puasa di hari kedua. Puasa hukumnya wajib. Dan satu lembar uang sepuluh ribu yang baru ia ambil dari kotak infak masjid masih erat dalam genggaman tangannya. Uang itu nanti akan ia belanjakan untuk beli makan sahur bersama kedua anaknya.
Darbi masih mengatur nafasnya yang sesak, sengal, ketika tiba-tiba Niken, anak sulungnya bangun berjalan menghampiri. “Tadi Ibu datang. Ngasih duit.” Suara Niken serak mengangsurkan satu lembar sepuluh ribu pada Darbi.
Gemetar tangan Darbi sewaktu menerima uang itu. Darbi tahu dari mana uang itu didapat mantan istrinya. Kini di tangan Darbi terdapat dua lembar uang. Keduanya cukup untuk makan sahur ala kadarnya bersama dua anaknya. Tapi mendadak Darbi disergap bingung, gelisah, uang mana yang akan ia gunakan?
Malam terus merambat kelam. Sebentar lagi waktu imsak datang.
Depok, 2005
Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo (Yogyakarta), 27 Desember 1973. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Bidadari Bersayap Belati (2002), Perempuan Semua Orang (2004), Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005) dan novel Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi Mekah (2005).