Televisi: Drama Baru Keluarga

Zainal Arifin Thoha *
kr.co.id

“Pertanyaan senantiasa harus dibisikkan ke setiap manusia di balik acara-acara televisi. Karena upaya untuk menanam televisi lebih dalam ke ruang keluarga, akan senantiasa dihadapkan pada persoalan nilai-nilai yang mengalir sepanjang waktu seperti sungai” (Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, 1995).

Dan aku pun senantiasa bertanya, kepada diriku sendiri terutama, seberapa besar dan seberapa dalam, ekses televisi telah memasuki kesadaranku, juga kesadaran keluargaku. Tentu, ekses yang aku maksudkan di sini, adalah ekses positif maupun negatif. Dan sejauh ini, antara ekses positif dengan ekses negatif, dalam mata pandang kesadaranku, lebih banyak ekses negatif – ketimbang positif – yang telah memasuki kesadaranku, juga kesadaran keluargaku.

Bagaimana sebuah drama, begitu kumandang adzan subuh terdengar, ditingkah keluruk ayam di sana sini, anakku yang nomor empat-berusia dua tahun – mulai menggeliat, lalu rengekan tangis mengiringi saat kelopak matanya terbuka, segera ibunya pun terbangun, lalu menaturnya ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, aku pun terbangun, kemudian pergi ke belakang, menerima uluran pondong istriku.

Sementara aku mengganti celana dalam anakku yang basah karena pipis, istriku mengambil air wudhu. Begitu istriku keluar dari kamar mandi, anakku telah duduk di depan televisi ia tak mau lagi kembali ke kamar. Sementara aku mengganti celana dalam anakku yang basah karena pipis, istriku mengambil air wudlu. Begitu istriku keluar dari kamar mandi, anakku telah duduk di depan televisi, ia tak mau lagi kembali ke kamar. Sementara ganti aku yang ke kamar mandi, anakku merengek kepada ibunya, minta distelkan televisi. Dan begitu mendengar suara televisi, anakku yang kedua dan ketiga pun terbangun, lalu mendekati adiknya, nimbrung untuk menonton acara televisi.

Begitulah, sementara aku dan istriku berjamaah salat shubuh, ketiga anakku telah asyik dengan televisi. Selama kami melaksanakan jamaah salat shubuh, acapkali terdengar anakku yang nomor dua dan nomor tiga bertengkar memperebutkan channel televisi, masing-masing menginginkan acaranya yang diputar, sementara anakku yang kedua menyukai film kartun, sedangkan anakku yang ketiga menyukai acara drama. Demi mendengar pertengkaran adik-adiknya, anakku yang pertama pun bangun, bukannya melerai, melainkan turut memperkeruh dengan memutar acara yang disukainya. Jadilah pagi yang masih diselimuti kesejukan alam itu, berubah menjadi letupan-letupan api emosi, yang bisa menjilat dan membakar siapa saja, termasuk orang tua mereka.

Drama rutin yang monoton dan menjengkelkan seperti itu, nyaris mewarnai hari-hari, dimana televisi bertengger tegar di tengah ruang keluarga dan tak mengalami kerusakan. Hal itu akan berbeda, manakala televisi mengalami kerusakan, hingga harus diturunkan atau dimasukkan ke tukang reparasi. Dalam beberapa hari, selama televisi itu tiada, suasana hati keluarga nyaris plong dan menemukan kebebasannya, memeluk kembali drama alamiahnya.

Drama alamiah yang aku maksudkan, tak lain adalah kondisi dan suasana sebagaimana yang pernah aku alami pada masa kecilku dulu. Aku lahir dalam suasana keluarga yang sangat religius, bahkan bisa dikatakan konservatif. Ayahku seorang kiai desa, dimana sebelum waktu shubuh tiba, beliau telah bangun dan melaksanakan salat tahajut, kemudian nderes Alquran sampai shubuh tiba. Seleai adzan shubuh, biasanya beliau kembali ke rumah, yang tidak jauh dari mushalla, membangunkan aku dan adik-adikku, sedangkan ibuku – beliau telah melakukan aktivitas di dapur, karena beliau bangun seiring ayahku.

Begitu jamaah salat shubuh usai, dimana para tetangga yang juga ikut berjamaah di mushalla kami telah kembali pulang ke rumah masing-masing, maka kami – mulai dari ayah, ibu, aku, serta adik-adikku – semuanya membaca Alquran, sampai sinar mentari pagi menerobos celah-celah mushalla kami.

Apakah masa itu tidak ada televisi di rumah kami? Ada. Tetapi tak satu pun dari kami, ibu, aku, serta adik-adikku yang berani menyentuh televisi di pagi hari. Selesai mengaji Alquran, ayah bersiap-siap berangkat ke sawah, ibu menyelesaikan masaknya, sedangkan aku dan adik-adikku telah mengerjakan pembagian tugas masing-masing, yakni menyapu rumah dan halaman.

Maka, benarlah apa yang disampaikan Garin Nugroho di atas. Bahwa, “keberadaan” – sebagai bentuk transformasi “kehadiran” – televisi dalam ruang atau jantung keluarga, senantiasa dihadapkan pada persoalan nilai-nilai yang mengalir sepanjang waktu seperti sungai. Tidak sebagaimana sungai-sungai di pedesaan – yang dalam, jernih, dan berkilauan -sungai-sungai di perkotaan, nyaris tak bisa lagi disebut sungai, melainkan selokan, yang tentu saja bercampur – hingga kehitam-hitaman – dengan sampah-sampah keluarga dan pertokoan, serta limbah-limbah perusahaan.

Dan itu cukup menjadi penanda, menjadi simbol, dari suasana dan kultur rumah tangga masyarakat urban, keluarga-keluarga di perkotaan, termasuk di dalamnya keluargaku berada. Aroma pagi tak lagi sejuk dan segar, suasana hati pun tak lagi jernih dan berkilauan. Dan televisi, menjadi salah satu faktor, bahkan bisa jadi yang utama, penyebab anomali dan absurditas drama keluarga.

Sayangnya, meski jarum jam bisa diputar kembali, namun masa sungguh tak bisa diubah. Sebagaimana peradaban dan kebudayaan, masa memiliki hukum-hukumnya sendiri, masa begitu kuat mencengkeram karakteristiknya sendiri. Hanya orang yang teguh nan kukuh, yang bisa mengatasi demagogi watak, serta mengubah skenario masa, untuk diarahkan kepada masa depan yang sungguh-sungguh sangat diperhitungkan, serta dilakoni – sesuai ajaran Al-quran – dengan penuh keimanan, amal saleh, nasihat-menasihati dalam hal kebenaran, serta nasihat menasihati dalam kesabaran (QS Al-‘Ashr, 103:1-3). Hanya dengan demikianlah, Insya Allah, kita tak akan telanjur dalam kerugian. Wallahu a’lam.
***

*) Zainal Arifin Thoha, Mahasiswa jurusan Kajian Budaya dan Media Massa, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).