Dipalsukan

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

KENAPA sejarah sering terasa palsu di Indonesia ini? Penjelasan yang biasanya diberikan ialah: karena kita tak punya alam pikiran Barat. Kita adalah, untuk memakai kata-kata seorang penelaah hikayat raja-raja Melayu, orang-orang yang “secara liar tak tahu dan tak toleran” kepada “kebenaran sejarah”.

Hikayat, silsilah dan sejarah dalam sastra Melayu, serta babad dalam sastra Jawa, betapapun memang campuran data dan dongeng, pelipur lara dan pembenaran kekuasaan, pewarisan nilai-nilai dan petuah. Karena itulah agaknya kumpulan makalah sekitar 20 sarjana dalam Perceptions of the Past in Southeast Asia (disusun oleh Anthony Reid bersama David Marr, terbitan Heinemann Educational Books, 1979) jadi penting dan menarik.

Satu hal yang di sana tak terelakkan untuk dipersoalkan tentu saja: benarkah kita tak punya tradisi penulisan sejarah seperti yang terdapat di Barat? Benarkah alam pikiran Melayu begitu berbeda dengan alam pikiran Eropa dalam melihat masa lalu?

Tak mudah untuk mengatakan “ya” dan terus pergi. A.H. Johns dari Australian National University, misalnya, menunjukkan: “kesadaran sejarah” orang Eropa, yang merupakan ciri historiografi modernnya, toh bukan sesuatu yang sudah sejak semula ada.

Kesadaran sejarah seperti itu “tak lebih tua dari masa akhir zaman Renaissance”. Johns kemudian menyebut satu nama di Aceh abad ke-17: Nur al-Din al-Raniri, penulis Bustan al-Salatin. Karya ini, menurut Johns, adalah karya berdasarkan fakta dan tanggal, dalam bahasa Melayu yang hemat. Tanpa bunga yang menjalar kian ke mari, Bustan al-Salatin tak bercampur-aduk dengan omong kosong.

Dari mana gerangan datangnya semangat penulisan sejarah seperti ini? Nur Din al-Raniri adalah orang Gujarati. Tapi agaknya bukan daerah di Asia Selatan itu yang penting bagi pertumbuhan intelektualnya. Johns menyebut tentang “kesadaran kronologis Islam” dan ia mengutip pendapat al-Sakhawi, yang hidup di abad ke-15, tentang sejarah. Al-Sakhawi bicara soal manusia dan waktu yang “diurai secara terperinci”, bukan pelipur lara maupun petuah yang lazim.

Tapi sudah jelas bahwa Islam itu saja tak cukup untuk menyebabkan seorang penulis sejarah dapat dengan setia, cermat dan tanpa gentar mencatat serta mengemukakan fakta. Memang, pada Islam ada tradisi pencatatan yang teliti: waktu orang mencari dasar-dasar hukum agama, misalnya.

Tapi, seperti ditunjukkan Ann Kumar — yang banyak menulis tentang sejarah Jawa setelah masa Hindu –ketika ikatan pada Islam kian meluas dan mendalam di kerajaan-kerajaan Indonesia, di abad ke-19, justru jumlah karya-karya sejarah jadi berkurang. Sementara itu, di Bali yang Hindu, historiografi cukup subur bermunculan . . .

Kenapa orang lalu menulis sejarah?, tanya Ann Kumar. Dan kenapa orang mau menulis sejarah yang palsu?, tanya kita. Tak mudah menjawab pertanyaan seperti itu. Ann Kumar menyebut, bahwa rangsangan yang paling jelas dalam penulisan sejarah di Jawa di masa lalu adalah peperangan. Barangkali dia benar. Perang memang bukan saja sesuatu yang dramatis, yang penuh dengan korban dan kepahlawanan, yang menarik untuk ditulis dan dikisahkan.

Perang juga, terutama di Jawa di abad-abad yang silam, suatu perpisahan dengan masa lalu kerajaan yang lama runtuh dan diganti dengan kerajaan baru. Lalu orang mencoba menemukan cara untuk menghalalkan yang baru itu, sebagai sesuatu yang lebih sah, lebih besar, tapi juga bukan sesuatu yang asing.

Mungkin itulah sebabnya, seperti ditunjukkan oleh S. Supomo dalam Perceptions, Babad Tanah Jawi dari Mataram cenderung menyepelekan Majapahit. Mungkin karena jarak begitu panang, dan catatan morat-marit.

Mungkin pula karena gejolak yang melahirkan kekuasaan baru itu belum reda di kiri dan kanan — dan penulisan sejarah masih merupakan bagian dari perang diam-diam. Maka bila perang bisa melahirkan sejarah, hanya rasa damai yang bisa melahirkan ketidakpalsuan.

22 Agustus 1981