Dunia Eksternal Mahasiswa, Koma?

Hubeb Muhajir
http://suaramerdeka.com/

POLEMIK yang digaungkan Adi Purnomo, “Perang Wacana Lintas Kampus” (Suara Merdeka, 30/10), dan M Abdul Rohim, “Perang Wacana dalam Tanda Tanya” (Suara Merdeka, 13/10) ngayawara. Betapa tidak? Mereka hanya mengungkap dunia internal kampus, tak sampai ke dunia eksternal. Saya pernah menyajikan “Menyoal Diskusi Kaum Minoritas” (Suara Merdeka, 21/8) di halaman ini, tak lain bagaimana diskusi bisa lebih efektif.

Tanda tanya yang disematkan Abdul Rohim, saya ganti koma. Itu berarti persoalan tak selesai hanya di kampus, apalagi hanya dengan bincang-bincang santai. Lagi-lagi, Adi menganggap perang lintas kampus sudah cukup, juga masih pada tataran internal. Padahal, perbendaharaan wacana akan didapat lebih di luar kampus.

Dunia eksternal diartikan dunia di luar kampus. Banyak sekali komunitas atau organisasi di luar yang juga memperkenalkan ruang dialektika yang tak cuma berbau kampus. Kampus memang jadi mediator bagi mahasiswa mengunduh ilmu dan belajar berwacana. Namun tak seharusnya mahasiswa mendewakan kampus karena organisasi luar kampus pun berperan. Biasanya organisasi luar mengundang aktivis kampus untuk berdiskusi. Itu bukti dunia eksternal pun berperan.

Menarik pernyataan Rohim, yang menganggap pendapat Adi kurang begitu menemu wacana. Dia berseloroh tentang perang wacana, tetapi tak menghadirkan wacana. Padahal, Rohim pun tak menghadirkan wacana.

Sebenarnya ruang dialektika tak terbatas belajar berwacana. Hegel mengemukan ide yang didapat dari proses dialektika akan berkembang di dunia eksternal. Dunia eksternal tentu menjadi ruang perwujudan ide yang berkembang. Perkembangan dunia eksternal itu yang disebut proses secara dialektik (Mayo, 1960).

Koma Pengesampingan dunia eksternal dalam proses dialektika akan menyebabkan penumpulan ide. Ide yang terbungkus rapi dari dalam kampus terkadang berbeda di luar. Tak hanya di ruang ontologi, dalam epistimologi pun berbeda. Dunia eksternal tak hanya bertugas memberikan realitas, tetapi juga memberikan kesadaran ñ yang dibutuhkan makhluk hidup. Jika kesadaran dilupakan, komanya dunia eksternal pun menjadi nyata karena ketiadaan perwujudan sikap.

Sikap, dalam pandangan Doob (1947), merupakan tingkah laku balas yang tersembunyi yang terjadi langsung setelah ada rangsangan (Sarlito Wirawan Sarwono, 1991). Artinya, ketiadaan sikap menjadi indikator utama bahwa proses dialektika mengalami koma. Karena, substansi proses tersebut menciptakan solusi arif.

Koma, dalam bahasa sehari-hari, ditujukan bagi orang yang kritis menjelang ajal. Koma jadi kata yang mengerikan. Sama ketika dunia eksternal diabaikan Adi dan Rohim; mereka seakan ingin membunuh peran dunia eksternal yang bisa pula menelurkan ide konstruktif. Membunuh sama dengan menihilkan. Ide konstruktif itu yang akan melahirkan nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat.

Ruang dialektika tak hanya dijadikan jembatan, tetapi lebih pada membangun kebudayaan. Syaiful Arif dalam buku Refilosofi Kebudayaan (2010) menegaskan, kebudayaan dimaknai sebagai proses penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Aspek formal kebudayaan terletak dalam karya budi yang mentrasformasikan data, fakta, situasi, dan kejadian alam menjadi nilai bagi manusia.

Proses dialektika harus berjalan terus dan ditranformasikan dalam bentuk perilaku. Jika berhenti, budaya akan punah dan tentu merugikan insan yang belajar. Mematikan proses itu berdampak terhadap mahasiswa secara langsung. Sebab, proses itu dibutuhkan dalam memberi solusi di masyarakat kelak.

Gerak Ikhtiar mencapai puncak ruang dialektika tak harus mengandalkan ruang sempit di kampus. Belajar berwacana lebih mengena jika memaksimalkan dunia eksternal. Bergerak jadi kata kunci untuk meraihnya. Bergerak tak hanya melihat, tetapi juga merasakan. Bergerak bisa menciptakan nilai, karena secara langsung berolah rasa dengan meraba, mencium, memeluk, merasakan, dan tentu jadi acuan.

Nilai, menurut pendapat Hamid Darmadi dalam buku Dasar Konsep Pendidikan Moral, Landasan Konsep Dasar, dan Implementasi (2009), berharga menurut standar logika (benar-salah), estetika (bagus-buruk), etika (adil/layak-tidak layak), agama (dosa dan haram-halal), serta jadi acuan dan atas sistem keyakinan diri, dan kehidupan. Nilai-nilai yang dibangun diharapkan menjadi sikap yang bisa memberikan sumbangsih bagi orang lain. Jadi ruang dialektika tak dibaca sebagai tempat curhat belaka. Pembacaan ruang itu sebagai tempat curhat adalah kesalahan latah yang dibangun tanpa dasar rasa.

Bukan rasa yang ditorehkan Rohim dalam artikelnya, melainkan rasa bisa dihadirkan melalui kesadaran insan. Rohim hanya memaparkan olah rasa yang dibangun dari realitas. Padahal, berbeda jika olah rasa dibangun dari kesadaran. Realitas memang memberi gambaran jelas sikap apa yang harus dilakukan, tetapi tak sampai pada olah rasa yang sesungguhnya, yakni pada tingkatan kesadaran.

Tentu makin tak jelas jika Rohim menyatakan kenyamanan bisa diukur dari ekspresi mahasiswa dalam menuangkan ide dan gagasan. Apalagi mengklaim mahasiswa canggung dan ewuh. Logikanya, pada tataran ini, dunia eksternal justru diperlukan. Pengebirian dunia eksternal tentu berdampak terhadap mahasiswa.

Membangun ruang dialektika tak sesederhana bercakap atau ngrumpi sesama kawan di sekitar. Masih banyak ruang publik yang harus segera dirasakan, terutama di dunia eksternal. Dunia itu akan membawa wacana lebih konstruktif di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Tentu penyakit koma sebagai pengebirian dunia eksternal pun menjadi nyata.

*) Hubeb Muhajir, Kepala Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (PTKP) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kudus Komisariat Syariah.