Gunoto Saparie
suarakarya-online.com
SEMUA kegiatan kajian sastra, harus diakui, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Karena itu hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memeroleh pemahaman yang memadai.
Berhasil tidaknya penafsir sastra untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajamannya. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai peralatan konseptuan yang paling memadai.
Pada mulanya hermeneutika adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh. Dalam perkembangan hermeneutika, berbagai pandangan terutama datang dari para filsuf yang menaruh perhatian pada soal ini. Ada beberapa tokoh yang dapat disebutkan di sini, di antaranya FDE Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida. Pada prinsipnya, di antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki, terutama dalam hal bagaimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi sastra khususnya dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Tetapi di samping itu, terdapat pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya.
Terjadinya perbedaan tersebut pada dasarnya karena mereka menitikberatkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda. Hermeneutika sebenarnya merupakan topik lama, namun kini muncul kembali sebagai sesuatu yang baru dan menarik, apalagi dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sastra sebagai bagian ilmu humaniora merupakan salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika ini. Dengan demikian, hermeneutika seakan-akan bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
Untuk memahami substansi hermeneutika, sebenarnya dapat dikembalikan kepada sejarah filsafat dan teologi, karena hermeneutika tampak dikembangkan dalam kedua disiplin tersebut. Selanjutnya, perkembangan pemikiran tentang hermeneutika secara lambat laun merebak ke berbagai area disiplin lainnya, termasuk juga pada disiplin sastra.
Apabila ditelusuri perihal sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika teks-teks, pada awalnya tampak dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi dalam sejarah permikiran teologis Yudio-Krisitiani. Lefevere menyebutnya sebagai sumber-sumber asli, yakni yang bersandarkan pada penafsiran dan khotbah Bibel agama Protestan. Secara lebih umum, hermeneutika di masa lampau memiliki arti sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Dalam konteks ini, dapatlah diungkapkan bahwa herme-neutika tidak lain adalah menafsirkan berdasarkan pemahaman yang sangat mendalam. Dengan perkataan lain, menggunakan sesuatu yang “gelap” ke sesuatu yang “terang”.
Perlu diketahui, kemunculan hermeneutika dalam ilmu-ilmu sosial merupakan perkembangan yang menarik. Berbagai anggapan muncul mewarnai pertanyaan mengapa hermeneutika berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Sehubungan dengan itu, Eagleton melihat bahwa kemunculannya itu lebih dilatarbelakangi oleh adanya krisis ideologi di Eropa, yang pada masa itu ilmu semakin menjadi positivisme yang mandul karena subyektivisme yang sulit dipertahankan.
Konsekuensinya, muncullah beberapa tokoh yang mencoba menawarkan alternatif, di antaranya adalah Husserl. Ia menolak sikap yang terlalu ilmiah. Gadamer mengatakan, bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Pandangannya ini dapat dimaklumi,mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata,tetapi seharusnya juga konteks dan subyek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
Valdes justru melihat bahwa apa yang dikembangkan Gadamer dalam hermeneutika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur.
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubyektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak. Karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.
Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama megenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis).
Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
Selama ini, hermeneutika merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasarkan pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere, hermeneutika tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan obyektivitas jiwa manusia. Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutika mau diterapkan dalam sastra, mengingat obyek studi sastra itu adalah karya estetik.
Perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Ricoeur. Ia adalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks. Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasarnya untuk mengeksplikasi jenis being in the world yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala si penafsir berdiri pada self understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab. Ulasan Ignas Kleden terhadap karya Umar Kayam, Putu Wijaya, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, T Mulya Lubis, Mochtar Pabottinggi, Dorothea Rosa Herlianyi, seperti termuat dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, dengan menggunakan peralatan konseptual teori hermeneutika Paul Ricoeur, saya kira bisa menjadi contoh.
Memang, secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori ini memandang karya sastra sebagai wacana tertulis. Karya sastra tergolong wacana karena ia merupakan gejala kebahasaan yang melampaui batas kata, yang satuan terkecilnya adalah kalimat atau terdiri dari kata dengan fungsi subyek dan kata dengan fungsi predikat. Wacana yang demikian dapat bersifat lisan, dapat bersifat tertulis. Perbedaan di antara kedua jenis wacana ini tidak hanya terletak pada perbedaan substansi medianya, yang satu substansi auditif, yang lain substansi visual, melainkan terutama sekali pada efek dari perbedaan substansi media itu terhadap kemungkinan bangunan makna dari masing-masing wacana tersebut dan pada gilirannya, juga terhadap cara pemahaman atasnya.
Berbeda dari fonem, kata, dan sistem bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak, kalimat dan wacana adalah peristiwa yang bersifat singular, terikat pada ruang dan waktu. Namun, seperti halnya satuan-satuan bahasa yang terdahulu itu, gejala kebahasaan yang kemudian adalah juga tanda, sesuatu yang bermakna, dan makna itu bersifat universal atau general. Dengan demikian, bangunan makna wacana terdiri dari dialektika antara peristiwa dan makna.
Dialektika ini sejajar dengan struktur internal kalimat itu sendiri yang terdiri dari subyek dan predikat. Subyek mempunyai fungsi identifikasi yang bersifat singular, sedangkan predikat mempunyai fungsi menggambarkan kualitas, jenis, kelas, yang bersifat universal.
Sebuah interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat definitif, melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subyek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari, bahwa si penafsir harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis.
* Gunoto Saparie, penyair dan Bendahara Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)