KERAJINAN GERABAH PENAKAK; Warisan Nenek Moyang

In Pancor Lombok Timur

Janual Aidi

“Ketika kita mendapati bahwa ada beberapa kebudayaan, bukan hanya satu dari itu-itu saja, pada saat kita mengetahui akhir dari monopoli budaya itu, baik dia ilusi atau nyata, kita terancam oleh kehancuran temuan kita sendiri. Tiba-tiba ada kemungkinan bahwa ada yang lain, dan bahwa kita sendiri adalah ’yang lain’ diantara uang lain itu. Setelah semua makna dan setiap tujuan musnah ada kemungkinan untuk menjelajahi peradaban seolah-oleh dilakukan dengan melewati jejak dan reruntuhan. Selutuh umat manusia menjadi museum imajiner: kemana kita pergi diakhir pekan ini-mengunjungi reruntuhan Angkor atau berjalan-jalan santai Tivoli Copenhagen?

Paul Ricoeur, “Civilisations and National Culture” dalam History and Truth

1. Latar Belakang

Masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Ralf Linton, seorang ahli Antropologi yang terkemuka mengemukakan bahwa kebudayaan secara umum diartikan sebagai way of life suatu masyarakat. Way of life dalam pengertian ini tidak sekedar berkaitan dengan bagaimana cara untuk bisa hidup secara biologis, melainkan jauh lebih rinci, way of life mencakup way of thinking (cara berfikir, bercipta), way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), way of doing (cara berbuat, berkarya).

Antar manusia (masyarakat) dengan alam tidak bisa dilepaskan. Keduanya memiliki relasi yang kuat. Manusia (masyarakat) membutuhkan alam dan alam pun membutuhkan perhatian serius dari manusia (masyarakat). Sebab, secara reversal historical, alamlah yang paling banyak memberikan manfaat kepada zaman ‘motorisasi’ sekarang, manusia masih mengikat diri dengan alam/atau bergantung dengan alam. Postulatnya pun mungkin sampai akhir zaman nanti manusia tetap bersandar pada alam.

Salah satu bukti konkretnya adalah ketika manusia (masyarakat) seperti di Dusun Penakak mampu menciptakan satu anak kebudayaan dari proses way of life, way of thinking (berfikir), way of feeling(berasa) dan way of doing (berkarya) yakni berupa kerajinan gerabah yang terbuat dari tanah liat dalam berbagai bentuk yang indah dan menarik hati. Membuat siapa saja ingin membeli dan memilikinya.

Nah, masyarakat pengrajin gerabah Penakak adalah bukti nyata bahwa dalam setiap kebudayaan ataupun peradaban masyarakat pasti terdapat sesuatu hal yang menarik yang asyik untuk diamati dan dipelajari. Sehingga perkataan yang mengatakan “masyarakat adalah unik” benar-benar didapati dalam tubuh masyarakat.

Sampel masyarakat pengerajin gerabah Dusun Penakak adalah juga fakta kebudayaan yang memang memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain. Sebab, seperti yang diungkap sebelumnya bahwa masing-masing masyarakat memiliki keunikan (khasan). Masyarakat Penakak pun ‘suksetif’ dari masa ke masa selalu dikenal oleh generasi Lombok khususnya (dalam konteks kerajinan gerabah). Adapun alasan dipilihnya Dusun Penakak sebagai lokasi field study (study lapangan) atau lokasi penelitian kali ini adalah karena Dusun Penakak merupakan desa/dusun yang salah satunya menjadi sentral kerajinan di Lombok, selain dari Desa Banyu Mulek atau Labu Api (Lombok Barat), Desa Beleka (Lombok Timur) ataupun Desa/Dusun Loyok (Lombok Timur), khususnya dibidang gerabah. Oleh karena itu, penuls merasa sangat cocok untuk memilih Dusun Penakak sebagai lokasi ‘field study’ (study lapangan) atau lokasi penelitian kehidupan sekaligus kebudayaan yang masih melekat pada sebuah desa atau dusun. Sesuai dengan beberan di atas, hal menarik di Dusun Penakak adalah buah kebudayaaan yakni kerajinan gerabah.

Untuk itu, lewat ‘field study’ (study lapangan) atau penelitian kecil ini kami ingin mengetahui lebih mendalam tentang kerajinan gerabah Penakak yang konon merupakan warisan nenek moyang dan berjalan suksetif.

Demikianlah latar belakang ini penulis susun. Dan untuk menjawab rasa keingintahuan, selanjutnya akan diungkap pada bagian berikutnya.

2. Kerajinan Gerabah Penakak Adalah Warisan dari Nenek Moyang

Kalau bertandang ke Dusun Penakak, bisa saja kita terulang mengenang kehidupan kecil saat kita masih berada di desa. Atau, bisa saja kita langsung berimajinasi pada desa atau dusun yang cukup mendambakan hati. Sentuhan jalan raya yang berlubang dan deretan tanah liat yang sengaja dijemur beralas karung pada kanan dan kiri ruas jalan raya pun akan menyapa dan menambah keaslian suasana dusun yang tentram, lekat degan sopan nan keramah-tamahan, bersahabat dan kental dengan lokalitas budaya. Hanya beberapa kali saja penulis berpapasan dengan produk-produk kapitalisme (mobil ataupun sepeda motor ). Padahal, saat itu jam masih menunjukkan pukul 09.24 Wita. Waktu dimana pada daerah perkotaan jalan raya biasanya dimacetkan oleh kendaraan yang berlalu-lalang dengan aktifitas warga bukan? Malahan yang sering kami lewati dan papasi adalah produk-produk lokal seperti becak (alat transportasi tradisional yang menggunakan tenaga hewaan/kuda) ataupun cikar (alat transportsai tradisional yang menggunakan tenaga manusia). Sungguh, menggambarkan kebersahajaan. Tapi yang membuat hati merasa lebih terkesima lagi adalah ketika sorot mata tertuju pada Art Shop yang menampilkan ratusan jenis dan kerajinan gerabah, entah itu diruas kanan atau kiri jalan raya. Ingin rasanya memiliki Art Shop tersebut. Penulis berangan, mungkin jika penulis memiliki Art Shop yang dipenuhi oleh produk-produk berlabel ‘lokalitas’ akan membawa penulis dalam dunia keindahan sejati. Sebab, apa yang dibanggakan manusia sekarang terhadap produk-produk kapitalis adalah lebih banyak mengakibatkan ‘Global Warming’, tanpa memperhatikan keadaan dan pengaruhnya terhadap lingkukngan sekitar Motor dan sepeda motor misalnya, secara tidak langsung asapnya telah mengotori atau mencemari kesegaran udara. Belum lagi pabrik-pabrik raksasa yang setiap hari memuntahkan kotorannya. Tanah, air dan udarapun menjadi tercemar. Jadi, tidak selamanya atau 100% produk-produk kapitalis yang berderajat moderen (non lokalitas atau desa/dusun) selalu membawa kepada kemaslahatan umat manusia. Meski penulis tidak menafikan keberadaan semua itu.

Maksud penulis, produk-produk lokalitas yang keluar dari rahim desa/dusun juga sebenarnya tidak kalah menarik dengan produk-produk kapitalis, dalam fungsinya sekalipun. Bktinya, salah satu bahan produk kapitalis yang terbuat dari plastik membuat masyarakat dunia menjadi khawatir. Itu terjadi karena menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh pihak tertentu mendapatkan hasil serta menegaskan bahwa produk-produk kapitalis semacam alat-alat masak atau perabotan rumah tangga yang digunakan untuk memasak ataupun mainan anak yang terbuat dari plastik dan karet mengandung unsur kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Nah, ini menandakan bahwa produk lokalitas lebih aman bila dibandingkan dengan produk kapitalis. Seperti yang disebut diatas, perabotan rumah tangga misalnya, hanya saja tempat kalahnya adalah dalam penggunaan produk lokalitas (ceret/kendi, cobek, kemek/periuk dan jangkih/tungku) yaitu terlalu lama menunggu proses masaknya makanan. Tetapi masalah rasa dan hasil memasak dengan menggunakan alat-alat tradisional, menurut banyak orang, lebih terasa enak. Mungkin yang menyebabkannya adalah karena alat yanag digunakan terbuat dari alam. Nah, berbicara mengenai alat dan fungsi, seorang berkebangsaan Amerika Serikat yang bernama Bronislow Malinowski mengungkapkan lewat teori fungsinya bahwa “Perilaku masyarakar manusia atau semua manusia alias masyarakat dunia (dalam hal kebudayaan) adalah didasari oleh fungsi dalam hidup”.

Jadi, garis bawahnya adalah tidak mempermasalahkan produk kapitalis maupun lokalitas, karena yang dilihatnya yakni fungsi dari produksi-produksi tersebut. Akan tetapi, kalau menggunakan kaca mata budaya kritis, mka mempegunakan produk lokalitas alias non kapitalis adalah salah satu cara untuk mempertahankan/melestarikan buah kebudayaan yang berbasis kearifan lokal.

Berbda dengan Malinowski, Jean Baudrilliard dalam Consumer Society (1990) mengatakan bahwa “Masyarakat postmoderen adalah masyarakat yang dikelilingi oleh dunia benda yang melimpah ruah sehingga benda-benda tidak lagi dilihat nilai gunanya, melainkan nilai tanda (sign) yang dirawarkannya dalam bentuk gaya hidup (kelas, status, gengsi ataupun prestise)”. Coba kita perhatikan bersama mengenai keberadaan produk budaya kapitalis ala moderen saat ini seperti mobil, motor, hand phone atau yang lainnya, semua itu tidak terlalu dilihat dan diposisikan dalam bentuk nilai guna atau fungsinya melainkan dijadikan sebagai ‘trend’ unutk menunjukkan diri (self existance). Dan bila melirik keberadaan produk budaya klasik (dulu) sangat tepat nilai gunanya tanpa melahirkan kelas-kelas sosial yang tunggi dan berpengaruh pada kecemburuan sosial.

Demikianlah “prolog ta’aruf” tentang vis-s-vis antara produk kapitalis dengan produk lokalitas (kearifan lokal). Sederet ulasan singkat yang menggambarkan perlawanan sengit antara orang moderen yang berhati super moderen dengan orang yang hidup dizaman moderen saat ini yang berhati budaya lokal (non kapitalis).

Baiklah, kita akan masuk pada pembahsan inti. Sejah desa Masbagik Timur sudah berbicara bahwa masyarakat Desa Masbagik Timur sendiri oleh sebagian orang, khususnya masyarakat Masbagik lebih dikenal sebagai masrakat Penakak. Hal ini disebabkan karena dulunya des Masbagik Timur bagian selatan seluruhnya hanya merupakan wilayah desa Masbagik Selatan. Dan sebelum berdirinya desa Masbagik Timur, wilayah ini merupakan/termasuk kedua desa yakni desa Masbagik Utara dan desa Masbagik Selatan. Disamping itu, masyarakat Penakak selain bermata pencaharian utama sebagai petanijuga sebagai pengerajin gerabah/kerajinan tanah liat. Hasil kerajinan yang dulu pada awalnya masih hanya berupa peralatan memasak seperti cobek, kendi, kemek, jangkih dan lainnya. Dan selanjutnya oleh para prianya dijual keliling keseluruh pelosok Pulau Lombok dengan cara dipikul atau istilah Sasaknya ‘belembar/belembah’. Hal inilah yang membuat Penakak terkenal dimana-mana.

Sampai saat inipun warga masyarakat dusun Penakak terus memegang tali penghubung mata pencaharian ini. Dan tidak sedikit pula masyarakat yang menjadikan profesi pengerajin gerabah ini sebagai pekerjaan tetap dalam bidang informal. Bekerja sebagai pengerajin gerabah merupakan pekerjaan yang diwarisi dari nenek moyang mereka, sehingga jarang dianyata mereka yang mau pindah profesi. Saat interview sekaligus melakukan obeservasi, penulis sempat bertanya pada para pengerajin. “Kira-kira, apakah ibu dan bapak mau berpindah profesi, misalnya menjadi pedagang?”. Dari 10 (sepuluh) purvosif sampling yang ada hanya satu purvosif sampling saja yang tegas mengatakan kemauan untuk pindah profesi. Nah, setelah proses interview berlangsung. Ternyata, 1 (satu) orang purvosif sampling ini memiliki alasan bahwa ia hanya memiliki hasrat unutuk mencoba menekuni pekerjaan lain. ‘Apakah asyik dan untungnya berbeda’, itulah alasan yang mendasari seorang purvosif sampling ini untuk mencoba pekerjaan lain. Namun, bagi 9 (sembilan) purvosif yang lain, mengakui tidak ingin pindah profesi meskipun memiliki untung yang lebih besar dari seorang pengerajin gerabah. Alasannya, mereka ingin mempertahankan warisan nenek moyang mereka yang didapatkan secara turun-temurun. Bagi mereka, mempertahankan kebiasaan nenk moyang seperti mengemban satu kewajiban atas dasar panggilan sebuah jiwa.

Tetapi, mengenai siapa vioner dan sejak kapan pekerjaan ini dimulai tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat Penakak sendiri. Masyarakat Penakak hanya bisa menjelaskan dan menegaskan bahwa pekerjaan yang mereka lakoni sekarang adalah turunan dari nenek moyang mereka. Menurut observasi yang penulis lakukakan, penulis memang memiliki penilaian terhadap keotentikan pekerjaan pengerajinan gerabah yang digelutinya sebagai warisan luhur dari nenek moyang mereka. Dari sekian banyak responden, mereka mereka mengakui ‘kepasihan’ mereka dalam mengerajin benar-benar didapatkan dari sejak kecil sehingga didapatkan pula bahwa para pengerajin yang ada sekarang mengakui diri mulai melakukan pekerjaan sebagai pengerajin gerabah saat masih kecil dulu. Ayah, ibu, kakek, nenek bahkan buyut merekalah yang mengajar dan membimbing mereka. Terlihat juga dari gerak mereka dalam menciptakan kerajinan, tidak ada tanda-tanda gerogi, semuanya berlangsung kelakon (pasti). Tidak ada terlihat sedikitpun rasa ketidakpercayaan diri mereka dalam membentuk kerajinan gebah tersebut. Justru, yang nampak terlihat adalah ‘super cepat’ dalam proses pembuatan dan pembentukan gerabah nan menarik.

Ini menandakan bahwa dari hipotesis sampai kesimpulan akhir, penulis meyakini bahwa kerajinan gerabah Penakak benar adanya sebagai warisan nenek moyang. Kearifan lokal semacam ini sudah teruji secara turun-temurun yakni mampu mempertahankan karya lokal (khasan) sampai detik globalisasi ini. Dan terbukti pula mampu menghidupi masyarakat itu sendiri dari dari bongkahan tanah yang dibakar dan dibentuk sedemikian rupa. Sungguh menakjubkan, ternyata desa lebih kuat mempertahankan keabsahan dan kemurnianya bila benar-benar terjamah oleh interest dan budaya luar lewat akselarisasi yang secara tidak langsung menghapus kemurnian suatu budaya.

Terakhir, ada baiknya kita mengetahui gambaran umum tentang bagaimana proses pembuatan kerajinan gerabah tersebut. Terlebih dahulu tanah liat yang digunakan oleh masyarakat Penakak didapatkan dengan cara membeli didaerah Sepolong (masih termasuk bagian dari wilayah Masbagik). Untuk saat ini, harga satu karung besar tanah liat yang kering ialah Rp 15.000, sedangkan harga satu karung besar yang masih basah ialah Rp 8.000. Tanah liat terlebih dahulu dijemur. Stelah itu disaring pada bak yang berisi air dan setelah itu ditiriskan ‘daung’ (tanah halus yang memiliki perekat). ‘Daung’ yang nerukuran karung kecil atau setengah karung besar dihargai Rp 4.000. barulah antara campuran anta tanah liat dengan daung tersebut dinjak-injak sampai merata agar perpaduan antara kedua unsur yang dibasahi dengan sedikit air tersebut mendapat adonan yang bagus, agar mudah dibentuk nantinya. Adonan tanah liat inipun akhirnya siap untuk dibentuk menjadi berbagai jenis gerabah. Jiak gerabah sudah terbentuk, kemudian dijemur dan dibakar serta dihaluskan dan dibersihkan agar tampak hasil yang cemerlang dan berkualitas.

Yang tak kalah menariknya adalah para pengerajin gerabah Penakak memiliki perkumpulan yang dipayungi oleh Pemerintah “Gudang Lombok Puteri”. Balai gerabah yang secara spesifik menarik 80 (delapan puluh)pengerajin gerabah inti. Delapan puluh pengerajin inti inilah yang nantinya akan memasukkan hasil kerajinan gerabahnya kedalam ‘Gudang Lombok Puteri’. Kerajinan yang sudah masuk inipun akan diberi label dan tentu 80 (delapan puluh) pengerajin tersebut adalah benar-benar pasih. Selain itu, masyarakatpun membentuk sebuah koperasi yang memiiki menabung dan simpan pinjam. Jika pengerajin gerabah (inti ataupun bukan) Penakak meminjam uang dan melewati batas tenggangnya mereka tidak akan dipunguti denda, namun bagi orang lain (warga Penakak selain pengerajin gerabag) melanggar batas tenggang yang sudah ditentukan akan dikenakan denda. Dan diantara 80 (delapan puluh) pengerajin intipun sering mendapatkan hibah, entah itu dari pihak pemerintah ataupun luar negeri (luar negeri).

3. Kerajinan Gerabah Penakak Mampu Menembus Luar Negeri

Tidak diduga, dusun kecil yang berada dipulau kecil mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Sekaligus, dusun kecil ini mampu mengeluarkan karya yang menakjubkan. Karya ini berpotensi besar menggerakkan roda ekonomi masyarakatnua. Kerajinan gerabah, itulah yang bisa mengangkat nama dusun kecil ini. Dusun yang berada disebuah desa yang bernama Masbagik Timur, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur, Provinsi Nusa tenggara Barat. Pemerintah atau Pemda setempat harus berbangga dan bersyukur karena memiliki peradaban masyarakat yang mandiri. Masyarakt yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari ‘tanah yang setiap hari diinjakoleh anak manusia karena dianggap tak berguna. Bagi masyarakat Penakak, jenis tanah tertentu justru mampu menghidupi ratusan jiwa manusia. Andai tidak ada tanah (tanaj liat), bagaimana nasib masyarakat dusun penakak?

Maka, lewat proses perwarisan kerajinan gerabah sejati, masyarakat Penakak tidak terlalu menggantungkan diri kepada Pemerintah layaknya masyarakat lain diNusantara yang selalu menyandarkan diri pada pihak Pemerintah. Kegiatan atau aktivitas pembuatan gerabah yang dilakukan secara turun temurun oleh warfa masyarakat dusun Penakak (ataupun sekitarnya) dilakoni oleh kaum ‘Adam dan hawa’. Namun, aktivitas demikian lebih gencar digeluti oleh kaum Hawa. Biasanya, kaum Adam hanya sekedar membantu saja, karena sebagian diantara mereka juga menggarap sawah (bercocok tanam). Atau, bagi pasangan suami-istri yang memiliki pekerjaan tetap sebagai pengerajin gerabah, kaum Adamnya hanya berperan tatkala gerabah siap intik dijual. Kaum Adamlah yang kemudian memasarkannya kepada khalayak banyak.

Selain keberadaan dari kerajinan gerabah Penakak mampu menempatkan diri di’ruang budaya’ (culture space), kerajinan gerabah Penakak telah memberikan dampak positif yang sangat signifikan dalam bidang pendapatan dan taraf ekonomi serta sosial masyarakat. Hal ini bermula ketiaka tahun 1984, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Selandia baru mengadakan sebuah program pengembangan wilayah Nusa Tenggara. Dan untuk wilayah lombok dipilih pengerajin gerabah desa masbagik Timur (dusun Penakak dan sekitarnya) sebagai salah satu objek binaan. Dalam perkembangannya, gerabah produksi Masbagik Timur (Penakak) menjadi komoditas ekspor andalan karena motif dan kualitasnya yang eksklusif. Bahkan gerabah berlabel “made in Bali” yang dipasarkan tersebar luas ke manca negara adalah sebagian besar gerabah produksi para ‘Pahlawan Devisa’ alias pengerajin gerabah Masbagik Timur (Penakak).

Nah, inilah yang disayangkan dari produk lokalitas Lombok yang berkelas eksklusif. “Made in bali” masih mengendalikan produk gerabah ‘masyhur’ Pulau Seribu Masjid ini. Kita berharap semoga kedepannya Lombok sebagai daerah pengeluar gerabah cantik mampu mengambil alilh komodikator dan mengganti label “Made in Bali” menjadi “Original Made in Lombok”. Satu lagi yang disayangkan, keberadaan gerabah ini lebih diminati oleh pihak luar bila dibandingkan dengan masyarakat lokal sendiri (Lombok ataupun Indonesia secara umum). Analisisnya, jika produk lokal ini kurang diminati atau dikonsumsi oleh kita sebagai masyarakat lokal, maka postulatnya adalah bisa saja masyarakat luar negeri nantinya akan belajar membuat dan mencintai produk gerabah hingga mengakui produk gerabah adalah buah budaya dari masyarakat luar negeri. Betapa disayangkan, berapa sudah budaya dari jenis kearifan lokal kita terusik dan diambil serta diakui oleh bangsa luar. Ini terjadi karena kecerobohan, kebodohan dan kegengsian kita dalam menggunakan (mengkonsumsi) serta mencintai budaya, kearifan lokal ataupun karya anak bangsa negeri Indonesia ini. Jangan salahkan orang lain, jangan salahkan musuh. Karena musuh sudah jelas memiliki strategi dan siasat untuk menaklukkan kita. Yang salah adalah kita sendiri yang kurang atau bahkan mungkin tidak mencintai produk lokal bangsa Indonesia sendiri. Jadi, sebgai bangsa yang mengaku berbudaya, gigit kuat dengan gigi gerahamlah budaya lokal itu.

Selanjutnya, kearifan lokal seharusnya terus digali dan bila perlu kearifan lokal tersebut direvitalisasi dengan konteks saat ini. Sebab, kearifan lokal sebenarnya selalu mampu merespon perkembagan zaman. Bagi kaum budayawan yang terus berjuang mempertahankan eksistensi budaya (culture existance), mengibaratkan kearifan lokal seperti sumur yang tidak pernah kering. Walau terkadang mereka dibayangi oleh hantu-hantu modernitas. Tapi berkat kobaran semangat dan pengibaratan tersebut mereka terus mengibarkan panji-panji kearifan lokal.

Semboyan “GERABAH MAKMUR” yakni Gerakan Pembaharu Masbagik Timur adalah salah satu bentuk keseriusan dalam berjuang di arus globalisasi ala moderen oleh para penganut kearifan lokal ala nenek moyang. Banyak hal yang sudah didapatkan dari kerajinan gerabag ini. Dahulu, masyarakat dusun Penakak pernah mengalami kejayaan besar-besaran. Masyarakat yang semua penduduknya beragama Islam ini banyak yang dapat menyempurnakan Rukun Islam-nya (naik haji ke Makkah, Rukun Islam yang kelima). Totalitas dari wakti ke waktu untuk calon jama’ah haji pun terus bertambah. Dan itu tidak hanya diakui oleh masyarakat Penakak saja, melainkan diakui oleh masyarakat luar pula. Kejayaan tersebut didapatkan ketika kejadian ‘Bom bali’ belum terjadi. Tetapi, setelah terjadi ‘Bom Bali’, pemasaran pun merosot turun dan para turis manca negara pun jarang terlihat mengunjungi ‘Penakak hamlet’ seperti sebelum-sebelumnya. Kini, masyarakat Penakak sangat menginginkan kembali kejayaan tersebut. DIharapkan dari kejayaan itu masyarakat Penakak dapat lagi menabung banyak dan meraup keuntungan yang besatr. Pemasaran kerajinan gerabah Penakak inipun mampu menembus negara-negara luar seperti: Prancis, Australia, Selandia baru bahkan Amerika Serikat sekalipun.
***

DAFTAR PUTAKA
Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tolomundu, Farid. 2005. Orang Biasa yang Tidak Biasa; Inspirasi & Harapan. Mataram: Titik Koma.
Kantor Desa Masbagik Timur. 2006. Profil Desa Masbagik Timur.